Pengambil keputusan dianggap kurang memahami makna ‘penghayat kepercayaan’. Jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang.
Para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejatinya sudah menikmati kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam dua tahun terakhir. Sebab, sejak Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 terbit, syarat dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan sudah jelas. PP 37 tadi adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
PP 37 menjadi payung bagi penghayat kepercayaan melangsungkan perkawinan berdasarkan kepercayaan masing-masing. Menurut Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kepercayaan pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, selama ini masalah terbesar perkawinan bagi pasangan penghayat kepercayaan adalah keberadaan petugas yang menandatangani surat perkawinan. “Persoalannya siapa yang menandatangani,” ujar Sulistyo di sela-sela seminar “Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di Jakarta, Rabu (18/3) pagi.
Nah, PP 37 mengintrodusir istilah pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan adalah sebutan bagi orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan. Menurut Sulistyo, pemuka penghayat kepercayaan tidak selalu sesepuh dari penghayat bersangkutan. Yang pasti, pemuka penghayat kepercayaan tadi kudu didaftarkan pada Direktorat Kepercayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sepanjang perkawinan dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk organisasi penghayat, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak akan mempersulit. “Kami justru mempermudah,” ujar Sulistyo.
Secara yuridis, peristiwa perkawinan penghayat kepercayaan wajib dilaporkan kepada Kantor Catatan Sipil paling lambat 60 hari sejak perkawinan berlangsung. Dalam laporan itu turut dilampirkan surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan, salinan KTP, pasphoto suami dan isteri, akta kelahiran, atau paspor suami – isteri bagi orang asing.
Bisa jadi Sulistyo benar. Sebab, selama ini banyak perkawinan penghayat kepercayaan yang tidak tercatatkan di Kantor Catatan Sipil. Sebab, mereka melaksanakan perkawinan sendiri tanpa ada surat perkawinan yang diisi dan diteken pemuka penghayat kepercayaan. Konsekuensi hukumnya jelas.
Menurut Prof. Wila Chandrawila Supriadi, Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, dari sudut pandang hukum negara perkawinan semacam itu bisa dianggap sebagai kumpul kebo. Anak hasil hubungan perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan seharusnya bisa menghindarkan para penghayat dari problem hukum tersebut. Pasangan yang hendak menikah memberitahukan niatnya kepada pemuka penghayat kepercayaan yang sudah ditunjuk. Misalnya pemuka yang ditunjuk Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK).
Masalahnya, masih ada perkawinan yang dilaksanakan masyarakat adat tanpa surat perkawinan. Apalagi, organisasi penghayat kepercayaan tidak tunggal. Menurut Sulistyo, ada 245 organisasi penghayat di tingkat pusat dan 954 organisasi cabang, dengan jumlah pengikut sekitar 10 juta orang. Akibatnya, acapkali perkawinan dilaksanakan menurut adat setempat saja. Dari sudut pandang adat, perkawinan tentu saja sah. Tetapi, kata Wila, ketika berhadapan dengan hukum negara, perkawinan menjadi cacat kalau tidak dicatatkan. Dengan kata lain, ketika pasangan penghayat hendak memperjuangkan hak-hak sipil, mereka akan menghadapi masalah hukum kalau perkawinan mereka tidak dicatatkan.
Di mata KRA Esno Kusnodho Suryaningrat, Ketua Umum HPK, masalah yang selama ini timbul antara lain bersumber dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil penghayat. Maksudnya, siapa lagi, kalau bukan Pemerintah. Pemerintah, kata pria yang biasa disapa Romo Guru itu, kurang memahami makna penghayat kepercayaan. Penghayat kepercayaan sering dianggap sebagai penganut animisme-dinamisme. “Padahal yang penghayat laksanakan adalah budaya spritual leluhur kita. Kami juga percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” tandas Romo Guru.
Sumber : http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21475&cl=Berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar