Senin, 30 Maret 2009 00:00
“Seharusnya Pemerintah yang menyubsidi rakyat, ini malah kebalikannya”
IMAM SUGEMA
Pengamat Ekonomi INDEF
Penetapan harga dan pencabutan subsidi BBM dituding sebagai kebijakan yang ‘menipu’ rakyat. Sebab, kebijakan tersebut telah memaksa rakyat untuk menyubsidi pemerintah.
KEPENTINGAN rakyat seharusnya menjadi prioritas utama ketika pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan. Namun, tidak demikian dengan lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Beberapa kebijakan SBY justru merugikan rakyat. Salah satunya terkait kebijakan pemerintah soal Bahan Bakar Minyak (BBM).
Demikian diungkapkan pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imam Sugema dalam diskusi yang digelar International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) dan Ikatan Sarjana Ekonomi (ISAE) di Jakarta, akhir pekan kemarin. Di mata Imam, penetapan harga dan pencabutan subsidi BBM adalah kebijakan yang ‘menipu’ rakyat. Pasalnya kebijakan tersebut justru memaksa rakyat untuk menyubsidi pemerintah. Dalam artian, pemerintah telah mendapat margin atau keuntungan dari harga yang ditetapkan saat ini.
“Saat ini, harga BBM premium yang dibebankan kepada rakyat sebesar Rp4.500. Harga tersebut jauh di atas harga minyak internasional. Jadi, bukannya menyubsidi rakyat, tapi malah menipu rakyat,” ungkap Imam.
Dengan harga sebesar itu, kata pengamat ekonomi tersebut, pemerintah telah mengeruk keuntungan sebesar Rp1,2 triliun/bulan. Perhitungan, dengan mematok harga Rp4.500/liter, ada keuntungan bruto sebesar Rp994 dan keuntungan bersih Rp1.300/liter, Dari sanalah estimasi keuntungan pemerintah mencapai Rp 1,2 triliun.
Berdasarkan perhitungan Imam, seharusnya HPP BBM dipatok pada angka Rp3.187/liter dengan mengacu pada harga BBM internasional yang kini menyentuh pada 39 USD/ barel, dalam kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp11.825. Setelah ditambah PPN 10 persen atau sebesar Rp 319, harga yang seharusnya dijual kepada masyarakat adalah Rp3.506/ liter.
‘’Ini jelas salah kaprah. Seharusnya Pemerintah yang menyubsidi rakyat, ini malah kebalikannya. Padahal, premium adalah salah satu bahan bakar yang harus disubsidi oleh pemerintah,” kata Imam.
Menurut dia, ada dua faktor yang memengaruhi harga BBM di tingkat domestik, yakni harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Terkait perkembangan harga minyak mentah dunia, terdapat fluktuasi harga dengan adanya penetapan batas atas dan batas bawah harga minyak/barel. Pada 2004, batas bawahnya adalah 33 dolar/barel sedangkan batas atas berada pada kisaran 56 dolar/barel. Sedangkan perkembangan harga minyak saat ini atau sejak November 2008, kecenderungannya menyentuh batas bawah 2004.
Sementara faktor kedua adalah nilai tukar rupiah. Pada 2008 hingga 2009, negara kita termasuk negara terparah dengan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap dolar menjadi salah satu alasan pemerintah SBY-JK tidak menurunkan harga BBM.
Dari dua faktor tersebut, jelas Imam, penghitungan Harga Pokok Pengadaan (HPP) adalah harga minyak internasional dikali kurs rupiah hingga menghasilkan harga minyak/barel. Sedangkan harga internasional sama dengan harga Mops (harga BBM jadi) di Singapura yang menjadi acuan.
“Dengan demikian, keuntungan bersih yang diperoleh pemerintah sebesar 10% dan 4% diantaranya adalah keuntungan Pertamina,” jelas Imam.
Dikatakan, subsidi seharusnya akan dibayar kalau harga yang dibayarkan lebih rendah dari HPP. Pada 2000 atau saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, HPP-nya sebesar Rp2.566 dengan subsidi bersih sebesar Rp571/liter. Seharusnya selama Februari 2009, HPP ditetapkan sebesar Rp3.187. Tapi oleh pemerintah ditetapkan sebesar Rp4.500 hingga terdapat selisih sekitar Rp1.300.
“Pemerintah malah disubsidi oleh rakyat sebesar Rp1.300/liter. Di samping itu masih ada minyak produksi dalam negeri yang beredar di pasaran domestik sebesar 1 juta barel/hari. Sayangnya, hanya 15% yang dikuasai Pertamina, selebihnya dikuasai asing,” tukasnya.
Pada 2004, kata Imam, secara fiskal, subsidi ‘bersih’ pemerintah sebenarnya kurang mendukung karena anggaran saat itu hanya Rp380 triliun. Bandingkan dengan anggaran pemerintahan SBY yang mencapai Rp1.000 triliun yang seharusnya secara fiskal mampu memberikan subsidi kepada rakyat.
“Saat ini, subsidi ‘bersih’ negatif dan pemerintah mengambil keuntungan. Selain anggaran yang memadai, pemerintah juga mendapat penghasilan di luar pajak, yakni Rp1,2 triliun per Desember 2008 dan Rp1,1 triliun pada Januari 2009. Sementara estimasi keuntungan bulan Februari 2009 mencapai Rp1,2 triliun. Secara fiskal sebenarnya pemerintah SBY lebih mampu. Terlebih, pemerintah juga mendapat keuntungan dari BBM sebesar Rp15 triliun/tahun,” tandas Imam.
Ditengah krisis global yang menghantam perekonomian dunia, tambah Imam, harga BBM di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Imbasnya harga produksi ikut terpengaruh yang berdampak pada terpuruknya perekonomian nasional. “Perusahaan-perusahaan juga terbebani dan tidak bisa bersaing. Akibatnya, banyak perusahaan tutup dan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Menurut saya, bukan waktu yang tepat pemerintah SBY mencabut subsidi BBM,” demikian Imam.
Jika dibandingkan pada tahun 2004 pada masa Presiden Megawati, harga keekonomian BBM waktu itu sekitar Rp 2.822 per liter. Namun, pemerintah waktu itu menetapkan harga resmi dalam negeri sebesar Rp 1.995 atau Rp 2.000 per liter. Sehingga, jika dihitung ada subsidi yang diberikan pemerintah sekitar Rp 571 per liter.
“Padahal pada tahun 2004 kondisi fiskal kurang mendukung. Anggaran waktu itu hanya sekitar Rp380 triliun. Namun tetap pemerintah Megawati memberikan subsidi untuk rakyat, “ tambah dosen IPB ini.
Sementara saat ini, lanjutnya, kondisi fiskal sebenarnya sangat mendukung pemerintah untuk memberikan subsidi dengan anggaran lebih dari Rp 1.000 triliun. Namun sayang hal itu tidak dilakukan SBY. “Harusnya ini jadi momentum tepat bagi pemerintah SBY memberikan subsidi kepada rakyat. Jadi sebenarnya ini tergantung niat,” tegasnya. d nor/don
Sumber : http://www.beritakota.co.id/edisicetak/berita/berita-utama/1299-rakyat-subsidi-pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar