Kamis 27 Mei 2004
SETELAH ditunggu cukup lama, DPP PKB Rabu kemarin memutuskan untuk mendukung pasangan capres Wiranto-Salahuddin Wahid (Gus Sholah). Bagi sebagian kalangan, keputusan ini tidak terlalu mengejutkan. Paling tidak, dukungan terhadap pasangan Wiranto-Salahuddin itu tidak keluar dari skenario yang dipersiapkan Tim Sembilan di Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Dua minggu lalu, Tim Sembilan bersama KH Abdullah Faqih memutuskan, bila KH Abdurrahman Wahid gagal sebagai capres karena terganjal syarat kesehatan, maka PKB akan mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah.
Bagi Golkar dan Wiranto, termasuk Salahuddin sendiri, keputusan PKB ini tentu sangat melegakan. Dalam dua minggu terakhir, Golkar dan tim sukses Wiranto tampaknya terpasung dengan ketidakjelasan sikap Gus Dur. Betapa pun telah mengantongi surat jaminan dari DPP PKB untuk mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah jika Gus Dur terganjal sebagai capres, pernyataan-pernyataan Gus Dur justru mementahkan surat jaminan yang pernah dia tanda tangani.
Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur menyatakan akan golput dan berada di luar sistem, yang berarti dia tidak mendukung salah satu pasangan capres dan cawapres.
Karena itu, keputusan DPP PKB mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah setidaknya bisa dijadikan pegangan bagi PKB pada tingkat daerah untuk bergerak ke akar rumput. Selama ini, terutama setelah KPU mengumumkan kegagalan Gus Dur sebagai capres pada 22 Mei lalu, pengurus PKB di daerah mengalami disorientasi politik: golput, mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah, atau memberikan suara ke pasangan Mega-Hasyim. Kader-kader PKB pun gamang untuk bersikap, ewuh pakewuh: maju kena mundur kena. Bahkan, sebagian pengurus PKB yang terlibat menjadi tim sukses pasangan capres Wiranto-Gus Sholah harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang, tidak ada lagi hambatan struktural ataupun psikologis bagi kader PKB untuk bergabung dengan tim sukses Wiranto-Gus Sholah.
Persoalannya, keputusan DPP PKB di atas sudah agak terlambat. Tidak hanya karena tim sukses dari capres-capres lain telah bergerak jauh ke akar rumput, namun yang terpenting karena massa NU, khususnya massa PKB, yang semestinya menjadi captive market bagi pasangan Wiranto-Gus Sholah telah "diobrak-abrik" oleh tim sukses Mega-Hasyim. Karena itu, pertanyaan krusial yang perlu dijawab adalah apakah keputusan PKB mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah itu bisa mendongkrak popularitas Wiranto sehingga dapat menarik suara massa PKB. Dan, seberapa besar popularitas Gus Sholah untuk bisa merangkul massa NU, sementara pada sisi lain Ketua Umum PBNU berpasangan dengan capres Megawati?
Pada tingkat para kiai kultural dan kebanyakan kiai PKB, setidaknya beberapa kiai Jatim yang diwawancarai penulis menyebutkan, pasangan Wiranto-Gus Sholah memperoleh dukungan lebih luas dibandingkan dengan pasangan Mega-Hasyim. Bagi kiai semacam itu, Wiranto lebih memiliki keunggulan sebagai capres karena di dalam Islam pemimpin nasional laki-laki jauh lebih afdal ketimbang pemimpin perempuan. Apalagi, secara geneologis, Gus Sholah memiliki keturunan darah biru sebagai cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyíari. Namun, di luar dua pertimbangan di atas, Gus Sholah dianggap lebih layak secara politik mewakili NU karena maju melalui PKB. Para kiai itu menilai, sejak PBNU mendirikan PKB, semua saluran politik NU terutama yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan sepatutnya disalurkan melalui PKB.
Sebaliknya, di samping tidak afdal dalam pandangan fikih, mendukung pasangan Mega-Hasyim justru menyimpan banyak persoalan. Megawati di mata sebagian kiai dan massa pendukung Gus Dur adalah otak di balik pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid. Sebagian kiai mengaku tidak sanggup menanggung beban psikologis jika harus mendukung pasangan capres dan cawapres yang sampai sekarang dianggap lawan politik kiai anutannya, Gus Dur. Apalagi, di mata sebagian kiai, sikap Hasyim Muzadi dalam merespons berbagai pernyataan Gus Dur yang dianggap telah keluar dari tradisi pesantren, yaitu kesantunan santri terhadap kiai sebagaimana kelaziman hubungan kiai-santri. Pernyataan Hasyim untuk tetap maju sebagai cawapres tanpa harus meminta restu Gus Dur misalnya, dianggap sebagai sikap seorang santri yang nakal, tidak tawaduk terhadap kiai.
Persoalannya, pada tingkat massa NU, nama Salahuddin Wahid tidak begitu dikenal. Gus Dur memang sangat populer di kalangan kaum nahdliyyin. Namun, tidak banyak warga NU yang mengetahui bahwa Gus Sholah adalah adik kandung Gus Dur. Karena itu, tugas berat tim sukses Wiranto adalah memopulerkan nama Gus Sholah sebagai adik kandung Gus Dur sekaligus cucu dari KH Hasyim Asyíari, baru memopulerkan nama Wiranto sebagai pendamping Gus Sholah. Kalau tidak, massa NU akan lebih mudah memberikan suaranya ke pasangan Mega-Hasyim.
Apalagi, Hasyim memiliki dukungan cukup luas di kalangan elite dan sebagian kiai struktural NU, khususnya yang berada di jajaran pengurus Tanfidiyah. Dengan dukungan elite-elite NU di jajaran Tanfidiyah, gerak tim sukses Hasyim jauh lebih cekatan. Di
beberapa daerah di Jawa Timur misalnya, tim sukses Mega-Hasyim sudah merambah sampai ke desa-desa. Berbagai acara keagamaan seperti maulid nabi, istigotsah, bahkan pertemuan-pertemuan resmi pengurus NU bisa dimanfaatkan dengan baik oleh kubu Mega-Hasyim. Dengan dukungan material yang hampir tidak terbatas, banyak kiai struktural NU yang bisa diklaim sebagai pendukung pasangan Mega-Hasyim.
Di samping itu, pasangan Mega-Hasyim tampaknya mendapat dukungan luas dari para kiai di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI. Betapa pun massa NU di tiga provinsi itu tidak begitu solid dukungannya ke PKB, dukungan para kiai NU di wilayah ini tentu sangat berarti bagi pasangan Mega-Hasyim. Di atas semua itu, satu variabel penting yang perlu diperhitungkan untuk mengukur ke mana larinya suara PKB dan NU adalah sikap politik Gus Dur menjelang pemilu presiden dan wakil presiden. Harus diakui, di kalangan massa NU, khususnya di Jawa Timur, Gus Dur masih menjadi magnet yang cukup besar sebagai perekat afiliasi politik.
Massa NU yang tidak setuju Gus Dur maju sebagai capres pun akan menunggu fatwa atau melihat sikap politik Gus Dur. Ke mana arah pilihan politik Gus Dur pada pemilu presiden dan wakil presiden, akan banyak diikuti oleh para pendukungnya. Persoalannya, sejauh ini Gus Dur mengaku akan golput pada Pemilu 5 Juli mendatang. Jika sikap golput ini dipertahankan, tentu sangat tidak menguntungkan bagi pasangan Wiranto-Gus Sholah pada satu sisi dan menguntungkan pasangan Mega-Hasyim pada sisi lain. Sikap golput Gus Dur akan mendorong keberanian massa NU untuk memilih capres di luar pasangan Wiranto-Gus Sholah.
Sama halnya kampanye khitah Hasyim Muzadi mendorong keberanian massa NU untuk memilih partai di luar PKB. Tentu saja, akan menjadi lain jika Gus Dur terlibat dalam kampanye politik mendukung pasangan Wiranto-Gus Sholah. Betapa pun Gus Dur mengaku akan golput, jika dia menganjurkan massa PKB termasuk massa NU untuk memilih pasangan Wiranto-Gus Sholah, massa PKB akan mendukung pasangan tersebut. Sekeras-keras hati Gus Dur, mungkin dia tidak tega melihat adiknya berjuang sendirian memperebutkan kursi wapres bersama Wiranto. Bukankan, jika nasib mujur, kursi wapres itu bisa sebagai batu loncatan ke kursi presiden lima tahun ke depan?
(Penulis adalah dosen FISIP Unair, direktur PuSDeHAM Surabaya, dan pengamat NU-33j)
Sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/nas03.htm
Waspadai pengaruh Barat,Timur Tengah, dan Asia Timur
Sudah saatnya kita menggali kembali EKSISTENSI BUDAYA BANGSA KITA SENDIRI
Kearifan Lokal Leluhur Nusantara, Bukan Leluhur Barat, Bukan Leluhur Timur Tengah dan Bukan Leluhur Asia Timur
Barat Menipu Berkedok HAM, Timur Tengah Menipu Berkedok Agama, Asia Timur Menipu Berkedok Dagang
Tampilkan postingan dengan label Gus Dur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Gus Dur. Tampilkan semua postingan
Kamis, 27 Mei 2004
Minggu, 23 Mei 2004
Gus Solah Tak Yakin Diuntungkan Atas Kegagalan Gus Dur
Minggu, 23/05/2004 21:32 WIB
Astrid Felicia Lim - detikNews
Jakarta - Salahuddin Wahid (Gus Solah) tidak yakin tidak lolosnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masuk bursa capres akan menguntungkan duetnya dengan Wiranto. Ia mengaku sangat bersimpati pada kakaknya itu. "Ya belum tentu (diuntungkan). Pokoknya rakyat kan bebas memilih siapa saja," kata Gus Solah kepada wartawan usai mengikuti pengundian nomor urut capres di KPU, Jl. Imam Bonjol, Jakarta, Minggu (23/5/2004). Gus Solah ditanya apakah kegagalan Gus Dur akan membuat duetnya kian berpeluang menang. Gus Solah sebelumnya dikabarkan tidak akan menghadiri pengundian nomor capres karena masih berada di Makassar. Namun ternyata Gus Solah datang meski telat dari yang dijadwalkan. Adik Gus Dur itu tiba di KPU pukul 19.40 WIB. Padahal acara dimulai pukul 19.30 WIB. Cawapres Wiranto itu lantas menyatakan sangat bersimpati dengan nasib kakaknya. "Saya sangat simpati pada Gus Dur dan saya yakin Gus Dur merasa kecewa. Tapi saya rasa dia sudah memperjuangkan haknya," demikian Gus Solah. (iy/)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2004/05/23/213240/158203/10/gus-solah-tak-yakin-diuntungkan-atas-kegagalan-gus-dur
Astrid Felicia Lim - detikNews
Jakarta - Salahuddin Wahid (Gus Solah) tidak yakin tidak lolosnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masuk bursa capres akan menguntungkan duetnya dengan Wiranto. Ia mengaku sangat bersimpati pada kakaknya itu. "Ya belum tentu (diuntungkan). Pokoknya rakyat kan bebas memilih siapa saja," kata Gus Solah kepada wartawan usai mengikuti pengundian nomor urut capres di KPU, Jl. Imam Bonjol, Jakarta, Minggu (23/5/2004). Gus Solah ditanya apakah kegagalan Gus Dur akan membuat duetnya kian berpeluang menang. Gus Solah sebelumnya dikabarkan tidak akan menghadiri pengundian nomor capres karena masih berada di Makassar. Namun ternyata Gus Solah datang meski telat dari yang dijadwalkan. Adik Gus Dur itu tiba di KPU pukul 19.40 WIB. Padahal acara dimulai pukul 19.30 WIB. Cawapres Wiranto itu lantas menyatakan sangat bersimpati dengan nasib kakaknya. "Saya sangat simpati pada Gus Dur dan saya yakin Gus Dur merasa kecewa. Tapi saya rasa dia sudah memperjuangkan haknya," demikian Gus Solah. (iy/)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2004/05/23/213240/158203/10/gus-solah-tak-yakin-diuntungkan-atas-kegagalan-gus-dur
Selasa, 01 Mei 2001
Kesalahan Fatal Gus Dur Berkongsi dengan PRD
Saiful Mujani: Kesalahan Presiden Wahid yang Fatal, Ajak Koalisi PRD
Berpolitik.com, Selasa, 01 Mei 2001, @10:03 WIB
Columbus -- Kegagalan Presiden Wahid dalam memimpin bangsa ini adalah tidak
melakukan koalisi dengan partai-partai yang mempunyai kekuatan riil. Bahkan
kesalahan besarnya adalah melakukan koalisi dengan Partai Rakyat Demokratik
(PRD).
"Gus Dur melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal, malah mengajak koalisi
PRD yang hanya mempunyai kekuatan di bawah seratus ribu. Kemudian (PRD-red)
datang ke kantor PBNU, ngomong dengan Ketua PBNU, poin politiknya apa di
situ?" tutur peneliti di PPM-IAIN Jakarta, Saiful Mujani.
Dalam dialog langsung Columbus-Jakarta, dalam acara 'Ohio Coffee Morning',
dengan Radio Jakarta News FM, Senin (30/4) ini, dengan merujuk suatu hasil
penelitian, Saiful melihat, memang ada kontinuitas keberlangsungan antara
wilayah-wilayah pendukung PKI dulu dengan partai-partai yang ada sekarang
ini.
"Kan PKI tidak ada dalam Pemilu kemarin, hasil studi itu menunjukkan, cukup
lumayan wilayah-wilayah PKI yang dulu mendukung PKI, sekarang mendukung dan
mengalihkan suaranya ke PKB," tuturnya.
Orang yang menemukan studi ini, lanjut Saiful, dipanggil ke istana oleh
Presiden Wahid untuk menjelaskan secara lebih rinci, tentang
kemungkinan-kemungkinan memperbesar masa PKB ini, di wilayah yang dulu
dikuasai oleh basis-basis PKI. "Nah, dalam konteks ini saya melihat
inclusion dari Gus Dur terhadap PRD. Walaupun dalam hal ini, terlihat
kegagalan Gus Dur dalam membaca PRD. Karena PRD gagal merepresentasikan
sentimen PKI yang lama itu."
Oleh karena itu, kalau sekarang ada semacam bergaining, agenda politiknya
harus cukup jelas. Tapi itu salah, karena apa, karena yang diajak bergaining
seperti PRD, bukan yang lain. Misalnya, mengapa tidak dengan PDIP?
"Bergaining dengan PDIP kan jelas, sederhana. Tak usah dipecat itu
Laksamana, sudah beres itu. Tak usah dipecat itu Kwik, itu kan orang-orang
kunci di PDIP," tutur kandidat Doktor di The Ohio University ini.
Dirinya juga mengingatkan bahwa, dengan demikian bukan berarti ingin
mengatakan bahwa PKB kurang bagus dalam bermain politik. "Ya, ini proses
belajar. Cuma, poin yang ingin saya katakan, koalisi-koalisi yang tidak
strategis tersebut dibangun dengan imaginasi dan halusinasi bahwa yang dulu
pendukung PKI akan memindahkan suaranya ke PKB," kritiknya. *** (ais)
Sumber : http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/message/5545
Berpolitik.com, Selasa, 01 Mei 2001, @10:03 WIB
Columbus -- Kegagalan Presiden Wahid dalam memimpin bangsa ini adalah tidak
melakukan koalisi dengan partai-partai yang mempunyai kekuatan riil. Bahkan
kesalahan besarnya adalah melakukan koalisi dengan Partai Rakyat Demokratik
(PRD).
"Gus Dur melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal, malah mengajak koalisi
PRD yang hanya mempunyai kekuatan di bawah seratus ribu. Kemudian (PRD-red)
datang ke kantor PBNU, ngomong dengan Ketua PBNU, poin politiknya apa di
situ?" tutur peneliti di PPM-IAIN Jakarta, Saiful Mujani.
Dalam dialog langsung Columbus-Jakarta, dalam acara 'Ohio Coffee Morning',
dengan Radio Jakarta News FM, Senin (30/4) ini, dengan merujuk suatu hasil
penelitian, Saiful melihat, memang ada kontinuitas keberlangsungan antara
wilayah-wilayah pendukung PKI dulu dengan partai-partai yang ada sekarang
ini.
"Kan PKI tidak ada dalam Pemilu kemarin, hasil studi itu menunjukkan, cukup
lumayan wilayah-wilayah PKI yang dulu mendukung PKI, sekarang mendukung dan
mengalihkan suaranya ke PKB," tuturnya.
Orang yang menemukan studi ini, lanjut Saiful, dipanggil ke istana oleh
Presiden Wahid untuk menjelaskan secara lebih rinci, tentang
kemungkinan-kemungkinan memperbesar masa PKB ini, di wilayah yang dulu
dikuasai oleh basis-basis PKI. "Nah, dalam konteks ini saya melihat
inclusion dari Gus Dur terhadap PRD. Walaupun dalam hal ini, terlihat
kegagalan Gus Dur dalam membaca PRD. Karena PRD gagal merepresentasikan
sentimen PKI yang lama itu."
Oleh karena itu, kalau sekarang ada semacam bergaining, agenda politiknya
harus cukup jelas. Tapi itu salah, karena apa, karena yang diajak bergaining
seperti PRD, bukan yang lain. Misalnya, mengapa tidak dengan PDIP?
"Bergaining dengan PDIP kan jelas, sederhana. Tak usah dipecat itu
Laksamana, sudah beres itu. Tak usah dipecat itu Kwik, itu kan orang-orang
kunci di PDIP," tutur kandidat Doktor di The Ohio University ini.
Dirinya juga mengingatkan bahwa, dengan demikian bukan berarti ingin
mengatakan bahwa PKB kurang bagus dalam bermain politik. "Ya, ini proses
belajar. Cuma, poin yang ingin saya katakan, koalisi-koalisi yang tidak
strategis tersebut dibangun dengan imaginasi dan halusinasi bahwa yang dulu
pendukung PKI akan memindahkan suaranya ke PKB," kritiknya. *** (ais)
Sumber : http://groups.yahoo.com/group/indonesia_damai/message/5545
Jumat, 27 Oktober 2000
Proses Demokrasi Lebih Penting Ketimbang Gus Dur
27-10-2000 / 22:06 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Para elite politik Indonesia seharusnya berpikir lebih kritis dan rasional untuk menggugat hal-hal yang lebih mendasar dalam proses demokratisasi. “Tak masuk akal semua elite politik saat ini hanya sibuk mengurus satu orang Gus Dur saja,” ujar pakar politik hukum asal Amerika Serikat, Daniel S. Lev, di Jakarta, Jumat (27/10) sore.
Daniel mengungkapkan hal itu ketika ditanya mengenai kinerja pemerintahan Gus Dur yang sedang digugat elite politik saat ini. Menurut dia, seharusnya masyarakat politik berpikir mengenai lembaga-lembaga demokrasi yang belum lagi tumbuh kuat. “Ada masalah dengan DPR yang belum lagi dewasa dan juga sistem pengadilan amburadul,” ujarnya.
Secara pribadi, ia menolak berkomentar mengenai kepemimpinan Gus Dur. Bagi dia, yang lebih penting adalah ide-ide yang telah diperjuangkan Gus Dur selama ini. “Anda semua bisa bicara bebas dan berpartai politik secara merdeka, itu semua sangat penting bagi masa depan demokrasi,” tuturnya. Prestasi lainnya adalah keberhasilan Gus Dur meminimalisir peran politik tentara. “Harus diingat tentara menjadi biang kekacauan politik Indonesia sejak 1957,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa kesalahan Gus Dur dalam kasus Texmaco dan lainnya tetap harus koreksi secara kritis. Meski diakui tidak semua dikritik akan didengar Gus Dur, ia yakin Gus Dur tetap memperhatikan kritik-kritik itu. Ia pun menilai perdebatan mengenai perilaku Gus Dur mulai membosankan dan tidak relevan dengan persoalan mendasar bangsa Indonesia. “Sekali lagi, problem sekarang adalah secepatnya menata sistem pemerintahan, kepolisian, kehakiman, dan birokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa di tengah krisis yang berkepanjangan, para elite Indonesia masih sempat pamer mobil mewah. “Itu duit datang dari mana? Sementara, di sisi lain, angka pengangguran meningkat lebih dari 50 persen,” ujarnya, heran. Untuk itu, disarankan agar rakyat Indonesia memikirkan tingkah laku para elite mereka. “Kaum elite itu cukup berbahaya jika tidak dibatasi pengaruhnya,” tegasnya. Hanya dengan pembangunan institusi sosial yang kuatlah, pertumbuhan politik demokrasi Indonesia bisa dicapai. Jadi, menurut Daniel, ketimbang memikirkan perilaku Gus Dur, lebih baik memikirkan hal yang mendasar bagi negeri ini. (Nezar Patria)
Sumber : http://www.tempo.co.id/harian/fokus/52/2,1,17,id.html
TEMPO Interaktif, Jakarta: Para elite politik Indonesia seharusnya berpikir lebih kritis dan rasional untuk menggugat hal-hal yang lebih mendasar dalam proses demokratisasi. “Tak masuk akal semua elite politik saat ini hanya sibuk mengurus satu orang Gus Dur saja,” ujar pakar politik hukum asal Amerika Serikat, Daniel S. Lev, di Jakarta, Jumat (27/10) sore.
Daniel mengungkapkan hal itu ketika ditanya mengenai kinerja pemerintahan Gus Dur yang sedang digugat elite politik saat ini. Menurut dia, seharusnya masyarakat politik berpikir mengenai lembaga-lembaga demokrasi yang belum lagi tumbuh kuat. “Ada masalah dengan DPR yang belum lagi dewasa dan juga sistem pengadilan amburadul,” ujarnya.
Secara pribadi, ia menolak berkomentar mengenai kepemimpinan Gus Dur. Bagi dia, yang lebih penting adalah ide-ide yang telah diperjuangkan Gus Dur selama ini. “Anda semua bisa bicara bebas dan berpartai politik secara merdeka, itu semua sangat penting bagi masa depan demokrasi,” tuturnya. Prestasi lainnya adalah keberhasilan Gus Dur meminimalisir peran politik tentara. “Harus diingat tentara menjadi biang kekacauan politik Indonesia sejak 1957,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa kesalahan Gus Dur dalam kasus Texmaco dan lainnya tetap harus koreksi secara kritis. Meski diakui tidak semua dikritik akan didengar Gus Dur, ia yakin Gus Dur tetap memperhatikan kritik-kritik itu. Ia pun menilai perdebatan mengenai perilaku Gus Dur mulai membosankan dan tidak relevan dengan persoalan mendasar bangsa Indonesia. “Sekali lagi, problem sekarang adalah secepatnya menata sistem pemerintahan, kepolisian, kehakiman, dan birokrasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa di tengah krisis yang berkepanjangan, para elite Indonesia masih sempat pamer mobil mewah. “Itu duit datang dari mana? Sementara, di sisi lain, angka pengangguran meningkat lebih dari 50 persen,” ujarnya, heran. Untuk itu, disarankan agar rakyat Indonesia memikirkan tingkah laku para elite mereka. “Kaum elite itu cukup berbahaya jika tidak dibatasi pengaruhnya,” tegasnya. Hanya dengan pembangunan institusi sosial yang kuatlah, pertumbuhan politik demokrasi Indonesia bisa dicapai. Jadi, menurut Daniel, ketimbang memikirkan perilaku Gus Dur, lebih baik memikirkan hal yang mendasar bagi negeri ini. (Nezar Patria)
Sumber : http://www.tempo.co.id/harian/fokus/52/2,1,17,id.html
Langganan:
Postingan (Atom)