Rabu, 30 Januari 2008

History of Jayapura

History of Jayapura In the book of Nagara-Kertagama writen by Rakawi Prapanca of Majapahit, under the rule of King Hayam Wuruk, in 1365 A.D, it was mentioned that West Papua was belong to Majapahit Kingdom territory. In one of its paragraphs mentioned “Muwah tikhan i wandan, ambwan (Ambon) athawa maloko wwanin (Fakfak)” were the sovereign territory of Majapahit Kingdom.

However, the Dutch began serious exploration in about 1898. During Ducth Colonialization, Jayapura City had become a Defense Post of Dutch Army in Pacific area. The Dutch government was assigned P. Windhower at Debi Island, a little island in Yotefa Bay in 1908. In 1912 the post was moved to a mouth of Numbai river, which is a small river that is mouthed in Yos Yudarso Bay. In a formal ceremony, this mouth of Numbai river then named Hollandia on March 7, 1910. The date was then decided to be the birth date of Jayapura. The status of Hollandia City which was a district had become the government Provincial City. Some of the events happened after this moment were the name of Hollandia was changed into New City, then Sukarnopura and finally Jayapura. However, West Papua is Indonesia's "wild east". Much of it was still unexplored by outsiders in the 1930s. Allied (American and Australian) forces passed through here in 1944 on the way to the reconquest of the Philippines. After the Indonesians defeated the Dutch in 1949 and 1950, the Dutch insisted on keeping Irian Jaya. They finally gave up the colony in 1963, under a combination of military and diplomatic pressure. In 1969, a UN-sponsored referendum led to Irian Jaya becoming a province of Indonesia. The vast development forced the Region Government to split Jayapura to two districts: North Jayapura and South Jayapura. In 1988, Jayapura was become Administrative City and then in 1993 became Jayapura madya City. Lately, with the Act of Region Government number 22 year 1999, it was then becoming Jayapura City. (Lhernot)

Source : http://www.papuatoday.com

Minggu, 27 Januari 2008

SOEHARTO MEMPERLAKUKAN SOEKARNO

COBA SIMAK ARTIKEL YANG SAYA KUTIP DARI BEBERAPA SUMBER DI BAWAH INI, MARILAH KITA AMBIL KESIMPULAN TENTANG PERLAKUAN SOEHARTO TERHADAP SOEKARNO.

KEHIDUPAN SOEKARNO DI BULAN JUNI: Cermin Penghinaan Terhadap Seorang Founding Father

Oleh Beni Bevly

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” Soekarno, Menggali Api Pancasila.

Ada dua peristiwa sangat penting yang terjadi kehidupan Soekarno pada bulan Juni, tahun 1970. Sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, mengatakan bahwa Soekarno telah “dibunuh dua kali” karena Hari Kelahiran Pancasila yang Soekarno bidanin pada 1 Juni 1945 dilarang oleh Orde Baru untuk diperingati. Pada tanggal 21, bulan Juni 1970 jugalah, Soekarno meninggal di “penjara” di Wisma Yaso, Jakarta dengan kondisi yang tak terawat (Asvi Warman Adam, Pancasila dan Soekarno, jawapos.com) Larangan untuk memperingati hari lahirnya Pancasila adalah pembunuhan pertama dan kematian Seokarno di Wisma Yaso adalah pembunuhan kedua.

Aku menilai peristiwa ini sebagai suatu cerminan penghinaan terhadap seorang founding father. Betapa tidak? Perjuangan untuk memerdekakan Indonesia dan menyatukannya di bawah Pancasila dengan melewati rintangan yang panjang, berat dan keluar-masuk penjara di bawah penjajah ternyata pada hari terakhirnya, Soekarno harus meninggal di dalam “penjara” di negara yang ia merdekakan. Bukan itu saja, Pancasila yang ia mimpikan akan menjadi dasar negara yang mulia ternyata menjadi senjata yang ganas dan dipergunakan untuk menumpas jutaan rakyat Indonesia di bawah rejim Soeharto.

Untuk menghilangkan arti Pancasila yang sesungguhnya, Soeharto melarang peringatan hari lahirnya Pancasila pada setiap tanggal 1 Juni. Hal ini dilakukan agaknya berkaitan dengan ide pencetusan Pancasila oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Ide ini dituangkan dalam pidato di depan BPUPKI, ia mendapatkan sambutan sangat meriah dan tepuk tangan paling ramai. Intinya, Soekarno melihat bahwa Pancasila bisa dipakai sebagai alat yang bisa menerima perbedaan dan mempersatu bangsa yang beragam dari Sabang sampai Merauke. Untuk memperlihatkan betapa beragamnya bangsa Indonesia, Sokarno pernah mengaku kepada Louise Fischer, bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu (Clifford Geertz, Islam Observed, 1982). Tetapi Soeharto mempergunakan Pancasila sebagai alat penumpas perbedaan dan alat memperkokoh kekuasaan.

Bukan itu saja, untuk memperkokoh Pancasila, Soeharto mengidentikan Pancasila sebagai perisai yang menghancurkan PKI di Indonesia dengan menetapkan Hari Kesaktian Pancasila dan diperingati secara sakral pada setiap tanggal 1 Oktober. Di samping itu Pancasila juga dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi masyarakat tanpa kecuali.

Ideologi itu dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah. Penataran dilakukan secara berjenjang dan menggunakan anggaran negara. Namun, Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian butir-butir sifat yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur dicap “anti-Pancasila” (Asvi Warman Adam, Pancasila dan Soekarno, jawapos.com).

Yang lebih menyedihkan lagi, seperti di singgung di atas, Soekarno diberlakukan seperti seorang “kriminal” di Wisma Yaso, Jalan Gatoto Subroto, Jakarta. Kabarnya, semua hubungan Soekarno dengan dunia luar ditutup. Ia tidak dijinkan untuk mendengar radio, menonton televisi dan membaca koran. Selama di wisma itu, ia hanya ditemani oleh seorang dokter umum yang tidak memiliki spesialisasi sehingga pada saat Seokarno sakit komplikasi, ia tidak mendapat perawatan yang layak. Lebih dari itu, Soekarno juga sangat dibatasi untuk menemui keluarganya. Dengan bantuan seorang dokter gigi keturunan Cina, Oei Hong Kian, ia bisa menyelinap keluar dengan mengaku sakit gigi. Itulah satu-satunya kebahagiaan yang ia miliki, yaitu berkumpul dengan keluarganya.

Apakah Soekarno diam saja terhadap semua penghinaan yang ia alami sejak tahun 1965? Ternyata tidak. Hal ini dibuktikan dengan pidato yang berjumlah 103 kali dalam periode 1965-1967. Di antaranya yang diketahui oleh umum adalah pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolak MPRS tahun 1967. Selebihnya pernyataan dan pidato Soekarno tidak disiarkan oleh koran-koran, radio ataupun televisi yang telah dikuasai Soeharto.

Berikut adalah beberapa pernyataan Soekarno yang patut diketahui oleh Rakyat Indonesia (tokohindonesia.com):

Dalam pidato 20 November 1965 di depan keempat panglima Angkatan di Istana Bogor BK mengatakan, “Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu.” Tampaknya ucapannya itu ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan, “Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya (berbeda dengan nama tokoh lain, Soeharto disebut dua kali dan secara berturut-turut).

Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Presiden mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa di Lubang Buaya. Demikian pula tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers. 100 silet yang dibagikan untuk menyilet kemaluan jenderal itu tidak masuk akal.

Memang Soekarno tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai contoh ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak. Tetapi bukan berarti bahwa jasa terpentingnnya seperti sebagai perumus Pancasila bisa dipungkiri dan dimelencengkan. Juga bukan berarti bahwa kebebasan fisik, pikiran dan mentalnya bisa dikekang dan dianiaya begitu saja. Akhir kata, Soekarno bukanlah tokoh yang patut dihina, tetapi ia adalah lambang pemersatu bangsa. Bukankah suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya?

_____
*Beni Bevly holds BA in Political Science, MBA in Marketing, and is a DBA (Doctor of Business Administration) candidate. He is the founder of Overseas Think Thank for Indonesia.

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14

PAK HARTO : BAPAK PEMBANGUNAN NOTABENE BAPAK KERUNTUHAN BANGSA INDONESIA

SECARA PRIBADI SAYA TELAH MEMAAFKAN KESALAHAN DARI PAK HARTO SELAMA MEMIMPIN BANGSA INDONESIA 32 TAHUN LAMANYA. TAPI TIDAK UNTUK BERJUTA RAKYAT INDONESIA YANG MENJADI KORBAN OTORITAS BELIAU. MUNGKIN KELUARGA BUNG KARNO, KELUARGA KORBAN TRAGEDI TANJUNG PRIOK DSB YANG TERKAIT DENGAN KEBIJAKANNYA, KELUARGA-KELUARGA YANG MENJADI KORBAN IMBAS KRISIS MONETER TAHUN 1997. INDIKASI ADANYA PEMUTARBALIKKAN SEJARAH PENGEMBAN SUPERSEMAR OLEH BELIAU YANG SAMPAI SAAT INI MASIH JADI SEBUAH MISTERI ADALAH SEBAGIAN DOSA-DOSA DARI PAK HARTO.

SAAT MEMIMPIN BANGSA INDONESIA PAK HARTO MENDAPAT GELAR SEBAGAI BAPAK PEMBANGUNAN ATAS PROGRAM-PROGRAM YANG DICETUS SEHINGGA PEREKONOMIAN INDONESIA TERUS MENINGKAT DARI TAHUN KE TAHUN. NAMUN KEBEBASAN BERDEMOKRASI DAN BERAPRESIASI SEPERTI DIKEBIRI DAN APABILA ADA YANG MENANTANG KEBIJAKAN BELIAU UJUNG-UJUNGNYA AKAN BERSTATUS TAHANAN POLITIK. SEMUA SELEBRITI DIGIRING UNTUK BERGABUNG BERSAMA GOLKAR (KENDARAN POLITIK PAK HARTO) SAAT BERLANGSUNGNYA PESTA KAMPANYE. KETIKA RHOMA IRAMA BERGABUNG DENGAN PPP TAHUN 1982 DENTINGAN MELODI GITAR DAN SUARA MERDUNYA TAK TAMPAK LAGI DI LAYAR TELEVISI. PPP DAN PDI SENGAJA DICIPTAKAN SEBAGAI ORNAMEN DEMOKRASI HANYA UNTUK MEMENUHI SYARAT BERLANGSUNGNYA PESTA DEMOKRASI. ORANG BODOHPUN BISA MENEBAK KALAU AKHIRNYA GOLKAR AKAN MENJADI PEMENANG PEMILU.

PARA SENIMAN SEPERTI KOES PLUS DAN WS. RENDRA PERNAH MERASAKAN PAHITNYA HIDUP DI BILIK PENJARA PUN DEMIKIAN DENGAN KRITIKUS POLITIK SEPERTI SRI BINTANG PAMUNGKAS, ARIEF BUDIMAN DAN BUDIMAN SUDJATMIKO. NYALI MEREKA UNTUK MENYUARAKAN KEADILAN BELUM CUKUP MENYADARKAN REZIM ORDE BARU KALA ITU MALAH MEMBUAT MEREKA MURKA. DI SUDUT LAIN TOMMY SEDANG SIBUK-SIBUKNYA DENGAN PROYEK MOBIL TIMOR, TUTUT SEDANG MENANTI SANG SUAMI BERMAIN KUDA SEBAGAI BAGIAN RELAKSASI SETELAH TERSITA DENGAN KEGIATAN BISNIS YANG BEGITU PADAT. BAMBANG MENGISI WAKTU LUANG DENGAN OLAHRAGA MENEMBAK, TITIK MENDAMPINGI SANG SUAMI MELANTIK BAWAHANNYA, MAMIEK SEDANG BERBAHAGIA MENUNGGU KELAHIRAN BUAH HATINYA DAN BU TIEN LAGI SIBUK DENGAN SEABREK KEGIATAN SOSIAL KONSEKUENSI SEBAGAI IBU NEGARA. BEGITULAH HARI-HARI YANG DIJALANI KELUARGA CENDANA.

BERUNTUNG PAK HARTO DIKELILINGI PARA AGITATOR HANDAL. MEREKA BEKERJA LUAR BIASA MENYEMBUNYIKAN KEBUSUKAN ORDE BARU. ............ PAK HARI HARI OMONG KOSONG BILANG KE PAK HARTO KALAU SELURUH RAKYAT INDONESIA MASIH MENGHENDAKI BELIAU KEMBALI MEMIMPIN 200 JUTA RAKYAT INDONESIA. PAK HARTO PUN BERSEDIA MEMIMPIN RAKYATNYA MESKI KEJENUHAN DAN FAKTOR USIA SEDANG MENDERANYA. APALAGI BARU 2 TAHUN BELIAU DITINGGAL UNTUK SELAMA-LAMANYA OLEH SANG ISTRI TERCINTA, SPIRITUAL BELIAU MULAI MENURUN.
SUATU KEBOHONGAN PADA AKHIRNYA AKAN TERENDUS JUGA. BAK RACUN PESTISIDA YANG MENGENDAP DI DALAM TUBUH HINGGA RESIDU TERAKUMULASI DAN PADA AKHIRNYA MENJELMA MENJADI KANKER GANAS. MUNGKIN PERUMPAMAAN TADI BISA DIGAMBARKAN PADA POTRET BURAM BANGSA INDONESIA. SETELAH 32 TAHUN REZIM ORDE BARU BERKUASA DENGAN MENYIMPAN RAPAT2 SEGALA KEBOBROKANNYA HINGGA AKHIRNYA HUTANG LUAR NEGERI INDONESIA MENUMPUK SETINGGI GUNUNG SEMERU. SECARA DRASTIS PEREKONOMIAN INDONESIA TERPURUK DIINDIKASIKAN DENGAN MEROSOT TAJAM KURS RUPIAH IMBASNYA HARGA SEMUA BARANG MELONJAK NAIK, KRISIS MONETER TAK TERELAKKAN. SATU PERSATU PERUSAHAN GULUNG TIKAR, INDUSTRI KECIL TERPURUK, PENGANGGURAN TERJADI DIMANA-MANA. KRISIS EKONOMI DIIKUTI KRISIS MORAL DAN KEPERCAYAAN TERHADAP PEMERINTAH. DEMONSTRASI MENUNTUT LENGSERNYA PAK HARTO MARAK TERJADI DI KAMPUS YANG DIPRAKARSAI PARA MAHASISWA. TINDAKAN MAKAR DAN ANARKISME TERJADI DI IBUKOTA.................. AKHIRNYA 21 MEI 1998 SOEHARTO MENYERAHKAN TAMPUK KEKUASAAN SEBAGAI PRESIDEN RI KEPADA BJ. HABIBIE.

PASCA RUNTUHNYA REZIM ORDE BARU TUNTUTAN UNTUK MENGADILI PAK HARTO BERGAUNG KENCANG, NAMUN KHARISMA PAK HARTO MEMBUAT CIUT PEMERINTAH. CUKUPLAH HANYA TOMMY YANG DIJADIKAN TUMBAL. HINGGA MENGHEMBUSKAN NAFAS TERAKHIRNYA PAK HARTO BELUM MERASAKAN PENGAPNYA UDARA DI PENJARA.

SEBAGAI UMAT BERAGAMA MARILAH KITA MEMAAFKAN DOSA-DOSA PAK HARTO SEMOGA SEGALA KESALAHAN BELIAU DAPAT DIAMPUNI ALLAH S.W.T. WAFATNYA BELIAU ADALAH TONGGAK AWAL UNTUK MENYERET KE MEJA HUKUM ANAK-ANAK, KELUARGA DAN PARA KRONINYA. AYO PAK POLISI, PAK JAKSA, PAK HAKIM TUNJUKKAN KINERJA BRILIAN KALIAN

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/13/PAK_HARTO_BAPAK_PEMBANGUNAN_NOTABENE_BAPAK_KERUNTUHAN_BANGSA_INDONESIA

Senin, 21 Januari 2008

Kartono Muhammad : Bung Karno Ditelantarkan

Senin, 21 Januari 2008 21:15:50 WIB

JAKARTA, BANGKA POS--Sulit menghafalkan
satupersatu peralatan yang digunakan oleh tim dokter untuk merawat
bekas presiden Soeharto. Faktanya, sejak dirawat di Rumah Sakit
Pusat Pertamina (RSPP) 4 Januari silam, Soeharto mendapat perawatan
kelas satu. Bukan hanya peralatan canggih, juga perhatian ekstra
dengan pengawasan dari menit ke menit.

Terlepas dari Soeharto memang berhak
mendapat pelayanan terbaik karena memang membayar
mahal, perlakuan istimewa itu tetap saja
memunculkan pertanyaan. Mengapa, perlakuan yang
sama tidak didapat presiden pertama RI,
Soekarno ketika jatuh sakit. Tidak sedikit saksi sejarah yang
mengakui bahwa ada perbedaan mencolok antara perawatan waktu Bung
Karno sakti
dengan yang didapat Pak Harto sekarang.

Salah satu saksi sejarah itu yakni Prof Dr
Kartono Muhammad. Pria berusia tahun ini pernah diberitahu langsung
oleh Prof Mahar Mardjono yang sempat ditugaskan untuk merawta
Soeharto.

Dr Kartono juga pernah menulis kasus
kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara lain
perawat yang sehari-hari menunggui Bung
Karno di Wisma Yaso (tempat Bung Karno dirawat)
serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter
Cina yang merawat Bung Karno).

"Perbedannya jelas. Dulu Bung Karno tidak
diurusin, ditelantarkan. Tidak ada dokter yang
diserahi tugas untuk mengawasi, tidak ada
dokter spesialis seperti sekarang. Padahal ada tim dokter
kepresidenan, tapi juga tidak pernah datang. Nggak kayak sekarang.
Pak Harto tiap hari dirawat puluhan dokter," kata Dr Kartono
mengisahkan kembali apa yang pernah diketahuinya pada 1967 silam.

Kakak kandung pendiri Tabloid Tempo,
Goenawan Muhammad ini mengaku sesak nafasnya jika
mengingat apa yang telah menimpa Soekarno.
Padahal, kata dia, perlakuan tidak sepantasnya itu diberikan ketika
Bung Karno masih menjabat presiden. Sebab, Soeharto waktu itu masih
menjabat sementara sebagai presiden karena
belum diangkat oleh MPR untuk jadi presiden.

Menurutnya, ditelantarkannya Bung Karno kala
itu tidak lepas dari kebijakan penguasa waktu
itu. Sebab, kenang dia, kebijakan dari
penguasa waktu itu, jika dokter akan ke Wisma Yaso,
harus ada izin dari Pangdam. "Kalau ada
dokter mau memeriksa harus ada surat izin. Tidak ada dokter tiap
hari, obat juga tidak diberikan, kan namanya ditelantarkan,"
kenangnya.
Padahal, lanjut dokter yang pernah menjabat
ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini, tiaptiap dokter itu sudah
mengucap sumpah. Mereka tidak boleh membiarkan pasiennya terlantar.

Kata Kartono, jangankan seorang presiden,
rakyat biasa, atau musuh sekalipun, seorang dokter harus merawatnya
dengan baik. "Kewajiban dokter untuk tidak membedakan siapa
pasiennya. Tapi dokternya memang tidak bisa berbuat apaapa karena
adanya intervensi dari penguasa. Dan penguasa waktu itu adalah pak
Harto. Jadi perlakuan mikul duwur mendem jero itu dimana," tanya
Kartono.

Filosofi mikul duwur mendem jero itu pernah
identik dengan sikap Soeharto. Namun, kata
Kartono, perlakuan yang diberikan terhadap
Bung Karno menjadi penegas apakah Soeharto telah melaksanakan
filosofi terseut atau tidak. "Nggak terbukti, karena buktinya
dibiarkan terlantar. Kalau nerapin filosofi itu harusnya di
perhatikan dong," kata dia.

Meski menyesalkan perlakuan terhadap
Soeharto, Dr Kartono menuturkan bahwa Soeharto layak
mendapat perlakuan istimewa. Menurutnya,
siapapun pasiennya, harusnya mendapat perawatan
yang terbaik.

"Over atau tidak tergantung dari kondisi
penyakitnya. Tapi pemberitaan dan
perhatiannya yang over. Perhatian yang
diberikan luar biasa, tiap menit diperiksa, diawasi terusmenerus,"
lanjutnya.

Sementara sejarawan Indonesia, Prof Dr
Taufik Abdullah menegaskan bahwa, jika dilihat dari
sudut pandang historis, perbedaan bangsa ini
memperlakukan Soekarno dan Soeharto yang
sedang tergolek sakit, tidak lepas dari apa
yang terjadi kala itu.

Menurut Taufik, 71, ketika Soekarno sakit
pada tahun 1967, suasana kala itu belum stabil. Ia menyebut, Orde
Baru masih melakukan konsolidasi untuk memapankan kekuasaan.
Sementara
Soekarno yang tengah sakit, masih memberikan
pengaruh yang besar di masyarakat dengan aliran Soekarnoisme nya.

Dalam bahasa Taufik, Soekarno meninggalkan
ideologi. Dan bagi penguasa ORBA, ada dua agenda utama yang harus
dilakukan kala itu.

"Selain menghancurkan kelompok yang melawan
seperti PKI, juga menggerogoti kekuatan
Soekarnoisme. Itu karena posisiposisi penting baik di AD, AL, waktu
itu masih dipegang orang yang pro Soekarno. Inilah yang digarap
pemimpin Orde Baru. Yakni bagaimana menyingkirkan mereka. Sebut
saja, Ibrahim Aji didutabesarkan," kata Taufik saat ditemui di
kantornya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.

Menurutnya, waktu itu Soeharto sebagai
pemimpin, mencoba menerapkan falsafah mikul dhuwur
mendem jero dengan 'menyimpan' Soekarno yang
sakit, agar jangan sampai terhina. Sebab, waktu itu, lanjut Taufik,
tuntutan agar Soekarno diadili karena dianggap terlibat Gestapu
sangat besar.

"Tapi, selain disimpan agar tidak terhina,
Bung karno juga dianggap ancaman karena Orde Baru waktu itu tengah
melakukan konsolidasi. Dan perlakuan terhadap Bung Karno akhirnya
yah seperti yang telah dicatat sejarah" lanjut Taufik dengan suara
lantang, meski semua rambutnya sudah memutih.

Sementara untuk sakitnya Soeharto sekarang,
kata Taufik, terjadi setelah 10 tahun dia lengser keprabon, ketika
bangsa tidak dalam keadaan labil. Apalagi, tidak ada tinggalan
ismeisme (ideologi) dari Soeharto yang mengancam pemerintahan sepert
era Soekarno dulu.
"Masalah pakHarto itu murni masalah hukum,
baik itu kasus dugaan korupsi dan pelanggaran HAM. Selain itu, untuk
perawatannya, keluarganya kan juga bayar sendiri," katanya.

Namun, terlepas dari siapa yang membiayai,
Taufik menyesalkan kondisi Soekarno yang disebutnya diterlantarkan.
Yang jelas, ketika Soekarno meninggal, Taufik mengakui bahwa waktu
itu adalah momen paling menyedihkan bagi bangsa Indonesia.

Ia mengatakan, perasaan kehilangan tidak
hanya menimpa rakyat yang sangat mencintai proklamator RI tersebut,
tapi termasuk juga golongan yang menentang Bung Karno. "Saya ingat
waktu itu air mata saya juga tumpah," katanya dengan suara lirih.

Dan sikap rakyat Indonesia itulah yang
dianggap Taufik menjadi perbedaan antara Soekarno dan Soeharto.
Meski tidak sedikit yang juga mencintai dan membenci Soeharto,
tetapi menurutnya berbeda dengan pandangan orang terhadap
Soekarno. "Orang tidak terlalu fanatik pada pak Harto. Gampang saja
melihatnya, istilah Soekarnoisme hingga sekarang masih kuat. Tapi
kan tidak ada Soehartoisme," sebutnya.

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14

Sikap Bangsa Terhadap Soeharto

Senin, 21 Januari 2008 00:58 WIB
Oleh Fajar As

Sebagaimana nasib Soekarno dulu, kini pun pimpinan negara Indonesia bersikap tidak tegas, kejam dan telah dalam bentuk vandalisme, membangun ketidakpastian yang sangat merusak dan membangun perpecahan dalam menyikapi posisi Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang berkuasa 32 tahun. Sebagaimana terhadap Soekarno kini terhadap Soeharto pun dilakukan penahanan yang tidak jelas penanganannya. Soekarno didera penyakit sangat berat dalam masa tuanya dan demikian juga Soeharto. Hanya ada perbedaan bagaikan siang dengan malam bahwa Soekarno ditempatkan menjadi manusia yang tidak boleh didekati dan dijauhkan oleh para pejabat negara, dan di pihak lainnya, sedangkan Soeharto mendapat penanganan perawatan yang sangat prima dan mendapat kunjungan massal para pejabat negara.


Soeharto telah melakukan kesalahan sangat besar bila dilihat dari perjalanan bangsa Indonesia ketika menempatkan Soekarno bagaikan musuh yang tidak boleh diampuni. Momentum besar untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang luhur, mikul dhuwur mendhem jero (menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua, kekurangan orang tua tidak perlu ditonjolkan) yang selalu dikemukakan Soeharto, tetapi tidak dilaksanakan terhadap orang tua bangsa Indonesia (Soekarno). Tidak menyemayamkan jenazah Soekarno di Istana Negara dan tidak bertindak menjadi Inspektur Upacara penguburan jenazah Soekarno dan menyerahkannya kepada Menteri, sungguh suatu perbuatan yang sangat tidak pantas dilihat dari peran Soekarno sebagai penganjur bangsa Indonesia yang terbesar. Sungguh suatu lembaran hitam perjalanan Bangsa Indonesia yang harus dikoreksi dan dicerahkan.

Soeharto Jatuh

Bila Soekarno dijatuhkan maka Soeharto jatuh oleh karena keruntuhan perekonomian yang dibangunnya sendiri di mana arsitek utamanya adalah Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Soebroto. Dan perlu dipahami bahwa baik Soeharto maupun Soeharto jatuh memalukan adalah berdasarkan keruntuhan ekonomi. Jatuhnya Soeharto kelihatan diwarnai oleh hujatan yang sangat luas dan penghinaan terhadap Soeharto oleh pihak-pihak tertentu sungguh sangat kejam dan keterlaluan. B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnaputri terlihat gagal menangani kasus Soeharto dan terlihat dibiarkan berlarut-larut sampai munculnya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peluang emas untuk mewujudkan mikul dhuwur mendhem jero berada di tangan SBY, dan Presiden pilihan langsung rakyat ini seharusnyalah memanfaatkan peluang emas, dan tidak menjadikannya menggantung dan penuh ketidakpastian.

Fundamen Kokoh

Untuk menangani kasus Soeharto maka Presiden SBY harus bersikap membangun fundamen yang kokoh posisi Presiden dan mantan Presiden Republik Indonesia. Harga mati pertama yang harus menjadi pegangan adalah di mana Presiden dan mantan Presiden tetap berada di posisi yang mulia oleh karena tokoh-tokoh ini adalah pemimpin bangsa. Dalam kaitan ini harus dihindari, semaksimal-maksimalnya di mana Presiden melakukan kejahatan. Untuk itu kesalahan yang dilalukan Soekarno dan Soeharto yang bertindak totaliter dan sewenang-wenang menjadilah sejarah hitam bangsa Indonesia yang terakhir.

Dan ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) diberlakukan murni di mana yang berdaulat atas yang berkuasa di Indonesia yang merdeka itu adalah seluruh rakyat. Soekarno dan Soeharto oleh karena telah melanggar sangat serius ketentuan UUD maka kedua pemimpin ini berstatus melakukan kesalahan besar dan untuk itu Presiden SBY menerbitkan Maklumat Negara setelah lebih dahulu melakukan konsultasi dengan Jaksa Agung, dan Mahkamah Agung. Bila buktibukti atau indikasi telah sangat kuat yang menunjukkan Soeharto melakukan tindak pidana korupsi atau sejenisnya, maka langkah prioritas puncak yang dilakukan Presiden adalah melakukan konsultasi dengan pihak Soeharto agar dana yang dimilikinya secara tidak sebagian dikembalikan kepada rakyat Indonesia melalui Presiden.

Gugatan perdata yang saat ini digelar oleh Kejaksaan Agung hanya diusahakan penyempurnaannya dengan mempertimbangkan halikhwal yang sangat luas dan demi kepentingan perjalanan Bangsa Indonesia ke depan. Keputusan sangat tegas dari Presiden SBY sungguh sangat mendesak dan dalam proses ini Presiden melakukan konsultasi yang intensif dengan Jaksa Agung dan Mahkamah Agung. Presiden SBY tidak boleh hanya menonton proses ini dan hanya menerbitkan saran dan berbagai retorika tentang Soeharto. Jaksa Agung dapat diminta menerbitkan keputusan mengesampingkan seluruh kasus Soeharto demi kepentingan umum.

Untuk perjalanan bangsa Indonesia ke depan bahwa menempatkan mantan Presiden di posisi yang mulia adalah merupakan kepentingan umum. Dan Presiden atas nama seluruh rakyat Indonesia mengumumkan memaafkan segenap kesalahan atau kelemahan Soeharto. Dengan pola inilah dilakukan tindakan-tindakan politik dan kebijaksanaan negara terhadap siapa pun dan kelompok manapun yang mendapat keuntungan tidak wajar dan tidak sah dari kepemimpinan Soeharto. Jadi tidak boleh lolos dari kewajiban terhadap seluruh rakyat Indonesia. Sambil membangun kesadaran terhadap pihak-pihak yang mendapat keuntungan tidak wajar dari kepemimpinan Soeharto, bahwa Presiden SBY membangun perencanaan keuangan negara yang sempurna sebagaimana ditaur oleh UUD, dan ilmu penanganan keuangan modern. Perbuatan korupsi dan kolusi yang semakin meluas saat ini adalah akibat dari kelemahan dan kesalahan perencanaan keuangan negara Indonesia yang telah berlangsung bertahun tahun.

Bergerak Cepat

Presiden SBY kelihatannya harus bergerak sangat cepat agar posisi Soeharto tidak menjadi tidak jelas. Dengan aksi Presiden atas nama seluruh rakyat yang memaafkan kelemahan dan kesalahan Soeharto, bahwa mantan Presiden ini bila wafat maka jenazahnya disemayamkan di Istana Negara dan Inspektur Upacara pemakamannya ditangani langsung oleh Presiden SBY. Pada saat yang sama bahwa seluruh rakyat Indonesia harus mendapat perubahan kehidupan yang bergerak maju jadi tidak hanya menjadi tumbal dari pergerakan politik dan kekuasaan di Indonesia.

Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Politik Internasional

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14

Minggu, 20 Januari 2008

Mengasihani Soeharto, Mengasingkan Soekarno

Oleh : Fransisca Ria Susanti

JAKARTA – Seorang perempuan muncul di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, awal 1990-an. Di tangannya, 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga. Ia ingin bertemu Kartono Mohammad (Ketua IDI saat itu). Tak banyak percakapan di antara mereka. Perempuan itu kemudian menghilang.

Jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping (dokter yang merawat mantan Presiden Soekarno) di Hong Kong. Dari Wu, Kartono tahu bahwa Soekarno “hanya” mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965. Ia sama sekali tak mengalami koma.
Penasaran dengan keterangan ini, sampai di Jakarta, ia menemui Mahar Mardjono. Ia meyakini satu-satunya dokter yang tahu banyak soal stroke saat itu hanya Mahar. Ia tak pernah menyangka bahwa Mahar tak hanya berkisah soal stroke itu, tapi juga rentetan kejadian yang membuatnya berkesimpulan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Kartono gelisah.
Bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono. Namun, Indonesia di awal 1990-an bukanlah negeri yang ramah. Kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Bundel buku itupun terpaksa teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.
Hingga kemudian, krisis ekonomi Asia meledak. Rakyat turun ke jalan dan Soeharto dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kebenaran tiba-tiba muncul dalam banyak versi.
Kartono pun teringat onggokan bukunya. Ia bergegas ke RSPAD, institusi yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso, tempat di mana Soekarno dirawat dan meninggal sebagai pesakitan. Ia berharap dapat menemukan mereka. Ia ingin bangsa Indonesia bisa mendapatkan cerita lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno.
Namun menemukan Dina, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki file dari para perawat ini. Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Seoekarno pun gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Kartono, saat itu, tak yakin.
Hingga pekan lalu, di hadapan pers, Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Mirip dengan kesimpulan Kartono, Rachmawati mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya.
Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Wu Jie Ping pun, kepada Kartono, mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi sebagai komplikasi.
Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri.
Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan “kemarahan” Mahar Mardjono saat ia menemukan resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di RSPAD. Kepada Kartono, Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah instruksi.
Dan dari catatan para perawat tersebut, Kartono menemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum. Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer.
Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah, Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan kemerdekaannya.

Tak Adil
Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden.
Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk membuktikan tudingan ini.
Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan.
Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ada suatu masa, di mana memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar.
Kini, saat publik ramai-ramai mempersoalkan pengadilan Soeharto—atas tudingan korupsi—mendadak nama Soekarno kembali disebut. Para pejabat negara beramai-ramai bicara soal pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya: rehabilitasi.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut solusi ini semacam “sogok” untuk meredam kemarahan kaum Soekarnois saat belas kasihan yang ditunjukkan sejumlah pejabat negara kepada Soeharto tampak begitu berlebihan.
Namun rehabilitasi, menurut Asvi, hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis.
Bagaimana mungkin “obat” yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno?
Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain, termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya.
Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya cukup dilihat dari “pengampunan” kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis yang dibuat Soeharto.
Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili, ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua.
Kita harus berdamai dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya, tapi melihatnya secara lebih jernih, sehingga masa depan tak lagi tampak menakutkan.

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org