Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 05 Juni 2009

RI Belum Meratifikasi Konvensi Under Water Heritage UNESCO

Indonesia hingga kini belum meratifikasi konvensi Under Water Heritage UNESCO, mengingat hal itu belum menguntungkan Indonesia secara ekonomis. RI mengusulkan dalam penanganan benda cagar budaya bawah air tidak hanya mengedepankan unsur pelestariannya saja, namun juga mempertimbangan pemanfaatan secara ekonomi bagi masyarakat.

"Kita masih melakukan evaluasi, dan mengusulkan selain unsur pelestarian juga ada kepentingan ekonomis," kata Hari Untoro Drajat, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) ketika menyampaikan program kerja Ditjen Sejarah dan Purbakala kepada pers di gedung Sapta Pesona Jakarta, Kamis (5/6).
Dikatakan, visi Indonesia dalam penanganan benda cagar budaya bawah air sebagai warisan budaya (under water heritage) tidak hanya dilihat dari sisi pelestariannya semata, melainkan juga menyertakan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan negara. "Kalau kita hanya mengedepankan unsur pelestarian sedangkan benda cagar budaya bawah air itu memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan negara, tentunya hal itu tidak memberikan keuntungan bagi bangsa kita," kata Hari Untoro.

Hingga kini baru beberapa negara yang telah meratifikasi konvensi Under Water Heritage UNESCO. Pada umumnya mereka bukan negara maritim dan tidak memiliki peninggalan benda cagar budaya bawah air.

Dalam penanganan benda cagar budaya bawah air, yang oleh masyarakat sering disebut harta karun, Indonesia mempunyai pijakan aturan yakni Undang-Undang No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) serta Keppres No.107 tahun 2001 tentang pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). (Pusformas)

Sumber : http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511&id=3981

Minggu, 01 Maret 2009

Buddha Bar, Tak Cukup Perubahan Nama: Adakah Penyimpangan di Sana?

Keberadaan Buddha Bar yang terletak di Jl Teuku Umar No 1 Kecamatan Menteng Jakarta Pusat terus menuai protes dari kalangan generasi muda umat buddha. Penamaan Buddha Bar serta keberadaan Patung Buddha yang dijadikan assesoris didalam Waralaba ini dianggap melecehkan simbol agama Buddha yang selama ini disakralkan. Gelombang protes yang terus berlangsung tak urung menjadi wacana publik yang lebih luas. Nama-nama pemilik Buddha Bar mulai terkuak ke permukaan, beberapa diantaranya adalah Reni Sutiyoso dan Puan Maharani yang diindikasikan sebagai salah satu pemegang sahamnya.

Belakangan Anggota DPR maupun pejabat DKI Jakarta urun rembuk untuk mengatasi persoalan tersebut. Nampaknya pergantian nama bisnis waralaba ini akan diambil untuk mengatasi agar polemik tidak berkempanjangan.

Pertanyaanya, apakah polemik Buddha Bar hanya sebatas penamaan dan simbol-simbol religi agama tertentu ? atau ada hal penting lain yang patut dipertanyakan terkait status kepemilikan dan kemanfaatan gedung dijalan Teuku Umar No 1 tersebut.

Secara historis Gedung yang sekarang bernama Buddha Bar dahulunya merupakan gedung ex Kantor Imigrasi. Gedung ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).

Gedung yang kemudian dikenal sebagai Bataviasche Kunstkring ini pernah dijadikan sebagai tempat karya perupa dunia seperti Picasso dan Vincent Van Gogh. Atas dasar nilai historis ini kemudian Mantan Gubernur Suryadi Soedirja mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 475 tahun 1993 yang menetapkan Gedung Kantor Imigrasi atau Bataviasche Kunstkring sebagai salah satu bangunan bersejarah di daerah khusus ibukota Jakarta sebagai benda cagar budaya (Lampiran Keputusan Gubernur, Daftar Bagunan Cagar Budaya Nomor 37).

Menurut penelusuran ICW, ketika terjadi pengambilalihan kantor Imigrasi (Bataviasche Kunstkring) dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tahun 2001, Pemda DKI Jakarta mengusulkan tambahan biaya pada pos proyek inventarisasi aset daerah dari 1 Miliar menjadi 30 Miliar (Kompas.com, 13/9/2001). Dana sebesar itu akan digunakan untuk melindungi gedung kantor imigrasi yang dianggap yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Sebagai gedung cagar budaya dengan nilai historis tinggi serta besarnya dana yang diperkirakan telah dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk melestarikan gedung tersebut, maka menjadi pertanyaan besar mengapa kemudian beralih kepemilikannya menjadi sektor swasta yang bernuansa bisnis semata.

Menurut Pasal 19 ayat 2(b) UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya dijelaskan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya tidak dapat dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.

Kemudian dalam konteks kepariwisataan, pemanfaatan peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya menurut pasal 6 UU No 9 tahun 1990, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Berdasarkan hal itu maka perdebatan Buddha Bar seharusnya bukan hanya sebatas penamaaan, lebih dari itu adalah mengenai pengalihan status gedung bernilai sejarah menjadi gedung bernuansa bisnis waralaba. Apakah benda/gedung Cagar Budaya bisa dialihkan untuk kepentingan pribadi ? Apakah tidak ada penyimpangan dalam kasus pengalihan gedung Cagar Budaya (BUDHA BAR) kepada pihak swasta?

Pemerintah DKI Jakarta harus menjelaskan kepada publik mekanisme dan prosedur pengalihan tersebut, menjelaskan tidak adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengalihan status kepemilikan serta menjelaskan transparansi dana-dana APBD yang telah dikeluarkan dalam melindungi gedung ex kantor imigrasi (Bataviasche Kunstkring) selama ini. Pada sisi lain aparat penegak hukum (Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan pemeriksaan jika terdapat dugaan penyimpangan dalam proses pengalihan asset budaya yang harus dilindungi tersebut.

Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi
Agus Sunaryanto
Kepala Div. Investigasi dan Informasi Publik
Indonesia Corruption Watch
Website : www.antikorupsi.org
E-mail : agus@antikorupsi.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Hp : 0812 857 6873

Sumber : http://antikorupsi.org, Kamis, 12 Maret 2009

Sabtu, 16 Desember 2006

Kegeraman seorang Indonesia akan rusaknya budayanya sendiri

Dalam refleksi kosong, kadang-kadang saya jadi geram ketika mengingat sejarah tentang penyebaran virus Islam ke Indonesia.

Para penjahat itu adalah Wali Songo dan mereka-mereka yg membuka jalan bagi masuknya virus Arab ke nusantara. Dulu, pada abad ke-8 saja leluhur kita sudah berteknologi tinggi dan mampu membangun Borobudur (salah satu bukti peradaban paling maju pada zaman itu).

Abad ke-13 Gajah Mada menjelajahi dan menyatukan sebagian besar kawasan Asia Tenggara, dan sebagai bangsa kita mencapai masa keemasan.

Abad berikutnya, mulai para pembawa virus Arab (bukan orang Arab) datang (yakni antara abad 14-15) yang akhirnya pelan-pelan menggerogoti kerajaan Majapahit dan hancur tinggal puing-puing. Dari kerajaan adi-kuasa di Asia Tenggara dengan bangunan2 megahnya (pura, candi-candi), menjadi kerajaan tengu di Yogja & Solo yg istananya aja cuma dari kayu dan udah mau roboh ditiup angin.

Coba kalau Islam tidak masuk ke Indonesia, barangkali kita sudah lebih maju saat ini dan cara berfikir kita pasti lebih advanced. Kalau sejak abad ke-8 saja sudah bisa bikin Borobudur, membangun kota-kota seindah Bali, menguasai kawasan seluas Asia Tenggara harusnya pada abad ke-16 menara Eifel ada di Jawa, bukan di Paris.

Terkadang saya jadi bertanya, Islam sudah memberi apa sih kpd
Indonesia? Kecuali terorisme, budaya jenggot, dan jilbab? Sementara meskipun hanya sisa-sisa, kita sampai sekarang masih bisa menikmati hasil warisan leluhur kita melalui industri pariwisata Borobudur & Bali. Ironisnya, Islam bukan saja telah merusak mental bangsa kita, bahkan telah beberapa kali berusaha menghancurkan warisan budaya asli kita.

Thn 85-an teroris muslim beberapa kali mengebom Borobudur dan belakangan ini mau menghancurkan Bali.

Saya sampai sekarang belum bisa melihat sisi baik apa yang sudah disumbangkan oleh orang Arab ? Kecuali duit2 recehan dari Saudi ke masjid-masjid yang pro Wahabi. Itu pun dampaknya lahir para pasukan jihadi yang siap menjadi relawan perang membela orang Arab yg berantem dengan sepupunya sendiri (Yahudi).

Justru, setelah bangsa kita digerogoti oleh virus Arab (mulai abad 14-15),
akhirnya (pada abad ke-16) bangsa kecil seperti Belanda bisa menguasai kita. Demikianlah seterusnya sampai hari ini. Dengan kata lain, penyebaran virus budaya jahiliyah Arab (melalui Islam) telah merusak banyak tatanan sosial budaya lain yang tanpanya barangkali malah bisa lebih maju.

Jika salah satu kriteria bangsa yg maju/modern adalah bangsa yg telah
memperkenalkan budaya-budaya unggul, maka seberapa majukah bangsamu hari ini? Ukurannya ada di organ bagian atasnya Muslim Melayu yang mereka tutupi dengan peci bau minyak pelet atau jilbab penutup ketombe.

Kaji Dullah

Sumber : http://mengenal-islam.t35.com/Sejarah_Wali_Songo.htm

Selasa, 28 November 2006

Kaedah Arkeologi Menjadi Unsur Utama dalam Pengangkatan Benda Cagar Budaya Bawah Air

Pemerintah memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk melakukan usaha pengangkatan benda cagar budaya bawah air, sepanjang memenuhi aturan yang berlaku termasuk kaedah-kaedah arkeologi.

"Kaedah arkelogi ini yang harus didahulukan, sebelum faktor ekonomi yang memang menjadi pertimbangan utama perusahaan yang mengeksplorasi benda cagar budaya bawah air ," kata Direktur Peninggalan Bawah Air, Ditjen Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Drs. Surya Helmi dalam dialog interaktif di Studio RRI Jakarta, Rabu (28/11).

Dialog interaktif kerja sama Pusat Informasi dan HUMAS Depbudpar dengan RRI yang kali ini mengusung tema 'Pengelolaan Benda Cagar Budaya Bawah Air Indonesia' menampilkan nara sumber Omar Fazni, Dirut PT Adi Kencana, pelaku usaha bidang pengangkatan benda cagar budaya bawah air.

Menurut Surya Helmi, kaedah-kaedah arkeologi terhadap usaha pengangkatan benda cagar budaya bawah air dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, pelestarian budaya, maupun ilmu pengetahuan. Sehingga kalau dalam pengangkatan benda cagar budaya bawah air itu kemudian ditemukan benda bernilai ekonomi tinggi, negara harus mendapatkan masterpiece-nya lebih dahulu, didata, diteliti untuk ilmu pengetahuan, kemudian baru dinilai secara ekonomis dengan pembagian hasil fifty-fifty untuk pemerintah dan perusahaan yang mengeksplorasi benda cagar budaya bawah air tersebut.

"Aturan main dalam pengangkatan benda cagar budaya bawah air, mulai dari proses survey hingga pengangkatan, telah diatur dalam Keppres No.107 tahun 2001 kemudian diperbarui dalam Perpres No.19 tahun 2005, tentang Kepanitian Nasional terdiri 15 instansi yang memberi izin terhadap usaha tersebut, " kata Surya Helmi.

Usaha di bidang survey dan pengangkatan benda cagar budaya bawah air, menurut Omar Fazni, memiliki risiko sangat tinggi, sehingga jumlah perusahaan yang bergerak di bidang ini relatif sedikit, terhitung oleh jari. "Selain membutuhkan dana besar serta SDM yang handal, tingkat kegagalannya sangat tinggi," kata Omar, yang mengaku selama delapan tahun bergerak di bidang ini telah mengangkat 3 kapal Cina berikut isinya berupa keramik di laut seputar kawasan Kepulauan Riau.

"Namun, dari hasil pengangkatan benda cagar budaya tersebut belum ada yang terjual," katanya, seraya mengatakan karena risikonya sangat tinggi selayaknya pemerintah memberi keluwesan soal perizinan misalnya dengan merampingkan Kepanitian Nasional dari 15 instansi cukup diwakili 3 instansi yakni Depbudpar, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), serta TNI-AL dan Kepolisian. Dengan demikian prosedurnya akan lebih luwes.

Menurut Surya Helmi, wilayah Indonesia yang strategis berada dalam jalur laut perdagangan internasional, memili ribuan titik lokasi kapal tenggelam yang menjadi cagar budaya bawah air. "Menurut data sejarah kini baru terpetakan sekitar 500 situs sejarah berupa kapal tenggelam dari Cina, Portugis, Spayol, VOC Belanda yang tersebar di bergai daerah perairan di Indonesia, " katanya, seraya mengatakan jumlah situs itu di lapangan tentunya jauh lebih besar karena menurut informasi pada ratusan tahun lalu puluhan ribu kapal dagang Cina yang belayar tidak kembali, sebagian besar tenggelam di perairan Nusantara. (Humas)

Sumber : http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511&id=3307
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org