Sunda Wiwitan merupakan sebutan untuk agama/kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Kanekes, Lebak, Banten. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya Islam.
Sunda Wiwitan adalah agama yang sudah sejak lama dipeluk oleh masyarakat Sunda, jauh sebelum penjajah kolonial datang ke Indonesia. Bahkan, meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. “Secara budaya, mereka belum meninggalkan agama Sunda ini,” kata Rama Jati. Dalam perjalanan waktu, Sunda Wiwitan juga pernah mengalami masa-masa penuh tekanan dari berbagai pihak. Rama Jati sendiri pernah ditangkap dan dipenjara karena dituduh menyebarkan ajaran yang dianggap meresahkan masyarakat. Namun, pernyataan bahwa masyarakat Sunda masih belum meninggalkan agama ini memang bukan isapan jempol. Selain dari budaya penyampaian doa melalui gerak tarian seperti itu, bukti itu juga dapat dilihat dari perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda, atau yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Ajaran “Cara Ciri” Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Demikian pula yang berlaku di dalam agama Sunda Wiwitan. Menurut Rama Jati, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. “Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, yaitu cinta kasih atau welas asih, undak usuk atau sebutan tatanan dalam kekeluargaan, tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha,” kata Rama Jati. Untuk unsur yang kelima, wiwaha yudha naradha, maksudnya adalah sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya. Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa, yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa ini. Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda Resihan. “Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat,” kata Rama Jati. Menurut Rama Jati, apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan. Dalam penerapannya, Sunda Wiwitan juga tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Menurut Rama Jati, tabu yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua. “Yang tidak disenangi dan membahayakan orang lain, itu tabu. Selain itu, yang bisa membahayakan diri sendiri dan menjadi kebiasaan, juga merupakan tabu,” kata Rama Jati. Sebagai contoh, papar Rama Jati, makan nasi saja bisa menjadi tabu di dalam Sunda Wiwitan ini. Dengan catatan, tentu saja, kalau makan nasinya terlalu banyak dapat membuat orang sakit perut.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar