Tampilkan postingan dengan label Penghayat Kepercayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penghayat Kepercayaan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Januari 2009

Penghayat Kepercayaan Terpinggirkan Sejak Dahulu

Meskipun punya lebih dari 85.000 anggota di Sumatera Utara, kaum penghayat pada Tuhan Yang Maha Esa merasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum memberi perhatian kepada mereka. Tak pernah ada dialog yang intens dengan kaum penghayat, apalagi ruang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara.

Secara resmi di Sumatera Utara kini terdapat 16 aliran kepercayaan yang muncul sebagai representasi tradisi Batak dan Jawa. Dalam tradisi Batak, kaum penghayat tergabung antara lain dalam Ugamo Malim (Parmalim) yang berpusat di Laguboti, Toba Samosir, Ugamo Bangsa Batak di Medan, Habonaron Da Bona di Simalungun, Pijer Bodi di Karo, Sipituruang di Karo, Golongan Si Raja Batak di Kisaran dan Tanjung Balai, juga kelompok-kelompok Parmalim di berbagai tempat.

Sementara itu, tradisi kejawen muncul dalam kelompok seperti Galih Puja Rahayu di Medan dan sekitarnya serta Ilmu Rasa Sejati di Tanah Jawa, Simalungun.

Meskipun sudah ada yang mulai berani menunjukkan diri, banyak yang masih takut-takut, terutama stigma "tak beragama" yang sering muncul di masyarakat dan dianggap aliran sesat. Tirani mayoritas terhadap warga minoritas masih mereka rasakan.

Pekan lalu Ugamo Bangsa Batak untuk pertama kalinya menyelenggarakan acara persembahan secara terbuka. Meskipun sudah menjadi kelompok penghayat yang secara resmi diakui pemerintah sejak tahun 2001, untuk menyelenggarakan acara mereka perlu mengajukan izin ke Kesbanglinmas, Polda Sumut, Poltabes Medan, hingga ke Polsek Medan Sunggal.

Kepala Subdit Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sri Hartini mengatakan, berdasarkan pengalaman kelompok mendampingi kelompok penghayat, warga masyarakat ini justru merupakan warga negara yang patuh. Ajaran mereka sangat menghargai alam dan kemanusiaan sehingga hidupnya pun tak berbuat jahat kepada orang lain.

Parmalim yang berpusat di Lagubotti, misalnya. Perilaku penghayat agama asli Batak ini sangat santun. Mereka selalu mencoba tidak menyakiti orang lain. Mereka juga tidak mau sembarang makan sebab makanan ikut menunjang perkembangan jiwa.

Jumlah mereka ribuan serta tersebar di Jawa dan Sumatera. Jika selama ini penghayat dianggap masyarakat marjinal dan tak berpendidikan, tidak demikian dengan Parmalim. Orang-orang mudanya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dan berwawasan luas. Beberapa mengaku harus menyembunyikan Parmalim mereka saat menempuh pendidikan karena capek menjawab pertanyaan orang.

Banyak peneliti asing yang justru tertarik pada agama asli ini, terutama dari sisi kebudayaan dan seninya karena mereka menggunakan musik dan tari tradisional Batak. Namum, warga setempat justru melupakan. Pelestari agama-agama asli di Indonesia yang justru terstigma menjadi orang tak beragama atau malah penyembah berhala.

Tahun lalu pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007, membuat pemerintah mengakui perkawinan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Penghayat mendapatkan surat kawin dan melakukan perkawinan di depan pemuka penghayat dan berhak mempunyai kartu tanda penduduk dengan mengosongkan kolom agama.

Terbitnya PP itu membuat akta perkawinan sudah bisa dilayani dan KTP bisa diladeni. Meskipun demikian, masih ada kendala bagi penghayat, misalnya dalam hal penguburan dan pendirian rumah ibadah. Makam umum belum bisa menerima pemakaman kaum penghayat.

Sumber : Kompas, April 2008

http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2008/04/penghayat-kepercayaan-terpinggirkan.html

Kamis, 14 Februari 2008

Kini Warga Penghayat Kepercayaan Di Cilacap Bernafas Lega

Keluarga Besar Warga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Kabupaten Cilacap kini bernafas lega dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Peraturan pemerintah ini antara lain mengatur pencatatan perkawinan para penganut aliran kepercayaan.

Direktur Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Depbudpar, Drs. Sulistyo Tirtokusumo, MM mengatakan bahwa peraturan pemerintah ini merupakan rahmat bagi para penghayat. “Ini berarti hak-hak kami selaku warga negara sudah sama dengan yang lain,” katanya dalam pidato didepan keluarga besar warga Penghayat terhadap Tuhan YME di gedung Dwija Loka, Minggu (10/2) malam lalu.

Seperti pantauan CilacapMedia dari gedung Dwija Loka, ratusan warga Penghayat Kepercayaan dari seluruh penjuru Cilacap tampak antusias dan penuh kekeluargaan menghadiri acara ‘’Tumpengan Tutupan Sura’’ dalam rangka memperingati Tahun Baru 1941 Jimawal Jawa Saka dengan tema ‘’Luhuring Catur Trusing Gusti (1940), Aji Kerta Wiwaraning Manunggal (1941).

Dalam acara tersebut sekaligus penetapan 10 Pemuka Pengayat Kepercayaan untuk periode 5 tahun berdasar Keputusan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa No.160 s/d 168 / SK / Dit.Kep / NBSF / XI / 07 tanggal 14 Nopember 2007. Juga pengukuhan perkawinan warga penghayat.

Sulistyo mengatakan selama ini upaya mencatatkan pernikahan para penghayat selalu mendapatkan hambatan di kantor catatan sipil karena belum ada dasar hukumnya. “Sekarang hati kami sudah lega,” katanya.

Selama ini, kata dia, jika ingin menikah, banyak warga penghayat yang terpaksa mengaku salah satu agama selama lebih dari 25 tahun. “Jadi pencatatan pernikahan mereka dilakukan di kantor KUA,” katanya.

Lebih lanjut Sulistyo mengatakan, sejak lahir, para penghayat dan keluarganya berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidah sah.

Padahal mereka melangsungkan pernikahan sesuai adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orangtua, handai taulan, keluarga, dan saksi.

Para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi menghadapi pejabat negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI.

Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP) karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara.

Dengan adanya aturan ini, kata Sulistyo, hal seperti itu tidak perlu terjadi lagi. “Di KTP pun tidak usah mencantumkan agama, jadi mulai sekarang warga penghayat harus berani menunjukkan jati diri” katanya.

Hadir Bupati Cilacap, H. Probo Yulastoro yang sekaligus menyerahkan kutipan Akta Perkawinan No. Dua puluh satu / 2008 kepada delapan pasangan pengantin dari daftar pencatatan perkawinan menurut Stbld UU.No.1/1974 dan UU No.23/2006 Jo. PP No.37 /2007.

Usai penetapan 10 Pemuka Pengayat Kepercayaan dan pengukuhan perkawinan warga penghayat acara dilanjut dengan makan tumpeng yang dibawa oleh masing-masing warga yang didahului dengan ‘’Kabulan wilujeng lan pandonga’’ oleh Ki Wana Manita Roga Segara. Sebagai penutup acara digelar wayang kulit dengan dalang Ki Untung Yonoatmojo dengan lakon ‘’Wahyu Purbosejati’’

Sumber : http://www.cilacapmedia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=610:kini-warga-penghayat-kepercayaan-di-cilacap-bernafas-lega&catid=14:budaya&Itemid=8

Jumat, 23 Juni 2000

Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan merupakan sebutan untuk agama/kepercayaan yang dianut oleh masyarakat di Kanekes, Lebak, Banten. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya Islam.
Sunda Wiwitan adalah agama yang sudah sejak lama dipeluk oleh masyarakat Sunda, jauh sebelum penjajah kolonial datang ke Indonesia. Bahkan, meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. “Secara budaya, mereka belum meninggalkan agama Sunda ini,” kata Rama Jati. Dalam perjalanan waktu, Sunda Wiwitan juga pernah mengalami masa-masa penuh tekanan dari berbagai pihak. Rama Jati sendiri pernah ditangkap dan dipenjara karena dituduh menyebarkan ajaran yang dianggap meresahkan masyarakat. Namun, pernyataan bahwa masyarakat Sunda masih belum meninggalkan agama ini memang bukan isapan jempol. Selain dari budaya penyampaian doa melalui gerak tarian seperti itu, bukti itu juga dapat dilihat dari perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda, atau yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.

Ajaran “Cara Ciri” Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Demikian pula yang berlaku di dalam agama Sunda Wiwitan. Menurut Rama Jati, ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. “Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya, yaitu cinta kasih atau welas asih, undak usuk atau sebutan tatanan dalam kekeluargaan, tata krama, budi bahasa dan budaya, serta wiwaha yudha naradha,” kata Rama Jati. Untuk unsur yang kelima, wiwaha yudha naradha, maksudnya adalah sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya. Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa, yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, dan budaya. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa ini. Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda Resihan. “Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat,” kata Rama Jati. Menurut Rama Jati, apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan. Dalam penerapannya, Sunda Wiwitan juga tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Menurut Rama Jati, tabu yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua. “Yang tidak disenangi dan membahayakan orang lain, itu tabu. Selain itu, yang bisa membahayakan diri sendiri dan menjadi kebiasaan, juga merupakan tabu,” kata Rama Jati. Sebagai contoh, papar Rama Jati, makan nasi saja bisa menjadi tabu di dalam Sunda Wiwitan ini. Dengan catatan, tentu saja, kalau makan nasinya terlalu banyak dapat membuat orang sakit perut.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org