Senin, 21 Januari 2008

Kartono Muhammad : Bung Karno Ditelantarkan

Senin, 21 Januari 2008 21:15:50 WIB

JAKARTA, BANGKA POS--Sulit menghafalkan
satupersatu peralatan yang digunakan oleh tim dokter untuk merawat
bekas presiden Soeharto. Faktanya, sejak dirawat di Rumah Sakit
Pusat Pertamina (RSPP) 4 Januari silam, Soeharto mendapat perawatan
kelas satu. Bukan hanya peralatan canggih, juga perhatian ekstra
dengan pengawasan dari menit ke menit.

Terlepas dari Soeharto memang berhak
mendapat pelayanan terbaik karena memang membayar
mahal, perlakuan istimewa itu tetap saja
memunculkan pertanyaan. Mengapa, perlakuan yang
sama tidak didapat presiden pertama RI,
Soekarno ketika jatuh sakit. Tidak sedikit saksi sejarah yang
mengakui bahwa ada perbedaan mencolok antara perawatan waktu Bung
Karno sakti
dengan yang didapat Pak Harto sekarang.

Salah satu saksi sejarah itu yakni Prof Dr
Kartono Muhammad. Pria berusia tahun ini pernah diberitahu langsung
oleh Prof Mahar Mardjono yang sempat ditugaskan untuk merawta
Soeharto.

Dr Kartono juga pernah menulis kasus
kesehatan Bung Karno dengan mewawancarai antara lain
perawat yang sehari-hari menunggui Bung
Karno di Wisma Yaso (tempat Bung Karno dirawat)
serta Prof Mahar dan Dr Wu Jie Ping (dokter
Cina yang merawat Bung Karno).

"Perbedannya jelas. Dulu Bung Karno tidak
diurusin, ditelantarkan. Tidak ada dokter yang
diserahi tugas untuk mengawasi, tidak ada
dokter spesialis seperti sekarang. Padahal ada tim dokter
kepresidenan, tapi juga tidak pernah datang. Nggak kayak sekarang.
Pak Harto tiap hari dirawat puluhan dokter," kata Dr Kartono
mengisahkan kembali apa yang pernah diketahuinya pada 1967 silam.

Kakak kandung pendiri Tabloid Tempo,
Goenawan Muhammad ini mengaku sesak nafasnya jika
mengingat apa yang telah menimpa Soekarno.
Padahal, kata dia, perlakuan tidak sepantasnya itu diberikan ketika
Bung Karno masih menjabat presiden. Sebab, Soeharto waktu itu masih
menjabat sementara sebagai presiden karena
belum diangkat oleh MPR untuk jadi presiden.

Menurutnya, ditelantarkannya Bung Karno kala
itu tidak lepas dari kebijakan penguasa waktu
itu. Sebab, kenang dia, kebijakan dari
penguasa waktu itu, jika dokter akan ke Wisma Yaso,
harus ada izin dari Pangdam. "Kalau ada
dokter mau memeriksa harus ada surat izin. Tidak ada dokter tiap
hari, obat juga tidak diberikan, kan namanya ditelantarkan,"
kenangnya.
Padahal, lanjut dokter yang pernah menjabat
ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini, tiaptiap dokter itu sudah
mengucap sumpah. Mereka tidak boleh membiarkan pasiennya terlantar.

Kata Kartono, jangankan seorang presiden,
rakyat biasa, atau musuh sekalipun, seorang dokter harus merawatnya
dengan baik. "Kewajiban dokter untuk tidak membedakan siapa
pasiennya. Tapi dokternya memang tidak bisa berbuat apaapa karena
adanya intervensi dari penguasa. Dan penguasa waktu itu adalah pak
Harto. Jadi perlakuan mikul duwur mendem jero itu dimana," tanya
Kartono.

Filosofi mikul duwur mendem jero itu pernah
identik dengan sikap Soeharto. Namun, kata
Kartono, perlakuan yang diberikan terhadap
Bung Karno menjadi penegas apakah Soeharto telah melaksanakan
filosofi terseut atau tidak. "Nggak terbukti, karena buktinya
dibiarkan terlantar. Kalau nerapin filosofi itu harusnya di
perhatikan dong," kata dia.

Meski menyesalkan perlakuan terhadap
Soeharto, Dr Kartono menuturkan bahwa Soeharto layak
mendapat perlakuan istimewa. Menurutnya,
siapapun pasiennya, harusnya mendapat perawatan
yang terbaik.

"Over atau tidak tergantung dari kondisi
penyakitnya. Tapi pemberitaan dan
perhatiannya yang over. Perhatian yang
diberikan luar biasa, tiap menit diperiksa, diawasi terusmenerus,"
lanjutnya.

Sementara sejarawan Indonesia, Prof Dr
Taufik Abdullah menegaskan bahwa, jika dilihat dari
sudut pandang historis, perbedaan bangsa ini
memperlakukan Soekarno dan Soeharto yang
sedang tergolek sakit, tidak lepas dari apa
yang terjadi kala itu.

Menurut Taufik, 71, ketika Soekarno sakit
pada tahun 1967, suasana kala itu belum stabil. Ia menyebut, Orde
Baru masih melakukan konsolidasi untuk memapankan kekuasaan.
Sementara
Soekarno yang tengah sakit, masih memberikan
pengaruh yang besar di masyarakat dengan aliran Soekarnoisme nya.

Dalam bahasa Taufik, Soekarno meninggalkan
ideologi. Dan bagi penguasa ORBA, ada dua agenda utama yang harus
dilakukan kala itu.

"Selain menghancurkan kelompok yang melawan
seperti PKI, juga menggerogoti kekuatan
Soekarnoisme. Itu karena posisiposisi penting baik di AD, AL, waktu
itu masih dipegang orang yang pro Soekarno. Inilah yang digarap
pemimpin Orde Baru. Yakni bagaimana menyingkirkan mereka. Sebut
saja, Ibrahim Aji didutabesarkan," kata Taufik saat ditemui di
kantornya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.

Menurutnya, waktu itu Soeharto sebagai
pemimpin, mencoba menerapkan falsafah mikul dhuwur
mendem jero dengan 'menyimpan' Soekarno yang
sakit, agar jangan sampai terhina. Sebab, waktu itu, lanjut Taufik,
tuntutan agar Soekarno diadili karena dianggap terlibat Gestapu
sangat besar.

"Tapi, selain disimpan agar tidak terhina,
Bung karno juga dianggap ancaman karena Orde Baru waktu itu tengah
melakukan konsolidasi. Dan perlakuan terhadap Bung Karno akhirnya
yah seperti yang telah dicatat sejarah" lanjut Taufik dengan suara
lantang, meski semua rambutnya sudah memutih.

Sementara untuk sakitnya Soeharto sekarang,
kata Taufik, terjadi setelah 10 tahun dia lengser keprabon, ketika
bangsa tidak dalam keadaan labil. Apalagi, tidak ada tinggalan
ismeisme (ideologi) dari Soeharto yang mengancam pemerintahan sepert
era Soekarno dulu.
"Masalah pakHarto itu murni masalah hukum,
baik itu kasus dugaan korupsi dan pelanggaran HAM. Selain itu, untuk
perawatannya, keluarganya kan juga bayar sendiri," katanya.

Namun, terlepas dari siapa yang membiayai,
Taufik menyesalkan kondisi Soekarno yang disebutnya diterlantarkan.
Yang jelas, ketika Soekarno meninggal, Taufik mengakui bahwa waktu
itu adalah momen paling menyedihkan bagi bangsa Indonesia.

Ia mengatakan, perasaan kehilangan tidak
hanya menimpa rakyat yang sangat mencintai proklamator RI tersebut,
tapi termasuk juga golongan yang menentang Bung Karno. "Saya ingat
waktu itu air mata saya juga tumpah," katanya dengan suara lirih.

Dan sikap rakyat Indonesia itulah yang
dianggap Taufik menjadi perbedaan antara Soekarno dan Soeharto.
Meski tidak sedikit yang juga mencintai dan membenci Soeharto,
tetapi menurutnya berbeda dengan pandangan orang terhadap
Soekarno. "Orang tidak terlalu fanatik pada pak Harto. Gampang saja
melihatnya, istilah Soekarnoisme hingga sekarang masih kuat. Tapi
kan tidak ada Soehartoisme," sebutnya.

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14

Tidak ada komentar:

Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org