Sabtu, 20 Juni 2009

Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya dalam konteks Kearifan Lokal

oleh adi supardi

Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya dalam konteks Kearifan Lokal diadakan di Auditorium Kantor Pusat Universitas Trunojoyo Madura, Surabaya Jawa Timur. Demikian dikatakan Panitia Seminar, Suci Suryani S.S, M.Pd

Latar belakang diadakan seminar, mengingat kearifan lokal (local wisdom) di berbagai daerah di Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat sebagai bentuk jati diri bangsa, mamun, akhir-akhir ini kearifan lokal tersebut mulai terlupakan seabagai dampak negatif arus globalisasi. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya untuk menyelamatkan dan menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal pada diri anak bangsa.

Pembicara pada seminar itu adalah Dr. Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa Depdiknas), D. Zawawi Imron (Penyair dan Budayawan), Jeffrey M. Loree (Dosen Sastra Cina, Georgetown University, USA) dan Dr. Suryo Tri Saksono (Dosen Universitas Trunojoyo).

Peserta seminar terdiri dari Pemerhati Bahasa/Sastra, Dosen/Guru, Sastrawan, Peneliti, Penulis, Wartawan, dan Mahasiswa.

Peserta seminar dikenakan biaya pendaftaran sebesar Rp. 150 ribu. Biaya pendaftaran bias di transfer ke Bank BTN Cab Bangkalan a.n. Suci Suryani S.S. M.Pd nomor rekeniong 0002801500210052

Kami harapkan partisipasi Bapak dan Ibu dalam seminar nasional tersebut. Informasi seminar dapat di klik di http://www.semnasunijoyo.dikti.net. kata Suci Suryani.

Sumber : etnisuku.wordpress.com

Kamis, 18 Juni 2009

Lembaga Kepolisian Tempat Berkumpulnya Para Oknum

Membaca berita di Detik.com, miris rasa hatiku. Mendengar pengakuan "Istri Polisi Mengaku Dianiaya Suami Selama 6 Tahun".
Eh pas ngadu kelakuan suaminya ke Provos, dirinya tidak mendapat perlindungan apapun.
Malah disuruh lapor ke Polda Metro Jaya, di Polda disuruh ke atasan langsung. Akhirnya dari Polsek malah disuruh ke Mabes Polri.

Hahahahahahahaha sejuta kali, dia saja (istri dari keluarganya sendiri) dipersulit, apalagi kita-kita.

Jadi mohon pengertiannya, bagi masyarakat lainnya, kalau pelayanan kepolisian kita seperti sekarang ini.


Kamis, 18/06/2009 12:40 WIB
Istri Polisi Mengaku Dianiaya Suami Selama 6 Tahun
Ari Saputra - detikNews
Jakarta - Polisi seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Namun yang dilakukan seorang anggota Samapta Polsekta Tanjung Duren ini sungguh tidak patut. Istri sang polisi pun mengadu ke LBH Apik.

Priska, perempuan 30 tahun ini adalah istri seorang polisi berpangkat Briptu. Selama menikah selama 6 tahun, Priska mengaku terus-terusan diperlakukan buruk oleh suaminya sendiri.

"Dia menendang, menjambak, menghina dan tidak pernah menafkahi," kata Priska saat menggelar jumpa pers di LBH Apik, Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2009).

Tidak hanya itu, Priska juga pernah ditelanjangi di depan tetangganya. Si suami pun mengancam akan menembak si tetangga jika berani melaporkan kejadian itu.

"Saya pernah ditelanjangi untuk mendapat kartu sim card yang saya simpan di mulut saya. Di kartu itu ada SMS bukti selingkuhan," kata Priska.

Tak tahan dengan perlakuan itu, Priska pun melaporkan suaminya ke Propos. Namun Priska mengaku tidak mendapat perlindungan apapun.

"Saya ke Provos tapi saya disuruh lapor ke Polda Metro Jaya, tapi di Polda saya disuruh ke atasan langsung. Akhirnya dari Polsek saya malah disuruh ke Mabes Polri. Saya bingung mau ke mana," kata Priska.

Priska mengatakan, saat ini dirinya masih menunggu suaminya diproses secara hukum. Hingga kini, suaminya masih bekerja seperti biasa. Dia berharap, LBH Apik dapat membantunya mendapat keadilan.

(Ari/ken)

http://www.detiknews.com/read/2009/06/18/124056/1150025/10/istri-polisi-mengaku-dianiaya-suami-selama-6-tahun

Jumat, 12 Juni 2009

Gerak sejarah tidak harus linier

Gerak sejarah tidak harus linier (bergerak lurus) dalam menuju perubahan utk perbaikan kehidupan.

Namun bgt, bukan berarti para elite politik yg katanya berlomba klaim mau memimpin "perubahan" jg tidak harus 'bergerak 'lurus'. krn perilaku mrk lah perubahan itu bs berujung baik atau rusak. Silahkan cermati... !

Oleh : Standarkiaa Latief (FB)

SITI HAJAR

SITI HAJAR Korban persekongkolan pedagang budak & birokrat.

Bela SITI HAJAR. Stop Ekspor Budak !. Persekongkolan Calo dan Birokrat Malas. @ Tumbuhkan ekonomi Rakyat. Ciptakan Lapangan Kerja !.

Oleh : Amir Husin Daulay (FB)

Globalisai

Globalisai Menyebabkan situasi yang menang memperoleh segalanya : siapa yang menang memperoleh banyak, tetapi yang kalah menanggung kerugian lebih banyak lagi .

Globalisasi juga cenderung memmisahkan nasib korporasi dari pada nasib pra karyawannya, Keuntungan yang lebih banyak tidak lagi berarti tentu jaminan kerja lebih baik dan dan gaji lebih besar (Klaus Schwab & Claude Smaja Dir. The World Economic forum

Oleh : Muhamad Zen (FB)

www.MataHati.com

Akibat Hutang

Akibat hutang 25 tahun lagi Kita (Indonesia) akan tenggelam dalam lautan hutang... sebagian besar sumber daya alam bukan milik kita lagi .. karena sudah di jadikan borah untuk hutang ..

kita hanya mampu membayar bunga hutang tidak pokok hutang.... Kita hanya punya nama tapi tidak punya apa-apa. dan yang paling menyedihkan generasi mendatang akan terus menyalahkan tindakan bodoh ini.

Oleh: Muhamad Zen (FB)

www.MataHati.com

Kapitalisme Menang atas Komunisme

Thn 1980-an kapitalisme menang atas komunisme.. Thn 1990-an kapitalisme pun menang diam-diam dari demokrasi.

Demokrasi pun dapat di jual dengan harga penawaran tertinggi, setelah krisis keuangan dan pemanasan global kapitalisme mulai manjadi usang.. kedepan........?

Oleh Muhamad Zen (FB)

www.MataHati.com

Rabu, 10 Juni 2009

Encounters with The Dani

First published in 2003, Encounters With The Dani, a history of contact with the Dani tribe, is a book worth revisiting. It was written, photographed and designed by Susan Meiselas, one of the most influential and important documentary photographers working today.

Meiselas, who studied anthropology before she became a professional photographer, consistently pushes beyond the traditional boundaries of documentary photography. Her work includes a wide variety of media, including installation and film. In Encounters with the Dani, Meiselas pieces together found documents that describe the history of contact between the outside world and the Danai of the West Papuan highlands, who were only “discovered” in 1938.

At the end of the book, Meiselas tells the story of the journey that led to the making of Encounters with the Danai. It began in 1988, when she joined a reconstruction expedition of the 1964 documentary film about the Dani, Dead Birds.

Eleven years later, in 1999, Meiselas wrote to the Nederlands Foto Instituut (NFI), saying: “I want to explore the ways in which the Dani have been seen by travelers, anthropologists, missionaries, colonialists, and perhaps themselves, throughout this century, and, through available technology, create access to that work and a dialogue with the Dani about that representation”.

Four years later, Encounters With The Dani was published in New York. Before the publication of the book however, Meiselas exhibited an interactive digital display of the project in 2001 at the NFI, Rotterdam.

The same materials traveled to Montreal as part of Mois de la Photo 2001. Finally it was included in the first 2003 ICP (International Photography Center) Triennial of photography and video in New York, before starting its journey in book form.
Structured chronologically (1938-2000), this book is divided into eight chapters of crucial moments from 60 years of the Dani’s encounters with the outside world.

The first part of the book begins with an aerial view of the Baliem Valley, a chapter entitled Expedition and Accidents of Discovery (1938-1945).

This photograph, taken for the American Museum of Natural History on June 23, 1938, by a wealthy American explorer, Richard Archbold, not only visually represents the valley, but also shows how aerial photography has played an essential role in the use of photography as an instrument of symbolic control of the Terra Incognita.

The camera is employed as a tool with which to fill in the blanks, thereby satisfying our yearning for complete knowledge.

The people, shown later in this book, “were viewed as a curiosity by the press and the public, as savages waiting to be converted by Christian missionaries, or as political pawns in a wider struggle for control of the region”.

The photo of former dangdut queen Elvi Sukaesih dancing with the Dani tribesmen during an Independence Day celebration in 1972 in the chapter called “The Indonesianization (1970-1992)” serves as a fine example of this mentality.

Encounters with the Dani places equal emphasis on images and the written word. The Dani are revealed and reshaped through archival artifacts: old photographs, official documents, newspaper clippings, stamps, field notes, cartoons, letters, postcards and interviews.

Source : www.PapuaToday.com

Jumat, 05 Juni 2009

RI Belum Meratifikasi Konvensi Under Water Heritage UNESCO

Indonesia hingga kini belum meratifikasi konvensi Under Water Heritage UNESCO, mengingat hal itu belum menguntungkan Indonesia secara ekonomis. RI mengusulkan dalam penanganan benda cagar budaya bawah air tidak hanya mengedepankan unsur pelestariannya saja, namun juga mempertimbangan pemanfaatan secara ekonomi bagi masyarakat.

"Kita masih melakukan evaluasi, dan mengusulkan selain unsur pelestarian juga ada kepentingan ekonomis," kata Hari Untoro Drajat, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) ketika menyampaikan program kerja Ditjen Sejarah dan Purbakala kepada pers di gedung Sapta Pesona Jakarta, Kamis (5/6).
Dikatakan, visi Indonesia dalam penanganan benda cagar budaya bawah air sebagai warisan budaya (under water heritage) tidak hanya dilihat dari sisi pelestariannya semata, melainkan juga menyertakan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. "Kalau kita hanya mengedepankan unsur pelestarian sedangkan benda cagar budaya bawah air itu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan negara, tentunya hal itu tidak memberikan keuntungan bagi bangsa kita," kata Hari Untoro.

Hingga kini baru beberapa negara yang telah meratifikasi konvensi Under Water Heritage UNESCO. Pada umumnya mereka bukan negara maritim dan tidak memiliki peninggalan benda cagar budaya bawah air.

Dalam penanganan benda cagar budaya bawah air, yang oleh masyarakat sering disebut harta karun, Indonesia mempunyai pijakan aturan yakni Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) serta Keppres No.107 tahun 2001 tentang pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). (Pusformas)

Sumber : http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511&id=3981

Senin, 01 Juni 2009

Manohara dan Analisa Politik.

Melihat tutur kata dari pengacara kerajaan, yang dengan tenang dan meyakinkan (meskipun bohong).

Membuat saya menjadi tidak heran, jika kita membaca koran-koran pada zaman Soekarno (di Perpustakaan Nasional), mengapa Soekarno, secara implisit mengatakan bahwa Malaysia adalah bangsa yang mencla-mencle.

Saya juga jadi melihat lahirnya Soekarno Kecil (menyitir kata-kata Permadi), pada diri Prabowo, yang dengan lantang mengatakan bahwa "Kedaulatan Ambalat Harga Mati"

Meskipun saya tidak memilih satu diantara tiga capres, tetapi jika Anda menang,tolong buktikan kepada rakyat, bahwa Anda memang benar-benar mencintai bangsa ini.

Di sisi lain, mungkin juga kasus Manohara ini untuk mengerem kemarahan rakyat yang melihat banyak sekali kasus-kasus (Ilegal Fishing, Penganiyayaan/Pemerkosaan terhadap TKI, Masalah Perbatasan, dan masih banyak lagi)dengan Malaysia belakangan ini.

Malaysia Incorporated di singkat Malinc dibaca Maling

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Senin, 01/06/2009 19:08 WIB
Daisy Tolak Ajakan Bertemu Pihak Kelantan di Singapura
Ramdhan Muhaimin - detikNews

Kualalumpur - Manohara Odelia Pinot telah kembali ke Jakarta. Mantan model cantik itu mengaku kepulangannya ke rumah ibunya sempat diwarnai ketegangan karena dirinya hendak disekap.

Namun pihak Kesultanan Kelantan membantah semua cerita perempuan cantik berdarah Amerika Serikat-Indonesia itu. Berikut kronologi yang disampaikan kubu Kelantan, Mohd Soberi Shafii, dalam jumpa pers di Hotel Mandarin, Kuala Lumpur, Senin (1/6/2009).

Soberi mengaku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan suami Manohara, Tengku Muhammad Fakhry maupun Sultan Kelantan. Soberi jugalah yang waktu itu membantu Fakhry membawa pulang Manohara dari Jeddah, Arab Saudi, seusai umroh.

"Tidak ada yang menghalangi Mano pulang ke Jakarta. TT (Tengku Temenggung Fakhry) pun tidak masalah Mano pulang," kata katanya.

Menurut Soberi, sebenarnya pihak Kelantan telah mengetahui bahwa ibunda Mano, Daisy Fajaria di Hotel Royal, Singapura, Minggu 31 Mei. Pihak Kelantan pun berencana mengajak Daisy untuk bertemu 8 mata antara Daisy, Mano, Fakhry, dan istri Sultan.

"Mereka menunggu Bu Daisy, rencananya untuk pertemuan delapan mata antara Bu Daisy, Mano, TT dan istri sultan. Kami minta supaya Bu Daisy dibawa ke lantai 3 dan akan diterima dengan baik. Tapi Bu Daisy refuse (menolak)," kata Soberi. (ken/iy)
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org