Meskipun punya lebih dari 85.000 anggota di Sumatera Utara, kaum penghayat pada Tuhan Yang Maha Esa merasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum memberi perhatian kepada mereka. Tak pernah ada dialog yang intens dengan kaum penghayat, apalagi ruang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara.
Secara resmi di Sumatera Utara kini terdapat 16 aliran kepercayaan yang muncul sebagai representasi tradisi Batak dan Jawa. Dalam tradisi Batak, kaum penghayat tergabung antara lain dalam Ugamo Malim (Parmalim) yang berpusat di Laguboti, Toba Samosir, Ugamo Bangsa Batak di Medan, Habonaron Da Bona di Simalungun, Pijer Bodi di Karo, Sipituruang di Karo, Golongan Si Raja Batak di Kisaran dan Tanjung Balai, juga kelompok-kelompok Parmalim di berbagai tempat.
Sementara itu, tradisi kejawen muncul dalam kelompok seperti Galih Puja Rahayu di Medan dan sekitarnya serta Ilmu Rasa Sejati di Tanah Jawa, Simalungun.
Meskipun sudah ada yang mulai berani menunjukkan diri, banyak yang masih takut-takut, terutama stigma "tak beragama" yang sering muncul di masyarakat dan dianggap aliran sesat. Tirani mayoritas terhadap warga minoritas masih mereka rasakan.
Pekan lalu Ugamo Bangsa Batak untuk pertama kalinya menyelenggarakan acara persembahan secara terbuka. Meskipun sudah menjadi kelompok penghayat yang secara resmi diakui pemerintah sejak tahun 2001, untuk menyelenggarakan acara mereka perlu mengajukan izin ke Kesbanglinmas, Polda Sumut, Poltabes Medan, hingga ke Polsek Medan Sunggal.
Kepala Subdit Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sri Hartini mengatakan, berdasarkan pengalaman kelompok mendampingi kelompok penghayat, warga masyarakat ini justru merupakan warga negara yang patuh. Ajaran mereka sangat menghargai alam dan kemanusiaan sehingga hidupnya pun tak berbuat jahat kepada orang lain.
Parmalim yang berpusat di Lagubotti, misalnya. Perilaku penghayat agama asli Batak ini sangat santun. Mereka selalu mencoba tidak menyakiti orang lain. Mereka juga tidak mau sembarang makan sebab makanan ikut menunjang perkembangan jiwa.
Jumlah mereka ribuan serta tersebar di Jawa dan Sumatera. Jika selama ini penghayat dianggap masyarakat marjinal dan tak berpendidikan, tidak demikian dengan Parmalim. Orang-orang mudanya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dan berwawasan luas. Beberapa mengaku harus menyembunyikan Parmalim mereka saat menempuh pendidikan karena capek menjawab pertanyaan orang.
Banyak peneliti asing yang justru tertarik pada agama asli ini, terutama dari sisi kebudayaan dan seninya karena mereka menggunakan musik dan tari tradisional Batak. Namum, warga setempat justru melupakan. Pelestari agama-agama asli di Indonesia yang justru terstigma menjadi orang tak beragama atau malah penyembah berhala.
Tahun lalu pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007, membuat pemerintah mengakui perkawinan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penghayat mendapatkan surat kawin dan melakukan perkawinan di depan pemuka penghayat dan berhak mempunyai kartu tanda penduduk dengan mengosongkan kolom agama.
Terbitnya PP itu membuat akta perkawinan sudah bisa dilayani dan KTP bisa diladeni. Meskipun demikian, masih ada kendala bagi penghayat, misalnya dalam hal penguburan dan pendirian rumah ibadah. Makam umum belum bisa menerima pemakaman kaum penghayat.
Sumber : Kompas, April 2008
http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2008/04/penghayat-kepercayaan-terpinggirkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar