Keberadaan Buddha Bar yang terletak di Jl Teuku Umar No 1 Kecamatan Menteng Jakarta Pusat terus menuai protes dari kalangan generasi muda umat buddha. Penamaan Buddha Bar serta keberadaan Patung Buddha yang dijadikan assesoris didalam Waralaba ini dianggap melecehkan simbol agama Buddha yang selama ini disakralkan. Gelombang protes yang terus berlangsung tak urung menjadi wacana publik yang lebih luas. Nama-nama pemilik Buddha Bar mulai terkuak ke permukaan, beberapa diantaranya adalah Reni Sutiyoso dan Puan Maharani yang diindikasikan sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Belakangan Anggota DPR maupun pejabat DKI Jakarta urun rembuk untuk mengatasi persoalan tersebut. Nampaknya pergantian nama bisnis waralaba ini akan diambil untuk mengatasi agar polemik tidak berkempanjangan.
Pertanyaanya, apakah polemik Buddha Bar hanya sebatas penamaan dan simbol-simbol religi agama tertentu ? atau ada hal penting lain yang patut dipertanyakan terkait status kepemilikan dan kemanfaatan gedung dijalan Teuku Umar No 1 tersebut.
Secara historis Gedung yang sekarang bernama Buddha Bar dahulunya merupakan gedung ex Kantor Imigrasi. Gedung ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).
Gedung yang kemudian dikenal sebagai Bataviasche Kunstkring ini pernah dijadikan sebagai tempat karya perupa dunia seperti Picasso dan Vincent Van Gogh. Atas dasar nilai historis ini kemudian Mantan Gubernur Suryadi Soedirja mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 475 tahun 1993 yang menetapkan Gedung Kantor Imigrasi atau Bataviasche Kunstkring sebagai salah satu bangunan bersejarah di daerah khusus ibukota Jakarta sebagai benda cagar budaya (Lampiran Keputusan Gubernur, Daftar Bagunan Cagar Budaya Nomor 37).
Menurut penelusuran ICW, ketika terjadi pengambilalihan kantor Imigrasi (Bataviasche Kunstkring) dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tahun 2001, Pemda DKI Jakarta mengusulkan tambahan biaya pada pos proyek inventarisasi aset daerah dari 1 Miliar menjadi 30 Miliar (Kompas.com, 13/9/2001). Dana sebesar itu akan digunakan untuk melindungi gedung kantor imigrasi yang dianggap yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Sebagai gedung cagar budaya dengan nilai historis tinggi serta besarnya dana yang diperkirakan telah dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk melestarikan gedung tersebut, maka menjadi pertanyaan besar mengapa kemudian beralih kepemilikannya menjadi sektor swasta yang bernuansa bisnis semata.
Menurut Pasal 19 ayat 2(b) UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya dijelaskan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya tidak dapat dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Kemudian dalam konteks kepariwisataan, pemanfaatan peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya menurut pasal 6 UU No 9 tahun 1990, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan hal itu maka perdebatan Buddha Bar seharusnya bukan hanya sebatas penamaaan, lebih dari itu adalah mengenai pengalihan status gedung bernilai sejarah menjadi gedung bernuansa bisnis waralaba. Apakah benda/gedung Cagar Budaya bisa dialihkan untuk kepentingan pribadi ? Apakah tidak ada penyimpangan dalam kasus pengalihan gedung Cagar Budaya (BUDHA BAR) kepada pihak swasta?
Pemerintah DKI Jakarta harus menjelaskan kepada publik mekanisme dan prosedur pengalihan tersebut, menjelaskan tidak adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengalihan status kepemilikan serta menjelaskan transparansi dana-dana APBD yang telah dikeluarkan dalam melindungi gedung ex kantor imigrasi (Bataviasche Kunstkring) selama ini. Pada sisi lain aparat penegak hukum (Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan pemeriksaan jika terdapat dugaan penyimpangan dalam proses pengalihan asset budaya yang harus dilindungi tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi
Agus Sunaryanto
Kepala Div. Investigasi dan Informasi Publik
Indonesia Corruption Watch
Website : www.antikorupsi.org
E-mail : agus@antikorupsi.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Hp : 0812 857 6873
Sumber : http://antikorupsi.org, Kamis, 12 Maret 2009
1 komentar:
Establish a political party is the right of each citizen country. But democracy requires substance; the welfare of the people.
The growth of political parties is the number of potential substance of the purpose of nation and the state. Stage should be a political event to improve the welfare of the race people, can turn the direction of interest only to the leader of the right party.
In fact, a political party is a pillar of democracy. If the pillars are not strong, it will be a serious threat to the sustainability of democracy in Indonesia. Therefore, political parties had turned it back to the correct
Posting Komentar