Jumat, 27 Oktober 2000

Proses Demokrasi Lebih Penting Ketimbang Gus Dur

27-10-2000 / 22:06 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Para elite politik Indonesia seharusnya berpikir lebih kritis dan rasional untuk menggugat hal-hal yang lebih mendasar dalam proses demokratisasi. “Tak masuk akal semua elite politik saat ini hanya sibuk mengurus satu orang Gus Dur saja,” ujar pakar politik hukum asal Amerika Serikat, Daniel S. Lev, di Jakarta, Jumat (27/10) sore.

Daniel mengungkapkan hal itu ketika ditanya mengenai kinerja pemerintahan Gus Dur yang sedang digugat elite politik saat ini. Menurut dia, seharusnya masyarakat politik berpikir mengenai lembaga-lembaga demokrasi yang belum lagi tumbuh kuat. “Ada masalah dengan DPR yang belum lagi dewasa dan juga sistem pengadilan amburadul,” ujarnya.

Secara pribadi, ia menolak berkomentar mengenai kepemimpinan Gus Dur. Bagi dia, yang lebih penting adalah ide-ide yang telah diperjuangkan Gus Dur selama ini. “Anda semua bisa bicara bebas dan berpartai politik secara merdeka, itu semua sangat penting bagi masa depan demokrasi,” tuturnya. Prestasi lainnya adalah keberhasilan Gus Dur meminimalisir peran politik tentara. “Harus diingat tentara menjadi biang kekacauan politik Indonesia sejak 1957,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa kesalahan Gus Dur dalam kasus Texmaco dan lainnya tetap harus koreksi secara kritis. Meski diakui tidak semua dikritik akan didengar Gus Dur, ia yakin Gus Dur tetap memperhatikan kritik-kritik itu. Ia pun menilai perdebatan mengenai perilaku Gus Dur mulai membosankan dan tidak relevan dengan persoalan mendasar bangsa Indonesia. “Sekali lagi, problem sekarang adalah secepatnya menata sistem pemerintahan, kepolisian, kehakiman, dan birokrasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa di tengah krisis yang berkepanjangan, para elite Indonesia masih sempat pamer mobil mewah. “Itu duit datang dari mana? Sementara, di sisi lain, angka pengangguran meningkat lebih dari 50 persen,” ujarnya, heran. Untuk itu, disarankan agar rakyat Indonesia memikirkan tingkah laku para elite mereka. “Kaum elite itu cukup berbahaya jika tidak dibatasi pengaruhnya,” tegasnya. Hanya dengan pembangunan institusi sosial yang kuatlah, pertumbuhan politik demokrasi Indonesia bisa dicapai. Jadi, menurut Daniel, ketimbang memikirkan perilaku Gus Dur, lebih baik memikirkan hal yang mendasar bagi negeri ini. (Nezar Patria)

Sumber : http://www.tempo.co.id/harian/fokus/52/2,1,17,id.html

Rabu, 19 Juli 2000

Sejarah Agama Lokal

Tidak ada satu agama pun di dunia, yang mendunia tanpa proses sosialisasi sebelumnya. Pada awalnya, semua Agama lahir sebagai Agama Lokal terlebih dahulu.

Kedjawen adalah agama lokal tertua di Indonesia. Jadi, Kedjawen bukanlah Kejawen Hindu, Kejawen Budha, Kejawen Kristen, dan bukan juga Kejawen Islam.

Tahun 6425 Jawa sama dengan tahun 2000 Masehi

Tahun:
Tahun Jawa : 4425 = Tahun Masehi 1
Tahun 4046 Jawa, masuk pengaruh Hindu dari India ke P Jawa (Dikenal sebagai Zaman Ajisaka)

Empat Sila Utama Pola Hubungan

Kesamaan dan Perbedaan Agama Jawi dengan Beberapa Agama-agama di Dunia lainnya

Agama Tidak Membuat Orang Jadi Baik

Tidak ada satu Agama pun di dunia, yang bisa membuat orang jadi baik. Yang ada; Orang baik dan mempunyai niat yang baik, menggunakan Agama apa pun, untuk tujuan kebaikan. Pasti dia akan jadi baik.
Jadi pilihlah Agama yang sesuai dengan Hati Nurani.

Sifat Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Sembahyang

Minggu, 09 Juli 2000

Logo Mata Rakyat


Kalimat awal

Kalimat berikutnya

Jumat, 23 Juni 2000

Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan merupakan sebutan untuk agama/kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Kanekes, Lebak, Banten. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya Islam.
Sunda Wiwitan adalah agama yang sudah sejak lama dipeluk oleh masyarakat Sunda, jauh sebelum penjajah kolonial datang ke Indonesia. Bahkan, meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. “Secara budaya, mereka belum meninggalkan agama Sunda ini,” kata Rama Jati. Dalam perjalanan waktu, Sunda Wiwitan juga pernah mengalami masa-masa penuh tekanan dari berbagai pihak. Rama Jati sendiri pernah ditangkap dan dipenjara karena dituduh menyebarkan ajaran yang dianggap meresahkan masyarakat. Namun, pernyataan bahwa masyarakat Sunda masih belum meninggalkan agama ini memang bukan isapan jempol. Selain dari budaya penyampaian doa melalui gerak tarian seperti itu, bukti itu juga dapat dilihat dari perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda, atau yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.

Ajaran “Cara Ciri” Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Demikian pula yang berlaku di dalam agama Sunda Wiwitan. Menurut Rama Jati, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. “Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, yaitu cinta kasih atau welas asih, undak usuk atau sebutan tatanan dalam kekeluargaan, tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha,” kata Rama Jati. Untuk unsur yang kelima, wiwaha yudha naradha, maksudnya adalah sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya. Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa, yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa ini. Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda Resihan. “Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat,” kata Rama Jati. Menurut Rama Jati, apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan. Dalam penerapannya, Sunda Wiwitan juga tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Menurut Rama Jati, tabu yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua. “Yang tidak disenangi dan membahayakan orang lain, itu tabu. Selain itu, yang bisa membahayakan diri sendiri dan menjadi kebiasaan, juga merupakan tabu,” kata Rama Jati. Sebagai contoh, papar Rama Jati, makan nasi saja bisa menjadi tabu di dalam Sunda Wiwitan ini. Dengan catatan, tentu saja, kalau makan nasinya terlalu banyak dapat membuat orang sakit perut.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan

Kejawen oleh : Oleh Wal Suparmo

Sebelum menyinggung soal tersebut, ada baiknya mengingat kembali pokok-pokok
Kejawen meskipun sepintas dan hanya sebagian kecil saja.

A. Manusia dekat dengan alam murni menyerap inti hukum/hukum alam.
" Sudah sejak dulu kala , tanah Jawa hijo royo-royo, subur kang tinandur,
gemahripah loh jinawi , tata -tentrem kerta raharja" Demikian selalu yang
diucapkan Ki Dalang pewayangan.
Kehidupan manusia zaman PURBA itu tidak ngoyo (sibuk),waktu banyak terluang,
melahirkan budayanya berkarakteristik: Sabar, damai, saling menghargai kebebasan
masing-masing - toleran, tepo seliro(tenggang rasa), mawas diri.

B. Manusia percaya isi alam ada Penciptanya.
Khayalan dalam waktu santainya menimbulkan pertanyaan: " kalau aku membuat
alat-alat, lalu bertindak mencari bahan-bahan untuk hidup, siapa orangnya yang
membuat isi alam semuanya itu".
Kesimpulan sederhananya: " Tentu , pasti, ada orang seperti saya ini yang
mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa.Sayang dia tidak pernah mau
memperlihatkan diri, Dimanakah Ia adanya?. Tentu di ciptaan-ciptaannya itu:
pohon-pohon besar, gunung-gunung, lautan.."(Penulis lupa nama atau istilah yang
dipakai waktu itu).Keyakinan inilah yang disalah artikan, terutama oleh kaum
Orientalis, bahwa Kejawen itu menyembah BERHALA yang ada di dalam pohon besar
atau batu-batuan dan dianggap sebagai Animisme.

Sesungguhnya banyak kesimpulan: kearifan(wisdom) Kejawen lahir dari kehidupan di
bumi sendiri. Karena itu kiranya Kejawen hingga kini dikategorikan sebagai suatu
Kepercayaan yang dihayati mendalam oleh penghayatnya dalam melahirkan budi
pekerti luhur yang bernilai tinggi.Meskipun seorang Nabi dan Buku Suci yang
disembah tidak ada.

C. Budaya balas-budi (berterima kasih).
Sebagai terimakasih atas jasa-jasa "pencipta" isi alamnya, pada waktu tertentu
penduduk bergotong royong tekun menyampaikan persembahannya berupa makanan dan
hasil tanamannya hingga turun- temurun sampai sekarang yang dinamakan NYADRAN.
Dan banyak berupa tindakan atau hal-hal simbolik saja yang tidak dapat diartikan
secara harfiah.

D.Pertemuan dengan bangsa pendatang.
Dalam abad ke : 3 Masehi, datanglah Hinduisme, disusul dengan Buddhisme satu
abad kemudian. Islam datang pada abad ke: 9 dan berkembang luas beberapa abad
kemudian.
Pertemuan-pertemuan itu bukan menyulut perang, justru membawa pandangan kearifan
Kejawen lebih mendalam yang meluas yang mempengaruhi budayanya juga. Pluralisme
Kejawen membawa manfaat dalam pergaulan seterusnya.

Misalnya: dibidang seni pewayangan epos Mahabharata dan Ramayana diserap dalam
ceritanya setelah penyesuaian dengan asli pewayangan rakyat.
Demikian juga keterampilan rakyat mampu mendirikan bangunan-bangunan dalam
bentuk besar dan kuat seperti candi-candi( Prambanan-Hindhu, Borobudur- Buddha).
mPu Tantular waktu zaman Hinduisme( kerajaan Majapahit) memberi nama puralisme "
BHINEKA TUNGGA IKA".

Suatu penyerapan yang fundamental oleh Kejawen adalah, bahwa Pencipta isi alam
itu bukan di pohon, lautan, tetapi " di atas sana ( Ilahi).
Kejawen memberi sebutan Gusti( Sang Pangeran ) dan ada sebutan sinonim lain yang
digunakan oleh aliran-aliran Kejawen. Demikian juga adanya pemahaman, bahwa
Gusti ada di dalam diri manusia sendiri. Perbedaan-perbedaan faham tidak membawa
pengaruh sedikitpun antara para penghayat dalam pergaulannya.
Tahun baru kalender Jawa( 1 Syuro ) disamankan jatuhnya dengan Tahu Baru
kalender Islam( 1 Hijriah ). Hanya kelender Jawa tetap lebih tua.

E.Visi dan Misi Kejawen.
Dari banyak bentuk wayang yang ada salah satu ada yang bentuknya seperti gunung.
Maka itu namanya gunungan yang ditancapkan di tengah tabir pada pemulaan dan
akhir pertunjukan . Di kulitnya terdapat lukisan gapura yang dijaga raksasa
bersenjata pemukul besar berdiri di kanan dan kiri pintu masuk.
Di belakang gapura ( masuk taman ) ada flora-fauna, ciptaan Gusti, terkesan
indah,aman damai.Itulah gambaran kehidupan di bumi.
Oleh karenanya menurut Kejawen, waktu manusia dilahirkan masuk kehidupan di bumi
, misi terpokok adalah:

MEMAYU HAYUNE BAWONO
Memperindah kehidupan di bumi yang indah( Bawono = kehidupan, bumi_ = buwono ).
Kehidupan selalu membawa perubahan ( bentuk manusia kini lain dengan manusia
purba.Semua bentuk kehidupan, kebiasaan hidup, ilmu pengetahuan, seni dsb).
Kehidupan adalah "KADYO CAKRA MANGGILINGAN" yaitu seperti roda berputar. Dapat
ke atas dapat ke bawah.
Meskipun Kejawen itu mempunyai banyak aliran, tetapi boleh dikata semuanya
berpegang teguh kepada MISI POKOK tersebut.
Untuk mengamankan terlaksananya tuga pokok tersebut, sejak lahir manusia sudah
diberi (given) yaitu "senjata"( percikan ) Gusti sebagai berikut:

NALURI ( perasaan, etos ), NALAR ( otak,rasio ) dan NALURI (spiritualitas,
ketuhanan). Ketiga unsur itu tidak terpisahkan, karena saling menopang.
Percikan ini disampaikan langsung kepada manusia sebagai budi luhur yang "Build
In" dalam diri manusia tanpa perantara manusia lain atau kitab suci.

Dengan demikian maka penghayat Kejawen adalah MANDIRI menghadapi plus dan
minusnya perputaran penghidupannya di bumi. Maka itu manusia
Kejawen selalu harus ingat kepada Pencipta(Gusti), apalagi bila menghadapi
kesulitan atau kegagalan, dan manekung (samadi ) : mohon ampun kepada yang
memberi percikan(Gusti ) karena menghadapi kesulitan atas

keteledorannya dan mohon diberi kesadaran dan kewaspadaan yang kuat (ELING LAN
WASPODO) serta kemampuan menyesaikan persoalannya
sesuai keinginan Gusti. Semangat sejalan keinginan atau bersatu dengan sifat dan
kehendak Gusti itu oleh Kejawen disebut: " MANUNGGALING KAWULO GUSTI ".
Perlu diingat bahwa siapa yang menekuni " manunggaling kawulo Gusti ", nuraninya
harus disokong oleh naluri dan nalar tersebut.
Karena ajaran Kejawin lahir dari ciri-cirinya alam ( yang juga ciptaan Gusti),
ajarannya banyak diperlukan untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan sesudahnya ,dengan latihan kejiwaan untuk memperkuat diri yang
dinamakan NGLAKONI atau tirakat, yaitu antara lain, hangurangi dahar lan
guling,(tidak tergantung waktu tertentu maupun lamanya):
- berpuasa
- ngrowot ( hanya makan sayuran dan buah-buahan)
- mutih (tidak makan garam)
- ngebleng (berjaga/ tidak tidur) dalam ruangan kecil yang terbatas yang gelap
tanpa suara.

Meskiupn demikian ajaran Kejawen juga berisi tentang kehidupan sesuadah kematian
yang disebut ( BAWONO LANGGENG ), yaitu antaranya :
" Sangkan Parane Dumadi " ( dari dan Kemana yang telah diciptakan Gusti itu).
Petunjuk-petunjuk atau petuah dalam Kejawen disampaikan berupa Tembang yaitu
lagu atau nyanyian beserta syairnya atau pantun, yang sekarang tidak begitu
lazim digunakan. Meskupun begitu banyak juga yang berupa " kata mutiara "
seperti: "Sepi ing Pamrih, rame ing gawe ( bertindak baik atau menurut petunjuk
Gusti, tanpa mengharap imbalan atau hadiah ), "Aja Dumeh (jangan sombong), Wani
Ngalah Luhur Wekasane ( berani mundur demi membuahkan Kemenangan)" dsb.

F. Musibah.
Tiada penyakit yang tiba-tiba datang lalu sudah sangat kgawat. Tentunya penyakit
itu sudah lama diderita, tetapi tidak dirasa atau diperhatikan.
Demikian juga musibah.
Ajaran Kejawen menyatakan :" Musibah wajib diterima dengan ikhlas, karena
peristiwa itu adalah suatu teguran " NGUNDUH TAN TINANDUR" yang artinya "menuai
yang ditanam".Hendaknya ditanggapi langsung dengan nalar,tekad, dan kesediaan
menerima akibatnya. Maka itu sadar dan waspada harus dibiasakan.

Bersembunyi Dalam Terang

Di negeri yang konon dulu gemah ripah loh jinawi ini, ternyata masih banyak menyimpan duka dan kekerasan. Masih tersisa banyak pekerjaan rumah yang mesti dibereskan. Salah satunya adalah pengekangan hak-hak untuk beragama atau memeluk keyakinan tertentu secara asasi.

Di bawah terang purnama dan iringan musik Sunda, sebuah diskusi digelar di bilangan Pondok Gede, Taman Mini - Jakarta. Diskusi yang sengaja dinamakan Diskusi Bulan Purnama, selalu digelar sebulan sekali, tentu saja pada saat bulan sedang cantik-cantiknya. Penggiat diskusi ini adalah para aktivis, seniman, akademisi dkk, yaitu orang-orang pencari makna hidup....

Kali ini diskusi mengambil tema Agama-agama Lokal dalam Kebangsaaan, dengan menghadirkan AA Sudirman, penganut / penghayat keyakinan Sunda dan Martin Sinaga dari STF Driyarkara.

Martin Sinaga membuka paparannya tentang bagaimana agama-agama Timur termasuk agama-agama lokal di Indonesia seperti agama lokal di Sunda, Jawa, Tanah Karo, Borneo, dll, adalah keyakinan yang lebih banyak mencari bagaimana menyelaraskan / menyatukan diri dengan Yang Tertinggi.

Agama-agama lokal lebih menekankan ajaran untuk bertingkah laku baik dan selaras dengan alam, Maka tak heran bila di agama-agama lokal lebih banyak ajaran yang sangat memperhatikan lingkungan hidup.

Namun di agama-agama lokal ini tidak banyak membahas dengan detil Siapakah Yang Tertinggi tersebut. Yang utama adalah berbuat kebaikan di dunia ini. Konsep kehidupan sesudah mati tidak terlalu dibahas, bahkan di beberapa agama lokal tidak mengenal konsep surga dan neraka.

Berbeda dengan agama-agama Samawi (yang berasal dari Tanah Palestina) atau agama anak-anak Ibrahim/Abraham (Islam, Kristen, Yahudi). Agama-agama ini lebih banyak mengajarkan Siapakah Yang Tertinggi itu, atau dinamakan Allah dan bagaimana cara menyembahNya. Maka agama-agama ini mempunyai kitab suci, berisi sifat-sifat Allah itu dan ritual-ritual dan seperangkat aturan untuk memuliakanNya. Termasuk juga di agama-agama Samawi membahas soal kehidupan sesudah mati, dengan surga dan neraka.

Kedatangan modernitas di Indonesia mendorong berdirinya negara-bangsa. Berdirinya negara-bangsa, akhirnya mendorong diperlukan formalisasi terhadap agama-agama yang ada. Seperti di Indonesia, muncullah lembaga pemerintah yang bernama Departemen Agama. Departemen inilah yang menjadi mesin formalisasi agama-agama yang ada.

Dari kacamata agama-agama Samawi, maka yang disebut agama adalah mereka yang mempunyai kitab suci. Di luar itu, mereka dikategorikan kepercayaan. Beberapa fakta kemudian bergulir, seperti upaya pemerintah untuk mengajak komunitas-komunitas penghayat untuk menjadi pengikut agama formal.

Dari diskusi ini aku baru paham ternyata di Bali sebelum negara Indonesia ini berdiri, penduduk asli Bali tidak menyebut diri mereka pemeluk Hindu, tetapi mereka adalah penganut keyakinan Tirte (tirta=air). Namun atas 'bujuk rayu' pemerintah kala itu, maka lama kelamaan masyarakat Bali mengidentifikasi dirinya adalah pemeluk Hindu.

Begitu juga di banyak daerah lain. Banyak penganut-penganut kepercayaan yang dengan terpaksa memeluk agama-agama formal seperti Islam dan Kristen, demi menghindari kesulitan-kesulitan sosial. Seperti tidak diakui pernikahannya, anak tidak mendapat surat tanda lahir, atau dianggap anak haram.

Cerita yang sama, diungkapkan AA Sudirman salah satu penghayat Keyakinan Sunda, Pernikahan mereka yang sesuai dengan keyakinan Sunda, ternyata tidak diakui oleh Negara. Anak-anak mereka mendapat status anak haram, walaupun kedua pasangan orang tuanya menikah resmi secara keyakinan mereka. Bahkan pada awal tahun 50-an, sebuah desa di Ciparay, para penganut keyakinan Sunda sempat dibantai oleh golongan lain, hanya semata mereka menganut keyakinan yang berbeda.

Para penganut keyakinan Sunda (dan penganut keyakinan yang lain di Nusantara) sampai sekarang masih mempertahankan ajaran mereka, walaupun secara sosial mereka kadang mesti mengaku pemeluk agama-agama formal.

Ini mirip seperti situasi para penganut Khong Hu Chu sebelum keyakinan ini diakui agama oleh negara saat pemerintahan Gus Dur. Banyak penganut Khong Hu Chu yang kemudian di KTP beragama Budha. Semata-mata untuk menghindari kesulitan-kesulitan sosial.

Mereka para penganut keyakinan Sunda ini mengistilahkan tindakan ini sebagai "Bersembunyi Dalam Terang". Istilah yang puitis, tapi sebenarnya merupakan luka yang perih, karena mereka tidak diperbolehkan hidup dalam keyakinan sendiri.

Dalam diskusi ini juga membuka mata peserta, bahwa labelisasi adalah sesuatu hal yang mesti dihindari. Perspektif multikultural yang menghormati dengan cara pandang masing-masing komunitas mesti kedepankan. Karena labelisasi ini justru sering menimbulkan salah persepsi dan penindasan-penindasan berikutnya.

Salah satu contoh adalah kita sudah terbiasa menyebut sebuah masyarakat di kaki pegunungan Kendeng, dengan sebutan Baduy. Padahal mereka sendiri tidak pernah menyebut diri Baduy. Masyarakat itu menyebut diri mereka masyarakat Kanekes. Istilah Baduy dilabelkan masyarakat luar, karena mereka sering berladang pindah, sehingga mirip dengan sebuah suku di Arab yaitu Badawi. Maka sejak itulah mereka disebut Baduy.

Begitu juga kita mengenal masyarakat Samin di daerah Blora - Jawa Tengah. Istilah samin adalah julukan dari luar. Mereka sendiri menyebut dirinya adalah masyarakat Sedulur Sikep. Kata samin sendiri di Jawa konotasinya lalu berkembang menjadi: bodoh. Padahal masyarakat Sedulur Sikep -lah yang berani melawan kolonial Belanda lewat kata-kata.

Hal ini sebenarnya sama saja kalau kita menyebut diri kita orang Indonesia, tapi orang Belanda menyebut kita : inlander.

Ternyata masih banyak hal yang belum aku pahami dan masih perlu banyak kearifan untuk memajukan bangsa ini.

Sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1621

Mata Angin - Serat Centhini

Serat Centhini

1. Wetan : Legi, kuthane perak, langsene seto, manuke kuntul, jaladrine santen, sastrane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Timur : Legi, kotanya perak/putih, kelambunya putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).
2. Duksino : Paing, kuthane swoso, lengsene rekto, manuke wolung, jaladrine ludiro, sastrane Do-To-So-Wo-Lo. (Selatan : Paing, kotanya emas campur tembaga/merah, kelambunya merah, burungnya elang/merah, lautnya darah/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pracimo : Pon, kuthane mas, langsene pito, manuke podhang, jaladrine madu, sasreane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo (Barat : Pon kotamya emas/kuning, kelambunya kuning, burungnya podhang/kuning, lautnya madu/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo)
4. Utoro : Wage kuthane wesi, langsene wulung, manuke dhandang, jaladrine nilo, sastrane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Utara : Wage, kotanya besi/hitam, kelambunya hitam, burungnya gagak/hitam, lautnya nila/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Madyantoro : Kliwon, kuthane prunggu, langsane monco-warno, manuke gogik, jaladrine wedang, sastrane ongko 1 tekan 9. (Tengah : Kliwon kotanya perunggu/aneka warna, kelambunya aneka warna, burungnya gogik/aneka warna, lautnya wedang/aneka warna, hurufnya angka 1 sampai 9).

Pasaran - Serat Pawukon

Serat Pawukon

1. Pasaran Legi lungguhe wetan, kuthane seloko, segarane santen, manuke kuntul, aksarane Ho-No-Co-Ro-Ko. (Pasaran Legi berkedudukan di timur, kotanya perak/putih, lautnya santan/putih, burungnya kuntul/putih, hurufnya Ho-No-Co-Ro-Ko).

2. Pasaran Paing lungguhe kidul, kuthane tembogo, segarane getih, manuke wolung, aksarane Do-To-So-Wo-Lo. (Pasaran Paing berkedudukan di selatan kotanya tembaga/merah, lautnya darah/merah, burungnya rajawali/merah, hurufnya Do-To-So-Wo-Lo).
3. Pasaran Pon lungguhe kulon, kuthane kencono, segarane madu, manuke podhang, aksarane Po-Dho-Jo-Yo-Nyo. (Pasaran Pon berkedudukan di barat, kotanya emas/kuning, lautnya madu/kuning, burungnya podhang/kuning, hurufnya Po-Dho-Jo-Yo-Nyo).
4. Pasaran Wage lungguhane lor, kuthane wesi, segarane nilo, manuke gagak, aksarane Mo-Go-Bo-Tho-Ngo. (Pasaran Wage berkedudukan di utara, kotanya besi/hitam, lautnya nila/hitam, burungnya gagak/hitam, hurufnya Mo-Go-Bo-Tho-Ngo).
5. Pasaran Kliwon lungguhe tengah, kuthane prungu, segarane wedang, manuke gogik, aksarane ongko 1-9. (Pasaran Kliwon, berkedudukan di tengah, kotanya perungu/bermacam warna, lautnya wedang/bermacam warna, burungnya gogik/bulunya bermacam warna, hurufnya angka 1-9).

Sedulur Tua

Sejatine sing diarani sedulur tuwa yaiku kakang kawah utawa sing umum dikenal banyu ketuban neng istilah basa Indonesia.

Sadulur Papat; Kakang Kawah, Getih, Adi ari-ari, lan Puser


Kalimat berikutnya

Puasa Cara Kejawen

Puasa Dengan Cara Kejawen :
1. Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti allah.”

2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.

3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

4. Pati geni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : “niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Gusti Allah”.

5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.

6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.

9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.

11. Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.

12. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

13. Tapa Jejeg
Tidak duduk selama 12 jam

14. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).

15. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini. Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai beikut :
a) Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b) Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c) Menghadap melawan arus air
d) Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar sungai
e) Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f) Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit).
g) Tidak boleh tertidur selama Kungkum
h) Tidak boleh banyak bergerak
i) Sebelum masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j) Pada saat akan masuk air baca mantra ini :
“ Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.”
k) Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada
l) Nafas teratur
m) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya

16. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.

17. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini :
“ Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Gusti Allah.”

Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi pemula sangatlah berat jika belum terbiasa. Oleh karena itu disini akan dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu ini berfungsi untuk menahan lapar dan dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat sangat membantu bagi oarang-orang yang masih ragu-ragu dalam melakoni puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah dipelajari, sebenarnya ilmu lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang kebanykan harus ditebus/dimahari dengan puasa. Selain itu syarat atau cara mengamalkannyapun sangat mudah, yaitu :

1. Mandi keramas untuk membersihkan diri dari segala macam kekotor
2. Menjaga hawa nafsu.
3. Baca mantra lambung karang ini sebanyak 7 kali ketika ingin melaksanakan puasa, yaitu :

Sadulur papat dalem bade shiam
Cempla cempli gedhene
Wetengku saciplukan bajang
Gorokanku sak dami aking
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu amangan wareg
Wareg tanpa mangan
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu angombe
Ngungakna segara kidul
Wareg tanpa angombe
Dalem pasrah Gusti Allah

Sedulur Tua

Mardika mawi basa Jawi
Langsung menyang: pandhu arah, golèk
Sedulur tua iku salah siji ajaran falsafah Jawa prakawis klairan menungsa lan ana neng konsep ajaran sedulur papat. Miturut falsafah iki, saben wong Jawa iku nduwe papat sedulur yaiku: kakang kawah, adhi ari-ari, getih, lan puser. Kabeh sedulur iku ana wektu proses mbobot.

Sejatine sing diarani sedulur tuwa yaiku kakang kawah utawa sing umum dikenal banyu ketuban neng istilah basa Indonesia.

Sumber artikel iki saka kaca situs web: "http://jv.wikipedia.org/wiki/Sedulur_tua"

Agama

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta agama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.


Beberapa pendapat

1. Dalam bahasa Sansekerta
1. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".
2. Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
3. Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
2. Dalam bahasa Latin
1. Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
2. Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
3. Dalam bahasa Eropa
1. Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer).
2. Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati (A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield)
4. Dalam bahasa Indonesia
1. Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu (Drs. Sidi Gazalba).
2. Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997)
5. Dalam bahasa Arab
1. Agama dalam bahasa arab ialah din, yang artinya :
* taat
* takut dan setia
* paksaan
* tekanan
* penghambaan
* perendahan diri
* pemerintahan
* kekuasaan
* siasat
* balasan
* adat
* pengalaman hidup
* perhitungan amal
* hujan yang tidak tetap turunnya
* dll
2. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.


Definisi

Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :

* menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
* menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.


Berdasarkan cara beragamanya :

1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

Agama di Indonesia

Enam agama besar yang paling banyak dianut di Indonesia, yaitu: agama Islam, Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sebelumnya, pemerintah Indonesia pernah melarang pemeluk Konghucu melaksanakan agamanya secara terbuka. Namun, melalui Keppress No. 6/2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut larangan tersebut. Tetapi sampai kini masih banyak penganut ajaran agama Konghucu yang mengalami diskriminasi dari pejabat-pejabat pemerintah. Ada juga penganut agama Yahudi, Saintologi, Raelianisme dan lain-lainnya, meskipun jumlahnya termasuk sedikit.

Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

Sebenarnya tidak ada istilah agama yang diakui dan tidak diakui atau agama resmi dan tidak resmi di Indonesia, kesalahan persepsi ini terjadi karena adanya SK (Surat Keputusan) Menteri dalam negeri pada tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTP yang hanya menyatakan kelima agama tersebut. Tetapi SK (Surat Keputusan) tersebut telah dianulir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid karena dianggap bertentangan dengan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, pada masa pemerintahan Orde Baru juga dikenal Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditujukan kepada sebagian orang yang percaya akan keberadaan Tuhan, tetapi bukan pemeluk salah satu dari agama mayoritas.

Daftar agama-agama
Penyebaran agama di dunia

* Alluk Todolo
* Baha'i
* Buddha
* Druze
* Hindu
* Islam
* Jainisme
* Kaharingan
* Katolik
* Kejawen
* Konfusianisme
* Kristen Ortodoks
* Marapu
* Mormonisme
* Parmalim
* Protestan
* Raelianisme
* Saintologi
* Shinto
* Sikh
* Taoisme
* Tollotang
* Yahudi
* Zoroastrianisme

Agama-Agama Yang Sudah Mendunia

1. Kekristenan 2,1 miliar
2. Islam 1,3 miliar
3. Non-Adherent (Sekular/Ateis/Tidak Beragama/Agnosti/Tidak Ateis) 1,1 miliar
4. Hinduisme 900 juta
5. Agama keluarga Cina 394 juta
6. Buddhisme 376 juta
7. Paganisme 300 juta
8. Tradisi Afrika dan diasporik (tanah air) 100 juta
9. Sikhisme 23 juta
10. Juche 19 juta
11. Spiritisme 15 juta
12. Yudaisme 14 juta
13. Iman Bahai 7 juta
14. Saksi-Saksi Yehuwa 6,5 juta
15. Jainisme 4,2 juta
16. Shinto 4 juta
17. Cao Dai 4 juta
18. Zoroastrianisme 2,6 juta
19. Tenrikyo 2 juta
20. Neo-Paganisme 1 juta
21. Unitarian Universalisme 800 ribu
22. Gerakan Rastafari 600 ribu


Menurut kamus Sansekerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri agama: ...a traditional doctrine or precept, collection of such doctrines, sacred work [...]; anything handed down and fixed by tradition (as the reading of a text or a record, title deed, &c.)

Referensi

* MH, Amin Jaiz, Pokok-pokok Ajaran Islam, Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia Jakarta, 1980
* Monier Williams, 1899, A Sanskrit English Dictionary. Oxford University Pressa
* Agama Asli Nusantara
* Kebudayaan
* Masyarakat
* Nilai sosial
* Norma sosial

Walisongo

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Daftar isi

* 1 Arti Walisongo
* 2 Nama-nama Walisongo
o 2.1 Maulana Malik Ibrahim
o 2.2 Sunan Ampel
+ 2.2.1 Sunan Bonang dan Sunan Drajat
o 2.3 Sunan Kudus
o 2.4 Sunan Giri
o 2.5 Sunan Kalijaga
+ 2.5.1 Sunan Muria
o 2.6 Sunan Gunung Jati
* 3 Tokoh pendahulu Walisongo
o 3.1 Syekh Jumadil Qubro
o 3.2 Syekh Maulana Akbar
o 3.3 Syekh Quro
o 3.4 Syekh Datuk Kahfi
o 3.5 Syekh Khaliqul Idrus
* 4 Bukti dan analisa sejarah bahwa Walisongo keturunan Hadramaut
* 5 Kontroversi
* 6 Sumber tertulis tentang Walisongo
* 7 Lihat pula
* 8 Pranala luar
* 9 Referensi

Arti Walisongo

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gresik

Maulana Malik Ibrahim , keturunan ke-11 dari Husain bin Ali, juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi.[1] Sebagian cerita rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya. Sunan Ampel adalah tokoh utama penyebaran Islam di tanah Jawa, khususnya untuk Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya.

Sunan Bonang dan Sunan Drajat

Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Mereka adalah putra-putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Drajat merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung, putra Raden Usman Haji yang belum dapat diketahui dengan jelas silsilahnya. Sunan Kudus adalah buah pernikahan Sunan Ngudung yang menikah dengan Syarifah, adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus keturunan ke-14 dari Husain bin Ali, diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Di titik ini (Syekh Jamaluddin Akbar Gujarat) bertemulah garis nasab Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan keraton Pajajaran, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).

Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]

Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).

Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.

Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]

Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.

Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.

Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.

Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.

Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]

Bukti dan analisa sejarah bahwa Walisongo keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:

* L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[6] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

* van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

* Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
* Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
* Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Kontroversi

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[rujukan?] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]

Sumber tertulis tentang Walisongo

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Lihat pula

* Mazhab Syafi'i
* Suku Arab-Indonesia
* Syekh Muhammad Shahib Mirbath
* Sunan Bayat
* Ki Ageng Pandan Arang

Pranala luar

* (en) Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam Online publication of Martin van Bruinessen, by Universiteit Utrecht
* (id) Syekh Hasanuddin: Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat Republika Online: Jumat, 28 April 2006

Referensi

1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
2. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.
3. ^ van Bruinessen, Martin, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150, hal 305-329.
4. ^ Drs. H. Ridwan Saidi (27 Maret 2007). Disampaikan pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre), Jakarta. Artikel Republika Online: Jumat, 13 April 2007.
5. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor.
6. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.

l • d • s
Sunan-sunan Walisongo

Gresik • Ampel • Bonang • Drajat • Kudus • Giri • Kalijaga • Muria • Gunung Jati

Kejawen

Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktekkan ajaran agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar

* Sumarah
* Budi Dharma
* Paguyuban Ngesti Tunggal
* Sapta Dharma

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen

SEJARAH WALISONGO

Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya, konflik yang terjadi di kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi.

Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi
(Tarikh Ibnu Ishak, ta'liq Muhammad Hamidi).

Di era Wali Songo -kelompok ulama yang "diklaim" oleh NU sebagai nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat pula terjadinya konflik yang "fenomenal" antara Wali Songo (yang mementingkan syari'at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat).

Konflik itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya. Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara yang cukup solid dalam berdakwah itu, Ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga (Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus).

Kutub-kutub politik itu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah klasik Jawa, seperti: "Babad Demak", "Babad Tanah Djawi", "Serat Kandha", dan "Babad Meinsma".

Lagi-lagi, konflik itu diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat. Giri Kedaton yang beraliran "Islam mutihan" (lebih mengutamakan tauhid) mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-'alimannya. Sementara Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua) dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan) mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap budaya.

Sejarah juga mencatat, konflik para wali itu "lebih seru" bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang, karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor, seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali, pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.


*catatan wachdie..
bagaimana bangsa indonesia tidak dijajah? jika kita melihat cerita para negarawan islamnya sendiri pada rakus kekuasaan!!!!

Sumber : http://mengenal-islam.t35.com/Sejarah_Wali_Songo.htm

Kelicikan Walisongo

.. pada waktu Siti Jenar dihukum mati darahnya berwarna putih dan berbau harum. terdengar musik dari angkasa .. namun atas kelicikan walisongo, mayat Siti Jenar diganti dengan mayat anjing kemudian dipertontonkan di depan umum...

Aliran Siti Jenar inilah yang kemudian berkembang menjadi aliran kejawen di Jawa...


Sumber : http://mengenal-islam.t35.com/Sejarah_Wali_Songo.htm
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org