Tampilkan postingan dengan label MPR/DPR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MPR/DPR. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 April 2011

Yoyo Padi, dan Pembunuhan Munir....

Pada saat siaran TV One meliput penangkapan drumer Yoyo Padi, seorang perwira menerangkan dengan gamblang, bahwa Yoyo telah mengkonsumsi barang haram tersebut dari 10 tahun yang lalu.

Bahkan sang perwira pun tahu, bahwa jenis apa yang dikonsumsi Yoyo pada saat 10 tahun yang lalu, hingga berubah ke jenis Narkoba yang lain, karena Yoyo ganti supplier.

Huahahahaha, pernyataan sang perwira sebenarnya sama saja membeberkan bahwa Polisi sudah tahu siapa suppliernya, tetapi lagi-lagi perlakuan "Hukum Belanda" yang selalu memenangkan para penguasa ketimbang rakyat jelata. (red: penguasa memelihara supplier tsb sebagai ATM - persis seperti pada zaman belanda, hanya beda komoditasnya saja)

Di sinilah terjawab, apa hubungannya Yoyo dengan pembunuhan Munir (Pahlawan Hak Azasi Manusia). Munir pergi ke Belanda untuk sekolah, dimana cita-citanya, setelah pulang dari Belanda, maka ia akan membenahi "Hukum Peninggalan Belanda" yang selalu memihak kepada penguasa.

Jadi, Munir dimusuhi oleh tidak saja Negara-negara yang berkepentingan di Indonesia, tetapi juga oleh penghianat-penghianat bangsa.

Kami berharap, semoga akan lahir Munir Munir yang baru. Agar ada perbaikan terhadap sistem Hukum di Indonesia yang sungguh-sungguh berkeadilan.

Jumat, 15 April 2011

Video Porno di Paripurna Khayangan

APES benar nasib Arifinto. Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tertangkap basah oleh fotografer Media Indonesia saat ia sedang mengunduh video porno di Ipad-nya di ruang sidang Paripurna DPR pada 8 April.

Rasanya belum lama artis Ariel Peterpan, yang sudah divonis tiga tahun setengah, karena video pornonya terekspose ke publik. Dan kalau penegak hukum konsisten, Arifinto--yang sudah mundur dari DPR pada 11 April--tentunya juga harus diproses secara hukum. Ia juga bisa dikenai Pasal UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Malah, konsekuensi atas kelakuan Arifinto itu seharusnya bisa lebih berat lagi. Karena, jangankan menonton video porno di gedung dewan, membuka email saja saat sidang paripurna sudah melanggar etika.

Apalagi, Menkominfo Tifatul Sembiring, yang juga adalah kader PKS, sedang getol–getolnya memblokir situs–situs porno di internet. Namun, dengan tindakan Arifinto itu, tentunya menjadi tamparan moral bagi para politisi PKS yang selalu mengedepankan nilai-nilai agama.

Kelakuan Arifinto itu juga merupakan bukti kekeliruannya memanfaatkan kecanggihan teknologi. Karena, teknologi itu diciptakan untuk memudahkan kehidupan masyarakat sehingga segala urusannya menjadi mudah, efisien, bijak, aman, dan sebagainya.

Bagi kebanyakan orang, teknologi seperti Ipad, Blackberry, Samsung Galaxy memang hanya dipakai untuk gagah-gagahan. Coba lihat, saat pesawat baru landing, kebanyakan penumpang langsung menyalakan gadget-nya. Padahal larangan untuk menyalakan alat komunikasi sudah diumumkan karena hal itu akan mengganggu keselamatan penerbangan.

Perilaku kagetan dan gumunan (kagum) terhadap sesuatu yang canggih, termasuk membuka email saat sidang merupakan tindakan kurang bijak.

Dalam kearifan cerita wayang, ada peristiwa yang mirip dengan kasus Arifinto. Yakni ketika para dewa menggelar sidang paripurna, Dewa Bayu dan Dewa Indra ketahuan sedang 'mengunduh' bagian terlarang Dewi Wilutama selama beberapa saat.

Sialnya, yang memergoki kelakuan kedua dewa itu adalah tetungguling (raja) para dewa, yakni Bethara Guru. Tanpa ampun, kedua dewa itu langsung dipidana dan di-PAW (pergantian antarwaktu) dari posisinya di kadewatan di Khayangan.


Rukmuka dan Rukmakala

Kocap kacarita, setiap awal bulan purnama para dewa di Khayangan mengadakan parepatan agung (sidang paripurna). Biasanya, dalam rapat nan suci itu semua permasalahan dibahas secara saksama, termasuk yang terjadi di Arcapada (Bumi).

Semua dewa wajib hadir dalam sidang itu. Bagi dewa yang tidak hadir dikenai sanksi. Sebagai tukang absennya adalah Dewa Penyarikan. Dan karena pentingnya acara tersebut, yang hadir biasanya tampak khidmat mengikutinya.

Suatu ketika, sidang paripurna berlangsung. Hadir para dewi khayangan yang bertugas membantu kelancaran sidang. Salah satunya adalah Dewi Wilutama, bidadari yang dikenal sangat cantik.

Penampilan Wilutama yang menggemaskan serta gayanya yang lemah gemulai membuat libido Dewa Bayu dan Dewa Indra tersengat. Apalagi saat itu Wilutama mengenakan pakaian tembus pandang.

Rupanya Dewa Bayu atau dewanya angin, sudah bersekongkol dengan Dewa Indra. Dengan kesaktiannya, Dewa Bayu mampu mendatangkan angin jadi-jadian yang dapat menyingkap kain yang dikenakan Dewi Wilutama sehingga terlihatlah bagian terlarangnya. Kejadian itu diabadikan Dewa Indra dan kemudian gambarnya dikirim kepada dewa–dewa cluthak (rakus) lainnya.

Bethara Guru yang melihat tindakan tidak senonoh Bayu dan Indra itu kemudian menjatuhkan sanksi tegas. Ia mengutuk kedua dewa itu menjadi raksasa. Dewa Bayu menjadi raksasa bernama Rukmuka, sedangkan Dewa Indra menjadi raksasa Rukmakala.

Dalam dunia wayang, sifat dan perilaku raksasa adalah perlambang yang tidak bisa menahan nafsu syahwat maupun jahat. Tindakan murka dan selalu memaksakan kehendak adalah ciri raksasa. Maka, sudah tepatlah jika hukuman yang dijatuhkan Bethara Guru itu adalah mengubah kedua dewa asusila tersebut menjadi raksasa.

Setelah berubah ujud menjadi raksasa, keduanya diusir dari Khayangan. Mereka tidak pantas berada dalam komunitas kadewatan karena perbuatannya itu. Rukmuka dan Rukmakala harus menjalani hukuman dengan bertempat tinggal (dipenjara) di Gunung Reksamuka.


Jujur dan ikhlas

Pada suatu ketika ksatria Pandawa Bima Sena prihatin melihat degradasi moral para nayaka praja (pejabat) di Kerajaan Amarta serta perilaku menyimpang para kawula. Bima berikhtiar mencari solusi atas masalah tersebut dengan mencari ilmu jati diri.

Bima kemudian menghadap gurunya, Resi Durna, meminta piwarah atau ajaran sangkan paraning dumadi. Untuk mendapat ajaran itu, Durna memerintahkan Bima mencari kayu gung susuhing angin di Gunung Reksamuka.

Singkat cerita berangkatlah Bima ke gunung yang dikenal sangat angker tersebut. Namun, setelah mencari ke sana ke sini dengan mengobrak-abrik seluruh isi hutan, Bima tidak menemukan sesuatu yang diperintahkan Durna.

Akhirnya, Bima bertemu dua raksasa penguasa hutan Gunung Reksamuka, yakni Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah perang tanding. Bima dikeroyok kedua raksasa tersebut. Namun, dengan segala kekuatannya, Bima berhasil menghancurkan kedua raksasa itu dengan cara adu kumba, kedua kepala raksasa saling dibenturkan. Keajaiban terjadi. Wujud kedua raksasa hilang dan berubah menjadi Dewa Bayu dan Dewa Indra.

Kedua dewa itu mengucapkan terima kasih kepada Bima. Karena atas perbuatan Bima itu, kutukan berwujud raksasa yang mereka jalani atas hukuman asusila di Khayangan sudah selesai.

Sebagai ucapan terima kasihnya, kedua dewa tersebut memberitahukan kepada Bima bahwa sesungguhnya kayu gung susuhing angin yang dicarinya itu tidak ada. Itu hanya perlambang bahwa semua tekad akan terwujud apabila dilandasi kejujuran dan keikhlasan berjuang serta berkorban demi masyarakat banyak.

Benang merah dari cerita di atas adalah bahwa perilaku manusia yang tidak dapat menahan nafsu syahwat dan jahat ibaratnya sama dengan perilaku raksasa. Dan sebagai raksasa, bukan di Khayangan atau gedung terhormat tempatnya, tetapi di tengah hutan atau penjara. Semonggo.

Sumber : Media Indonesia

Rabu, 20 Mei 2009

Cegah Ilegal Fishing, DPR Setujui Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut

JAKARTA-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menyetujui meratifikasi konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut sebagai payung hukum nasional dalam mencegah illegal fishing. Demikian terungkap dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua Muhaimin Iskandar, yang juga dihadiri Menteri Kelautan dan Perikanan Fredy Numbery, di Jakarta, kemarin.

Menurut Ketua Pansus Maruahal Silalahi, dengan adanya ratifikasi perjanjian iniIndonesia dapat menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan sesuai ketentuan-ketentuan yang terkait konvensi.

Dalam pelaksanaan konvensi ini, maka akan semakin memperkuat komitmen kita untuk mencegah pelanggaran, penangkapan dan konservasi ikan oleh kapal-kapal asing di wilayah perairan ZEE Indonesia secara tidak terkendali, yang dapat menyebabkan berkurangnya sediaan jenis-jenis ikan yang bernilai komersial tinggi, yang selama ini marak terjadi diberbagai wilayah perairan Indonesia.

Dengan adanya payung hukum nasional dalam mencegah illegal fishing yang dimaksudkan memberikan manfaat besar bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Indonesia yang melakukan kegiatan di sektor perikanan.

Disamping itu, kita ingin menegaskan kembali hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE, dan memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perelolaan perairan regional.

Indonesia merupakan negara maritim dengan dua pertiga wilayahnya berupa laut dengan garis pantai mencapai 95.181 Km, yang terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan terdiri dari kurang lebih 17.480 pulau, mengandung sumber daya alam hayati yang sangat besar, baik sumber daya alam hayati yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih. Potensi yang besar ini khususnya potensi sumber daya ikan 6,4 juta ton/tahun, yang terdiri berbagai jenis termasuk diantaranya sediaan ikan. yang beruaya terbatas, serta sediaan ikan beruaya jauh.

Ikan yang beruaya terbatas merupakan ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) satu negara dan ZEE negara lain, sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara, sedangkan ikan yang beruaya jauh merupakan ikan yang beruaya dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera.

Meratifikasi UNIA 1995 merupakan amanat Pasal 10 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Indonesia memiliki perairan kepulauan dan ZEE yang luas dan berkepentingan untuk melindungi sumber kekayaan di laut lepas. Sebagai negara yang aktif melahirkan UNCLOS 1982, Indonesia memiliki kewajiban moral untuk proses implementasi internasionalnya, dan dalam rangka mengembalikan citra aktif Indonesia dalam pembentukan norma hukum laut internasional.

Dengan menandatangani ratifikasi ini, Pemerintah akan mendapatkan data dan informasi perikanan secara mudah, murah, akurat, cepat, dan tepat waktu serta dalam format dan standar internasional melalui mekanisme pertukaran data dan informasi diantara negara pihak.

Adanya diatribusi tangkapan untuk jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional, mendapatkan hak dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan laut lepas.

Pemerintah memperoleh perlakuan khusus bagi negara berkembang antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, alih teknologi, penelitian ilmiah, bantuan pengawasan dan peneakan hukum,

Berpeluang mendapatkan bantuan dana untuk penerapan persetujuan ini, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang mengkin terjadi antara negara yang bersangkutan dengan negara pihak lainnya, dan memperkuat penerapan persetujuan-persetujuan regionaldi Bidang pengelolaan dan konvensi sumber daya ikan.



Pengesahan rativikasi ini akan memberi dorongan bagi Pemerintah dalam mereformasi berbagai regulasi, perundang-undangan agar senafas dengan tindakan yang dilakukan oleh indonesiasebagai negara yang secara aktif memperjuangkan pengembangan hukum internasional dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 serta berbagai ketentuan pelaksanaannya, secara yuridis memiliki konsekuensi untuk melakukan pengesahan UNIA 1995 sebagai salah satu pelaksana UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut.

Dengan diadopsinya UNIA 1995, maka Indonesia mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konservasi dan penelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi PBB tentang Hukum laut. Berdasarkan Pasal 38 UNIA 1995 maka setiap negara yang akan menjadi Negara Pihak harus melakukan pengesahan atau ratifikasi.

Oleh : Surya

Sumber : http://www.batamtoday.com/news/read/2009/05/2001/14332.Cegah-Ilegal-Fishing,-DPR-Setujui-Ratifikasi-Konvensi-PBB-tentang-Hukum-Laut.html

Kamis, 23 April 2009

Manohara Pinot diacuhin sama Ketua MPR (PKS) dan Ketua DPR (Golkar)

Pertanyaan pertaman saya, apakah Manohara Pinot masih berstatus WNI????
Kalau bukan WNI, ngapain kita urusin....
Tetapi kalau dia adalah seorang WNI, maka ....

Nasib Manohara memperlihatkan betapa nyawa tidak ada artinya di Indonesia ini. Bayangkan dari wawancara di salah satu tayangan TV swasta, Dai Bachtiar hanya mengatakan bahwa itu urusan keluarga. Gila aja deh


Kalau Manohara masih seorang WNI, apa itu urusan keluarga atau urusan pribadi, kalau ada penganiyayaan tetap harus dibela donk.

Kalau kasus ini benar adanya, maka di sini terlihat tidak adanya kesetiakawanan diantara kita sebangsa. Belum lagi, pernyataan Dai Bachtiar sebagai Duta Besar LBBP (Luar Biasa Berkuasa Penuh)justru menginjak-injak martabat bangsanya sendiri.
Apakah karena sudah dianugerahi atau menjadi Tan Sri Da'i Bachtiar atau malah sudah pindah warga negara????

Kalau di negara yang bermartabat, setiap kesempatan pasti digunakan untuk melindungi warga negaranya.
Pada pertemuan Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak tanggal 23 April 2009 dengan Ketua MPR Hidayat Nurwahid (PKS) dan Ketua DPR HR Agung Laksono (Golkar) secara bergiliran. Tidak satu pun yang menyinggung masalah warga negaranya.

Jadi mereka mewakili siapa ya????

http://www.detiknews.com/read/2009/04/23/163641/1120385/10/perdana-menteri-malaysia-kunjungi-dpr

Tapi kalau memang sudah bukan WNI, ya itu konsekwensi logis pindah Warga Negara.
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org