Sabtu, 01 Oktober 2005

Menyibak Tabir Perpres Nomor 55/ 2005

Penulis : Anna Karenina S.

Keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM menuai kontroversi. Bagaimana memahami kenaikan harga BBM secara proporsional?

Jelang tengah malam, di penghujung bulan September 2005, sebuah ruangan di Gedung Departemen Keuangan Jakarta yang biasanya lengang terlihat ramai. Beberapa orang bergegas masuk. Dengan langkah terburu-buru, para wartawan itu menyambangi salah satu sudut ruangan. Beberapa yang sudah datang lebih awal terlibat dalam perbincangan hangat sembari menyeruput kopi. Asap rokok meningkahi obrolan mereka yang tengah menunggu sebuah pengumuman penting dari Pemerintah.

Tepat pukul 23.55 WIB, sejumlah wajah yang sudah tak asing lagi bagi mereka memasuki ruangan itu. Mula-mula Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, lalu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, dan disusul Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro.

Para wartawan bergegas mengambil tempat duduk. Malam itu diumumkan pemberlakuan harga baru bahan bakar minyak (BBM), yang berlaku sejak dini hari 1 Oktober 2005 itu. Keputusan itu termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005. Harga minyak tanah menjadi Rp 2.000 per liter, atau naik 187,5 persen dibanding harga sebelumnya Rp 700 per liter. Harga minyak solar ditetapkan Rp 4.300 per liter atau 104,76 persen lebih tinggi dari harga sebelumnya Rp 2.100 per liter. Sementara harga premium menjadi Rp 4.500 per liter, naik 87,5 persen dari harga sebelumnya Rp 2.400 per liter.

Keesokannya, hampir semua media menaikkan headline berita kenaikan harga BBM. Pemberitaan kemudian terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling tuding terhadap kenaikan harga BBM itu. Pengamat ekonomi menilai pemerintah mematok harga terlalu tinggi, tidak berpihak pada rakyat miskin. Sedang pemerintah bertahan pada alasan demi meringankan beban keuangan negara yang semakin berat akibat subsidi BBM dalam negeri yang terus meningkat, sebagai imbas naiknya harga minyak dunia.

Menelusuri kebijakan subsidi, membawa ingatan kita ke masa Orde Baru. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) diberikan pertama kalinya pada tahun 1974, pada masa mudanya rezim Orde Baru, ketika harga minyak mentah dunia naik dari harga rata-rata 3,14 dolar AS per barel menjadi 11,45 dolar AS, atau naik 265 persen.

Pemerintahan kala itu berpendapat, memberlakukan harga internasional terhadap BBM akan sangat memberatkan rakyat kecil. Karena itu, perlu ada subsidi. Kondisi perminyakan nasional pun sangat memungkinkan untuk memberikan subsidi. Tingkat konsumsi waktu itu sebesar 205.000 barel per hari (bph), dan produksi sebesar 1,38 juta bph.

Dalam perjalanannya, pemberian subsidi BBM ternyata mengandung bias, karena justru memihak kepada orang kaya. Statistik menunjukkan kelompok pendapatan terbawah sejumlah 40 persen dari jumlah penduduk hanya menikmati 18 persen dari total subsidi. Sedang kelompok terkaya, 20 persen penduduk, menikmati 43 persen dari total subsidi.

Pemerintahan pasca Orde Baru mulai menyadari bahwa subsidi yang salah kaprah itu memberikan beban besar pada APBN. Bahkan pada kurun 1998-2001 nilai subsidi BBM lebih besar dari pembayaran gaji pegawai negeri. Dan jumlah itu terus meningkat. Padahal dana itu akan lebih bermanfaat dipakai untuk membangun infrastruktur, supaya mendorong investasi, dan penciptaan lapangan kerja baru, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang bahwa belumlah terbentuk kesadaran masyarakat akan BBM sebagai sumber daya energi yang langka. BBM masih murni diproduksi sebagai komoditas, sehingga berkembang gaya hidup yang boros energi. Dalam jangka panjang, budaya boros energi itu akan menimbulkan konsumsi yang melampaui batas seakan-akan energi adalah sumber daya yang tidak terbatas. Selain itu, Presiden SBY pun mulai melihat BBM sebagai tradable commodity, sehingga harganya harus mencerminkan tingkat daya saing dan tingkat efisiensi dengan melihat harga pasar internasional sebagai referensinya. Maka, tak ada jalan lain, subsidi BBM untuk orang kaya harus dicabut tuntas, harga minyak harus mencapai tingkat keekonomian.

Penghapusan kebijakan subsidi BBM sebenarnya dimulai sejak adanya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang liberalisasi sektor migas. Ini merupakan deregulasi pemerintah terkait dengan komitmen terhadap Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. UU itu mengamanatkan deregulasi pasar migas, baik hulu maupun hilir, dalam kurun waktu dua dan empat tahun dari sejak ditetapkannya UU tersebut.

Di sektor hilir, UU itu memberikan frame baru bisnis migas di Indonesia. Pertama, menghentikan posisi monopoli Pertamina hingga November 2005. Kedua, menjamin investor dan pelaku pasar diperlakukan sama secara regulasi dan hukum. Ketiga, membangun rezim penetapan harga BBM yang transparan berdasarkan harga minyak dunia. Keempat, merasionalisasi dan melancarkan administrasi yang berkaitan dengan industri hilir. Kelima, membuka keran bagi investor lokal dan asing untuk memasuki sektor hilir di empat area: pemrosesan, transportasi, penyimpanan dan penjualan.

Jadi, program penghapusan subsidi BBM sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2000 sampai dengan Januari 2003, dimana pemerintah telah menaikkan harga BBM sebanyak paling tidak enam kali. Namun, ketika harga minyak mentah bergerak ke atas 30 dolar AS per barel pada tahun 2003, bahkan di atas 40 dolar AS per barel pada tahun 2004, Pemerintahan Megawati menjadi tidak berani untuk melakukan penyesuaian harga BBM untuk mengurangi subsidi.

Dengan tidak dilakukan penyesuaian harga secara bertahap selama hampir dua tahun, banyak pihak yang memperkirakan bila pemerintah menaikkan harga BBM yang akan muncul adalah "bom waktu", dimana akan terjadi gejolak yang luar biasa dalam masyarakat. Dan ramalan itulah yang pada hari-hari belakangan ini berubah menjadi aksi menolak Perpres 55 Tahun 2005 itu.

Jadi, ini salah siapa?



Kubu yang kontra kebijakan pemerintah menilai kebijakan kenaikan harga BBM yang ditetapkan terlalu tinggi, dan hanya mengejar target liberalisasi sektor migas yang harus selesai pada akhir tahun ini. Pemerintah dianggap tidak mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian nasional. Daya saing ekonomi akan makin menurun, inflasi akan meningkat, dan tanpa pandang bulu akan langsung memukul golongan masyarakat lemah dan miskin. Pemerintah juga dianggap tidak transparan dengan membeberkan alasan yang tidak logis mengenai penentuan kebijakan harga BBM yang diambil.

Menurut mereka, memang betul bahwa beban anggaran semakin berat dengan harga BBM sekarang. Dari skenario Tim Indonesia Bangkit, dengan harga minyak dunia sebesar 60 dolar AS per barel dan nilai tukar sebesar Rp 9300 per dolar AS, pengeluaran sektor minyak gas meningkat menjadi Rp 165,7 triliun dari Rp 101,2 triliun, dan subsidi pun membengkak sebesar Rp129 triliun, sementara dana bagi hasil migas pun meningkat menjadi sebesar Rp 36,7 triliun. Dilihat dari perspektif itu memang terdapat alasan kuat untuk meningkatkan harga BBM dalam negeri.

Namun, lanjut mereka, pemerintah pun menerima tambahan penerimaan dari sektor migas dengan adanya kenaikan harga minyak dunia. Penerimaan meningkat menjadi Rp Rp 212,7 triliun, yang berasal dari PPh dan SDA Migas sehingga sebenarnya pemerintah masih memperoleh tambahan penerimaan netto sebesar Rp 83,7 triliun dari sektor migas, meningkat dari Rp 73,6 triliun pada tingkat harga minyak sebesar 45 dolar AS per barel. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya anggapan bahwa pemerintah semakin terbebani dengan naiknya harga BBM tidak sepenuhnya benar.

Pemerintah melakukan pembelaan, masalah kenaikan harga yang dianggap terlalu tinggi sudah diperhitungkan masak-masak dan sudah dipikirkan dampaknya bagi masyarakat. Pilihan menaikkan harga BBM merupakan keterpaksaan dalam kondisi sulit. Ketika dihadapkan pada dua pilihan buruk maka yang seharusnya dipilih adalah yang kurang buruk.

Pemerintah mengakui, rakyat yang sudah susah bertambah menderita dan akan meningkatkan inflasi 3-5 persen (3 bulan ke depan) sehingga inflasi tahunan akan lebih dari 9 persen. Pemerintah menyatakan keadaan ini bersifat sementara dan harus diambil demi mencapai kebaikan masa depan. "Short term pain for long term gain," ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam konteks internasional, tahun ini masyarakat dunia kembali memasuki situasi krisis energi. Permintaan minyak dunia menjadi amat tinggi sejak awal tahun 2005 ini, disebabkan tingginya permintaan China dan India, serta datangnya musim dingin di belahan Eropa dan Amerika Utara. Harga minyak mentah terus melonjak, padahal semua negara penghasil minyak non-OPEC sudah berproduksi pada kapasitas penuh, begitu pula negara OPEC, kecuali Arab Saudi yang mempunyai sedikit kapasitas lebih. Sepanjang tahun 2005 harga merayap dari sekitar 45 dolar AS per barel pada awal tahun, menjadi 64 dolar AS per barel. Bahkan pada awal Agustus 2005, harga sempat menembus 70 dolar AS per barel.

Ketika krisis energi dunia semakin menghebat, di dalam negeri, pemerintah dihadapkan pada situasi sulit. Jumlah cadangan minyak tinggal 9,7 miliar barel, dan kemampuan produksi tengah mengalami penurunan dari sekitar 1,5 juta bph menjadi hanya sekitar 0,95 juta bph. Sedang konsumsi dalam negeri meningkat 12,5 persen per tahun, dari hanya 600.000 bph tahun 1990 hingga kini menjadi dua kali lipatnya. Dengan kata lain, Indonesia sudah menjadi negara net importer minyak, bahkan sebagai negara pengimpor BBM terbesar di Asia.

Pemerintah makin sulit untuk menyesuaikan harga-harga BBM dengan biaya pengadaan (internasional). Jumlah subsidi akan menjadi terlalu besar, hingga mencapai Rp 100 triliun lebih. Rupiah dikuras untuk subsidi, sementara dolar AS dikuras untuk impor sehingga cadangan devisa kita pada posisi membahayakan (30,24 miliar dolar AS). Jika rekening subsidi BBM ditambah

Bersambung ke halaman 23.....

dengan pembayaran utang pokok, dan bunganya saja, jumlahnya mencapai 50 persen dari pendapatan negara. Jika harga BBM tidak naik maka defisit yang luar biasa ada di depan mata. Jika itu terus berlanjut tak akan ada dana untuk pembangunan.

Menghadapi situasi ini, DPR mengajukan dua alternatif subsidi BBM. Pertama, subsidi senilai Rp 113 triliun lebih tanpa kenaikan harga BBM tetapi defisit anggarannya besar. Kedua, dana subsidi Rp 89,2 triliun dengan opsi kenaikan harga BBM sehingga defisit dibawah 1 persen.

Pemerintahan SBY-JK mengambil pilihan yang kedua. Mula-mula adalah kebijakan menaikan harga BBM yang besar untuk industri sejak 1 Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 4.750 per liter (naik 115 persen). Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 5.490 per liter (naik 150 persen). Sedang bensin untuk industri naik dari Rp 2.400 per liter menjadi Rp 4.640 per liter (naik 193 persen).

Pemerintah menargetkan bensin mencapai harga keekonomiannya pada 1 Januari 2007, solar pada 1 Juli 2007, dan minyak tanah pada Januari 2008. Sesuai dengan rencana tersebut, harga BBM masih akan dinaikkan sampai mencapai harga pasar. Tak ayal, pada 1 Oktober 2005 lalu, kembali terjadi kenaikkan harga BBM di dalam negeri.

Kenaikan harga BBM mesti dilihat secara lebih jernih guna kepentingan masa depan bangsa. Alangkah baiknya jika dua kutub pemikiran yang bertentangan soal kenaikan harga BBM dapat duduk bersama dan saling "curhat" mengenai permasalahan yang dihadapi, untuk menemukan alternatif solusi terbaik demi perbaikan nasib bangsa. Bukan ngotot-ngototan mempertahankan argumen masing-masing seperti terlihat dalam media massa, yang malah membuat masyarakat makin bingung.

Saat ini, tim yang solid yang akan mengayun langkah pemecahan aneka permasalahan sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Rakyat dalam keadaan tidak percaya bahwa pemerintah serius akan menyejahterakan mereka. Pemerintah wajib mengembangkan publik dengan teladan, kerja keras, dan keberpihakan kepada rakyat sebagai dasar peletak menuju fundamen kesejahteraan yang kokoh.

Bukankah dengan bersama kita bisa?

Sumber : http://72.14.235.132/search?q=cache:IaMcdrp2io4J:www.isei.or.id/page.php%3Fid%3D5okt053+harga+dolar+waktu+pemerintahan+megawati&cd=6&hl=id&ct=clnk&gl=id
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org