Di negeri yang konon dulu gemah ripah loh jinawi ini, ternyata masih banyak menyimpan duka dan kekerasan. Masih tersisa banyak pekerjaan rumah yang mesti dibereskan. Salah satunya adalah pengekangan hak-hak untuk beragama atau memeluk keyakinan tertentu secara asasi.
Di bawah terang purnama dan iringan musik Sunda, sebuah diskusi digelar di bilangan Pondok Gede, Taman Mini - Jakarta. Diskusi yang sengaja dinamakan Diskusi Bulan Purnama, selalu digelar sebulan sekali, tentu saja pada saat bulan sedang cantik-cantiknya. Penggiat diskusi ini adalah para aktivis, seniman, akademisi dkk, yaitu orang-orang pencari makna hidup....
Kali ini diskusi mengambil tema Agama-agama Lokal dalam Kebangsaaan, dengan menghadirkan AA Sudirman, penganut / penghayat keyakinan Sunda dan Martin Sinaga dari STF Driyarkara.
Martin Sinaga membuka paparannya tentang bagaimana agama-agama Timur termasuk agama-agama lokal di Indonesia seperti agama lokal di Sunda, Jawa, Tanah Karo, Borneo, dll, adalah keyakinan yang lebih banyak mencari bagaimana menyelaraskan / menyatukan diri dengan Yang Tertinggi.
Agama-agama lokal lebih menekankan ajaran untuk bertingkah laku baik dan selaras dengan alam, Maka tak heran bila di agama-agama lokal lebih banyak ajaran yang sangat memperhatikan lingkungan hidup.
Namun di agama-agama lokal ini tidak banyak membahas dengan detil Siapakah Yang Tertinggi tersebut. Yang utama adalah berbuat kebaikan di dunia ini. Konsep kehidupan sesudah mati tidak terlalu dibahas, bahkan di beberapa agama lokal tidak mengenal konsep surga dan neraka.
Berbeda dengan agama-agama Samawi (yang berasal dari Tanah Palestina) atau agama anak-anak Ibrahim/Abraham (Islam, Kristen, Yahudi). Agama-agama ini lebih banyak mengajarkan Siapakah Yang Tertinggi itu, atau dinamakan Allah dan bagaimana cara menyembahNya. Maka agama-agama ini mempunyai kitab suci, berisi sifat-sifat Allah itu dan ritual-ritual dan seperangkat aturan untuk memuliakanNya. Termasuk juga di agama-agama Samawi membahas soal kehidupan sesudah mati, dengan surga dan neraka.
Kedatangan modernitas di Indonesia mendorong berdirinya negara-bangsa. Berdirinya negara-bangsa, akhirnya mendorong diperlukan formalisasi terhadap agama-agama yang ada. Seperti di Indonesia, muncullah lembaga pemerintah yang bernama Departemen Agama. Departemen inilah yang menjadi mesin formalisasi agama-agama yang ada.
Dari kacamata agama-agama Samawi, maka yang disebut agama adalah mereka yang mempunyai kitab suci. Di luar itu, mereka dikategorikan kepercayaan. Beberapa fakta kemudian bergulir, seperti upaya pemerintah untuk mengajak komunitas-komunitas penghayat untuk menjadi pengikut agama formal.
Dari diskusi ini aku baru paham ternyata di Bali sebelum negara Indonesia ini berdiri, penduduk asli Bali tidak menyebut diri mereka pemeluk Hindu, tetapi mereka adalah penganut keyakinan Tirte (tirta=air). Namun atas 'bujuk rayu' pemerintah kala itu, maka lama kelamaan masyarakat Bali mengidentifikasi dirinya adalah pemeluk Hindu.
Begitu juga di banyak daerah lain. Banyak penganut-penganut kepercayaan yang dengan terpaksa memeluk agama-agama formal seperti Islam dan Kristen, demi menghindari kesulitan-kesulitan sosial. Seperti tidak diakui pernikahannya, anak tidak mendapat surat tanda lahir, atau dianggap anak haram.
Cerita yang sama, diungkapkan AA Sudirman salah satu penghayat Keyakinan Sunda, Pernikahan mereka yang sesuai dengan keyakinan Sunda, ternyata tidak diakui oleh Negara. Anak-anak mereka mendapat status anak haram, walaupun kedua pasangan orang tuanya menikah resmi secara keyakinan mereka. Bahkan pada awal tahun 50-an, sebuah desa di Ciparay, para penganut keyakinan Sunda sempat dibantai oleh golongan lain, hanya semata mereka menganut keyakinan yang berbeda.
Para penganut keyakinan Sunda (dan penganut keyakinan yang lain di Nusantara) sampai sekarang masih mempertahankan ajaran mereka, walaupun secara sosial mereka kadang mesti mengaku pemeluk agama-agama formal.
Ini mirip seperti situasi para penganut Khong Hu Chu sebelum keyakinan ini diakui agama oleh negara saat pemerintahan Gus Dur. Banyak penganut Khong Hu Chu yang kemudian di KTP beragama Budha. Semata-mata untuk menghindari kesulitan-kesulitan sosial.
Mereka para penganut keyakinan Sunda ini mengistilahkan tindakan ini sebagai "Bersembunyi Dalam Terang". Istilah yang puitis, tapi sebenarnya merupakan luka yang perih, karena mereka tidak diperbolehkan hidup dalam keyakinan sendiri.
Dalam diskusi ini juga membuka mata peserta, bahwa labelisasi adalah sesuatu hal yang mesti dihindari. Perspektif multikultural yang menghormati dengan cara pandang masing-masing komunitas mesti kedepankan. Karena labelisasi ini justru sering menimbulkan salah persepsi dan penindasan-penindasan berikutnya.
Salah satu contoh adalah kita sudah terbiasa menyebut sebuah masyarakat di kaki pegunungan Kendeng, dengan sebutan Baduy. Padahal mereka sendiri tidak pernah menyebut diri Baduy. Masyarakat itu menyebut diri mereka masyarakat Kanekes. Istilah Baduy dilabelkan masyarakat luar, karena mereka sering berladang pindah, sehingga mirip dengan sebuah suku di Arab yaitu Badawi. Maka sejak itulah mereka disebut Baduy.
Begitu juga kita mengenal masyarakat Samin di daerah Blora - Jawa Tengah. Istilah samin adalah julukan dari luar. Mereka sendiri menyebut dirinya adalah masyarakat Sedulur Sikep. Kata samin sendiri di Jawa konotasinya lalu berkembang menjadi: bodoh. Padahal masyarakat Sedulur Sikep -lah yang berani melawan kolonial Belanda lewat kata-kata.
Hal ini sebenarnya sama saja kalau kita menyebut diri kita orang Indonesia, tapi orang Belanda menyebut kita : inlander.
Ternyata masih banyak hal yang belum aku pahami dan masih perlu banyak kearifan untuk memajukan bangsa ini.
Sumber : http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1621
Tidak ada komentar:
Posting Komentar