Minggu, 30 Agustus 2009

Etnis India Indonesia : Masjid Al Anshor Pekojan, Kecamatan Tambora , Jakarta Barat, Indonesia

oleh adi supardi

Bangunan Masjid Al Anshor yang terletak di Rt.006/Rw.04 Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Indonesia. Pada massa penjajahan Belanda, daerah itu bernama Kampoeng Toea Pekojan. Nama PE-KOJA-N adalah kampong tempat tinggal orang Kodja. Sebutan orang Kodja adalah orang India atau etnis India.

Bangunan Masjid Al Anshor yang disamping terdapat pemakaman kuno, bernilai sejarah berkaitan Etnis India Indonesia, karena bangunan Masjid Al Anshor diatas tanah wakaf dari Warga Negara India dengan bukti sertifikat nomor : M.166 tanggal 18-03-92 AIW/PPAIW : W3/011/c/4/1991 tanggal 8-5-1991. Diperkuat dengan pemasangan Papan Undang Undang Monumen oleh Pemerintah DKI Jakarta (Dinas Musium dan Sejarah) berbunyi : Perhatian : SK Gubernur No.cb.11/1/12/72 tanggal 10 Januari 1972 (Lembaran Daerah no.60/1972). Gedung ini dilindungi Undang Undang Monumen ST BL 1931 no.238. Segala tindakan berupa pembongkaran, perubahan, pemindahan diatas bangunan ini hanya dapat dilakukan seizin Gubernur Kepala Daerah. Setiap pelanggaran akan dituntut sesuai Undang Undang yang berlaku.

Selain itu, berkaitan sejarah Bangunan Masjid Al Anshor , terdapat bangunan musholla tertua bernama Langgar Tinggi di dirikan pada tahun 1249 H (1829 M) yang terletak di Rt.02/Rw.01 Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Indonesia.

Peninggalan Etnis India atas Bangunan Masjid Al Anshor beserta makam kuno tersebut dapat dijadikan tempat obyek wisata religius (keagamaan).

Source : etnisuku.wordpress.com

Jumat, 28 Agustus 2009

Muslim Etnis India Indonesia, sejarah masuknya Islam ke Indonesia dari India ?

oleh adi supardi

Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).


Muslim Etnis India Indonesia memiliki sejarah peninggalan tempat ibadah seperti pembangunan Masjid Raya Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat, Musholla atau Langgar Tinngi yang didirikan pada tahun 11249 H (1829 M) dan Masjid kuno Al-Anshsor yang dibangun pada 1648 oleh para Muslim India. Menurut Sekretaris DPC NU Kota Singkawang, Bakri, Masjid Raya Kota Singakwang dibangun sekitar abad 12 oleh Muslim India.

Apakah peninggalan sejarah pembangunan masjid dan musholla atau Langgar tersebut dapat memperkuat bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India ?

Kepada yang mengetahui sejarah pembangunan masjid itu dengan sejarah perkembangan Muslim Etnis India Indonesia, dipersilahkan membagi pengetahuan ini yang mungkin dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Teriam kasih

Sumber : etnisuku.wordpress.com

Kamis, 27 Agustus 2009

Peninggalan muslim India di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, Indonesia

oleh adi supardi

Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah diJakarta. Daerah pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung Arab. Namun kini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa.
Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab. Kala itu, para imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) ini diwajibkan lebih dulu tinggal di sini. Baru dari Pekojan mereka menyebar ke berbagai kota dan daerah.

Di Pekojan, Belanda pernah mengenakan sistem passen stelsel dan wijken stelsel. Bukan saja menempatkan mereka dalam ghetto-ghetto, tapi juga mengharuskan mereka memiliki pas atau surat jalan bila bepergian ke luar wilayah. Sistem macam ini juga terjadi di Kampung Ampel, Surabaya, dan sejumlah perkampungan Arab lainnya di Nusantara.

Kampung Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di Batavia. Dari tempat inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan Sawah Besar (Jakarta Barat); Jatipetamburan, Tanah Abang, dan Kwitang (Jakarta Pusat); Jatinegara dan Cawang (Jakarta Timur).

Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Sampai kini, masih terdapat Gang Koja –yang telah berganti nama jadi Jl Pengukiran II. Di sini terdapat sebuah masjid kuno Al-Anshsor yang dibangun pada 1648 oleh para Muslim India.

Tidak sampai satu kilometer dari tempat ini, masih di Kelurahan Pekojan, terdapat Masjid Kampung Baru yang dibangun pertengahan abad ke-18. Warga Muslim India yang telah menyebar di Jakarta, setiap Lebaran shalat Id di masjid ini. Sambil bernostalgia mengenang para leluhurnya yang tinggal di kawasan ini. sumber : wikipedia

Para pembaca yang mengetahui sejarah perkembangan muslim India Pekojan ini, diharapkan dapat menambahkan melengkapi berita ini.
Terima kasih.

Sumber : etnisuku.wordpress.com

Sabtu, 22 Agustus 2009

Tari Pendet

Belum lama berselang "Secara Ilegal" Warga Malaysia mengorganisir kekacauan di Hotel Rich Carlton dan JW Mariot.

Kini mereka mencoba "Secara Legal" menggorganisir kepemilikan asal usul Tari Pendet.

Malaysia in Corporated, itu sebuah simbul akronim Mal Inc (dibaca Maling)

Saya hanya mengingatkan, dan saya tidak ingin berkomentar banyak.

Kamis, 06 Agustus 2009

Mbah Surip - Sang Pembawa Pesan

Kesahajaannya mengingatkan kita, bahwa hidup ini tidak banyak persoalan.

Semua orang bertanya-tanya, mengapa mbah Surip, hanya dengan lagu-lagunya yang sederhana, dan gaya yang seadanya, dapat membawanya ke puncak ketenaran seorang seniman sejati.

Inilah pesan yang disampaikan oleh Almarhum mbah Surip, bahwa bangsa kita yang telah kehilangan indentitas, seolah diingatkan, bahwa inilah indentitas orang Indonesia asli.

Sederhana, tidak sirik kepada lingkungan sekitar, rendah hati, menolong sesama, tidak membohongi apalagi menghianati diri sendiri, merupakan pola pikir dasar orang Indonesia sesungguhnya, sebelum Orde Baru.

Dalam falsafah hidup orang Indonesia Kuno, hidup adalah pasrah. Sehingga kita, tidak kaget menghadapi segala persoalan. Pasrah dalam falsafah orang Indonesia, bukan berarti tidak berusaha, tetapi lebih pada mensyukuri hasil yang sudah dicapai.

Sehingga seperti mbah Surip, selalu konsisten dan memiliki komitmen kepada pilihan hidupnya. Hal ini terlihat, ketika mendadak kaya, mbah Surip pun tidak kaget dan tidak berubah.

Mudah-mudahan setelah pesan yang disampaikan oleh mbah Surip ini, kita semua akan berubah menjadi orang yang pasrah. Amin amin amin

Jika hal itu tercapai, maka bukan tidak mungkin, kita akan kembali menjadi bangsa yang besar. Amin amin amin....

Rabu, 05 Agustus 2009

Agama Asli Nusantara

Agama Asli Nusantara adalah agama-agama tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Islam masuk ke Nusantara.

Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama "Import" (agama yang datang ke Indonesia); Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan, yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikela sebagai agama Cigugur (dan adal beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll.
Di dalam Negara Republi Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran Animisme, penyembah berhala / batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dsb. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatera dan pedalaman Irian Jaya.


Senin, 03 Agustus 2009

Tiga Hari di Taman Nasional Ujung Kulon

Badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu satwa langka khas Indonesia yang fenomenal. Hanya segelintir orang yang pernah menjumpainya karena jumlahnya yang sedikit. Itulah salah satu alasan saya untuk ikut WAW yang di adakan ProFauna Indonesia Jakarta ke Taman Nasional Ujung Kulon pada tanggal 20-23 Maret 2008, selain memang aktifitas WAW yang selalu membuat kecanduan.
Saya sudah membayangkan di Ujung Kulon nanti akan ada hutan yang rapat, lintah, monyet, aneka burung dan lainnya juga trek offroad seperti yang pernah saya kunjungi di Way Kambas, Lampung. Pasti menjadi perjalanan yang menarik. Syukur kalau bisa bersalaman dengan badak yang terkenal itu.

Bersama 20 personel lebih kami berangkat pukul 00.30 WIB dari kantor LASA dan ProFauna di Bintara, Kranji dengan semangat badak. Perjalanan menuju Ujung Kulon cukup melelahkan dan membuat penat. Terkadang hujan ikut menemani kami. Tapi untungnya ada pemandangan yang indah seperti kumpulan kuntul kerbau (Bubulcus ibis) di sawah, dan pantai Anyer yang menghindarkan dari kebosanan.

Uwih… 12 jam berlalu. Sudah pukul 13.30 WIB. Akhirnya kami sampai juga di daerah yang terkenal dengan patung badak sebagai lambangnya. Kami menuju Taman Jaya tempat kami menginap di balai RMPU (Rhino Monitoring Protection Unit).

Setelah cukup istirahat di tempat yang telah disediakan oleh RMPU, kami memulai acara diskusi. Materi diberikan oleh petugas RMPU ditambah materi dari Bu Maria, dosen IPB jurusan konservasi yang juga merupakan anggota ProFauna. Diskusi ini cukup menarik karena para petugas RMPU berbagi cerita tentang satwa bercula itu.

Badak Jawa (R. Sondaicus) sangat berbeda dengan badak Sumatra yang tubuhnya lebih kecil dan agak berambut di bagian kepalanya. Sekilas badak jawa lebih mirip badak Afrika tapi tubuhnya lebih kecil berwarna kelabu dengan kekerasan cula seperti tulang. Sensus terakhir pada Desember 2007 dengan 15 transek (jalur Pengamatan) mengestimasi bahwa badak Jawa ini hanya berjumlah 55 ekor tanpa di ketahui jumlah jantan dan betinanya. Data ini tidak terlalu akurat karena peralatan yang digunakan tidaklah canggih. Hanya bedasarkan metode pengamatan tapak, arah, dan kotorannya. Amat disayangkan pemerintah tidak memfasilisasi petugas lapangan menggunakan kamera otomatis untuk pengamatan seperti banyak peneliti asing lakukan. Padahal badak bercula satu merupakan kekayaan negara yang juga dilindungi dunia karena populasinya yang sedikit dan hampir mengalami kepunahan.

Di habitatnya, badak makan sekitar 126 jenis tumbuhan seperti kiara, serlang, segel dan lainnya. Mewabahnya tanaman langkap mengakibatkan matinya tanaman lain karena mengandung racun, mengakibatkan banyak tumbuhan pakan badak menjadi langka. Itulah ancaman bagi badak jawa kini selain pembalakan hutan.

Selain badak jawa, Ujung Kulon yang mempunyai luas 120.551 Ha yang terdiri dari daratan dan perairan juga ditinggali satwa-satwa yang tidak kalah mempesonanya seperti penyu, owa, kangkareng, kancil, merak dan lainnya. Untuk mencapai hutan tempat habitat badak dan teman-temannya yang terletak di selatan Ujung Kulon diperlukan waktu yang cukup lama. Apalagi jika ditempuh dengan jalur darat. Maka petugas lapangan MRPU memakai jalur perairan untuk menuju lokasi.

Esoknya kami menyeberang ke Pulau Peucang. Langit pagi sangat indah. Kami menyewa kapal nelayan berkapasitas 25 orang. Matahari selalu menemani perjalanan kami selama 2,5 jam. Di tengah lautan kami berjumpa dengan elang bondol (Haliastur indus) juga pecuk ular (Anhinga melanogaster) yang terbang indah di atas laut.

Pulau Peucang sangatlah indah. Kami disambut oleh kijang (Muntiacus muntjak) jantan, monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) yang tersenyum di atas pasir putih, dan rombongan ikan hunu (nama lokal untuk ikan seperti teri) di laut yang jernih dan kehijauan.

Kami diberi fasilitas menginap gratis oleh BKSDA Ujung Kulon di sebuah bangunan bekas kantor. Setelah menaruh tas, kami ditemani Pak Tumino, guide Pulau Peucang menyusuri hutan menuju sisi lain dari pulau indah ini. Ia memberikan banyak informasi tentang tumbuhan juga satwa yang berada disini. Tumbuhan disini (berakar serabut, akar pipih juga akar nafas) menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang tidak terlalu dalam. Kalau digali, 1,5 meter sudah merupakan bebatuan karang.

Di pulau ini kami menjumpai kancil (Tragulus javanicus), kijang, biawak, babi hutan (Sus sp.), helikopter, sebutan jagawana untuk burung kangkareng (Antracoceros sp.) yang bertengger di atas pohon yang tinggi, dan burung merak (Pavo munticus) yang cantik. Tiga kilometer sudah kami berjalan. Akhirnya sampai juga ke sisi lain dari pulau ini. Ya ampun indah sekali!!! Seperti di negeri dongeng. Ada karang copong yang tengahnya bolong menghiasi pantai berkarang. Dan kami juga bisa melihat Anak Gunung Krakatau.

Sorenya sekitar pukul 17.00 WIB kami menuju Cidaun yang berada di Pulau Jawa. Di sini kami melihat kawnan banteng (Bos javanicus) betina yang asyik ngerumpi sambil merumput. Juga dua pasang merak (P. Munticus) yang asyik bercinta. Kami harus extra hati-hati, tanpa suara dan bersembunyi diantara savanna dan pohon agar satwa-satwa itu tidak terkejut. Walaupun gatal yang amat sangat karena rumput yang menusuk tetapi kami puas memotret satwa-satwa indah itu.

Di malam hari, disekitar penginapan, babi hutan berkeliaran ditemani cahaya rembulan. Begitupula para monyet ekor panjang yang terkadang nakal karena suka mencuri makanan.

Esok paginya kami bersiap kembali ke Taman Jaya.Belum puas rasanya hanya semalam disini. Kamipun membawa semua perlengkapan. Ketika membawa logistic ke perahu, seekor monyet muda menghadang Irma yang membawa sekotak nasi. Ia meminta jatah preman. Untung saja Irma berhasil kabur dan monyet itu dengan kesal kembali ke koloninya.

Di perjalanan pulang kami juga kembali bersua dengan elang bondol yang terbang bebas di cakrawala. Tak lupa kami mampir ke Pulau Hadeleum yang letaknya tak jauh dari Taman Jaya. Di pulau kecil ini juga terdapat satwa yang jenisnya sama dangan pulau Peucang. Sayang kami hanya bisa menikmati seperempat perjalanan di pulau ini karena hujan turun dengan lebat. Setelah hujan reda kami memutuskan kembali ke perahu karena hari menjelang sore dan meneruskan perjalanan menuju Taman Jaya untuk beristirahat dan besok pagi kembali ke Jakarta.

Pesona Ujung Kulon dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya sangatlah indah baik secara panorama dan keanekaragaman hayatinya. Suatu saat pasti saya akan kembali menjelajah plus dengan hutannya. Dan berharap dapat berpose bersama badak.
Suara Satwa

Source : http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/02/tiga_hari_di_taman_nasional_ujung_kulon.html
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org