Senin, 30 Maret 2009 00:00
“Seharusnya Pemerintah yang menyubsidi rakyat, ini malah kebalikannya”
IMAM SUGEMA
Pengamat Ekonomi INDEF
Penetapan harga dan pencabutan subsidi BBM dituding sebagai kebijakan yang ‘menipu’ rakyat. Sebab, kebijakan tersebut telah memaksa rakyat untuk menyubsidi pemerintah.
KEPENTINGAN rakyat seharusnya menjadi prioritas utama ketika pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan. Namun, tidak demikian dengan lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Beberapa kebijakan SBY justru merugikan rakyat. Salah satunya terkait kebijakan pemerintah soal Bahan Bakar Minyak (BBM).
Demikian diungkapkan pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imam Sugema dalam diskusi yang digelar International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) dan Ikatan Sarjana Ekonomi (ISAE) di Jakarta, akhir pekan kemarin. Di mata Imam, penetapan harga dan pencabutan subsidi BBM adalah kebijakan yang ‘menipu’ rakyat. Pasalnya kebijakan tersebut justru memaksa rakyat untuk menyubsidi pemerintah. Dalam artian, pemerintah telah mendapat margin atau keuntungan dari harga yang ditetapkan saat ini.
“Saat ini, harga BBM premium yang dibebankan kepada rakyat sebesar Rp4.500. Harga tersebut jauh di atas harga minyak internasional. Jadi, bukannya menyubsidi rakyat, tapi malah menipu rakyat,” ungkap Imam.
Dengan harga sebesar itu, kata pengamat ekonomi tersebut, pemerintah telah mengeruk keuntungan sebesar Rp1,2 triliun/bulan. Perhitungan, dengan mematok harga Rp4.500/liter, ada keuntungan bruto sebesar Rp994 dan keuntungan bersih Rp1.300/liter, Dari sanalah estimasi keuntungan pemerintah mencapai Rp 1,2 triliun.
Berdasarkan perhitungan Imam, seharusnya HPP BBM dipatok pada angka Rp3.187/liter dengan mengacu pada harga BBM internasional yang kini menyentuh pada 39 USD/ barel, dalam kurs rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp11.825. Setelah ditambah PPN 10 persen atau sebesar Rp 319, harga yang seharusnya dijual kepada masyarakat adalah Rp3.506/ liter.
‘’Ini jelas salah kaprah. Seharusnya Pemerintah yang menyubsidi rakyat, ini malah kebalikannya. Padahal, premium adalah salah satu bahan bakar yang harus disubsidi oleh pemerintah,” kata Imam.
Menurut dia, ada dua faktor yang memengaruhi harga BBM di tingkat domestik, yakni harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Terkait perkembangan harga minyak mentah dunia, terdapat fluktuasi harga dengan adanya penetapan batas atas dan batas bawah harga minyak/barel. Pada 2004, batas bawahnya adalah 33 dolar/barel sedangkan batas atas berada pada kisaran 56 dolar/barel. Sedangkan perkembangan harga minyak saat ini atau sejak November 2008, kecenderungannya menyentuh batas bawah 2004.
Sementara faktor kedua adalah nilai tukar rupiah. Pada 2008 hingga 2009, negara kita termasuk negara terparah dengan terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap dolar menjadi salah satu alasan pemerintah SBY-JK tidak menurunkan harga BBM.
Dari dua faktor tersebut, jelas Imam, penghitungan Harga Pokok Pengadaan (HPP) adalah harga minyak internasional dikali kurs rupiah hingga menghasilkan harga minyak/barel. Sedangkan harga internasional sama dengan harga Mops (harga BBM jadi) di Singapura yang menjadi acuan.
“Dengan demikian, keuntungan bersih yang diperoleh pemerintah sebesar 10% dan 4% diantaranya adalah keuntungan Pertamina,” jelas Imam.
Dikatakan, subsidi seharusnya akan dibayar kalau harga yang dibayarkan lebih rendah dari HPP. Pada 2000 atau saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, HPP-nya sebesar Rp2.566 dengan subsidi bersih sebesar Rp571/liter. Seharusnya selama Februari 2009, HPP ditetapkan sebesar Rp3.187. Tapi oleh pemerintah ditetapkan sebesar Rp4.500 hingga terdapat selisih sekitar Rp1.300.
“Pemerintah malah disubsidi oleh rakyat sebesar Rp1.300/liter. Di samping itu masih ada minyak produksi dalam negeri yang beredar di pasaran domestik sebesar 1 juta barel/hari. Sayangnya, hanya 15% yang dikuasai Pertamina, selebihnya dikuasai asing,” tukasnya.
Pada 2004, kata Imam, secara fiskal, subsidi ‘bersih’ pemerintah sebenarnya kurang mendukung karena anggaran saat itu hanya Rp380 triliun. Bandingkan dengan anggaran pemerintahan SBY yang mencapai Rp1.000 triliun yang seharusnya secara fiskal mampu memberikan subsidi kepada rakyat.
“Saat ini, subsidi ‘bersih’ negatif dan pemerintah mengambil keuntungan. Selain anggaran yang memadai, pemerintah juga mendapat penghasilan di luar pajak, yakni Rp1,2 triliun per Desember 2008 dan Rp1,1 triliun pada Januari 2009. Sementara estimasi keuntungan bulan Februari 2009 mencapai Rp1,2 triliun. Secara fiskal sebenarnya pemerintah SBY lebih mampu. Terlebih, pemerintah juga mendapat keuntungan dari BBM sebesar Rp15 triliun/tahun,” tandas Imam.
Ditengah krisis global yang menghantam perekonomian dunia, tambah Imam, harga BBM di Indonesia termasuk tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Imbasnya harga produksi ikut terpengaruh yang berdampak pada terpuruknya perekonomian nasional. “Perusahaan-perusahaan juga terbebani dan tidak bisa bersaing. Akibatnya, banyak perusahaan tutup dan berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Menurut saya, bukan waktu yang tepat pemerintah SBY mencabut subsidi BBM,” demikian Imam.
Jika dibandingkan pada tahun 2004 pada masa Presiden Megawati, harga keekonomian BBM waktu itu sekitar Rp 2.822 per liter. Namun, pemerintah waktu itu menetapkan harga resmi dalam negeri sebesar Rp 1.995 atau Rp 2.000 per liter. Sehingga, jika dihitung ada subsidi yang diberikan pemerintah sekitar Rp 571 per liter.
“Padahal pada tahun 2004 kondisi fiskal kurang mendukung. Anggaran waktu itu hanya sekitar Rp380 triliun. Namun tetap pemerintah Megawati memberikan subsidi untuk rakyat, “ tambah dosen IPB ini.
Sementara saat ini, lanjutnya, kondisi fiskal sebenarnya sangat mendukung pemerintah untuk memberikan subsidi dengan anggaran lebih dari Rp 1.000 triliun. Namun sayang hal itu tidak dilakukan SBY. “Harusnya ini jadi momentum tepat bagi pemerintah SBY memberikan subsidi kepada rakyat. Jadi sebenarnya ini tergantung niat,” tegasnya. d nor/don
Sumber : http://www.beritakota.co.id/edisicetak/berita/berita-utama/1299-rakyat-subsidi-pemerintah
Waspadai pengaruh Barat,Timur Tengah, dan Asia Timur
Sudah saatnya kita menggali kembali EKSISTENSI BUDAYA BANGSA KITA SENDIRI
Kearifan Lokal Leluhur Nusantara, Bukan Leluhur Barat, Bukan Leluhur Timur Tengah dan Bukan Leluhur Asia Timur
Barat Menipu Berkedok HAM, Timur Tengah Menipu Berkedok Agama, Asia Timur Menipu Berkedok Dagang
Senin, 30 Maret 2009
Jumat, 27 Maret 2009
Peran Tokoh Etnis India Indonesia Dalam Kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
By adi supardi
Sesuai kemampuan, bakat dan profesi masing-masing peran Tokoh India Indonesia dari Etnis India Indonesia dalam kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diantanya :
Anand Krishna
Anand Krishna (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 September 1956; umur 52 tahun) adalah seorang spiritualis lintas agama, nasionalis, humanis, budayawan dan penulis yang tinggal di Jakarta, Indonesia.
Walaupun berdarah keturunan India, tapi semangat kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah tinggi.
Kepeduliannya terhadap kondisi jiwa spiritual masyarakat Indonesia dituangkan dengan pendirian Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa – Department of Public Information sejak 15 Desember 2006) sebagai Centre for Holistic Health and Meditation sejak tahun 1991.
Love is the Only Solution adalah satu-satunya cara yang digunakan Anand Krishna dalam menyikapi hidup di dunia ini untuk mewujudkan Love, Peace, and Harmony dalam Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia (One Earth One Sky, One Humandkind
Ayu Azhari
Ayu Azhari (dilahirkan sebagai Siti Khadijah, lahir 19 November 1969; umur 39 tahun) adalah seorang aktris, model dan penyanyi asal Indonesia. Saudaranya, Sarah Azhari, Ibra Azhari, Rahma Azhari juga aktris. Ayu menikah tiga kali. Dari semua pernikahannya ia memperoleh enam anak yaitu Axel Gondokusumo (dari pernikahan dengan Djody Gondokusumo), Sean Azad, Mariam Nur Al Iman dan Sulaiman Atiq (dari pernikahan dengan Teemu Yusuf Ibrahim) serta Isabelle Tramp dan Lennon Tramp(dari pernikahan dengan Mike Tramp).
Farouk Achmad bin Asgar Ali
Farouk Achmad bin Asgar Ali (lahir: Pandori Bali, Pakistan, 4 Juli 1939 – wafat: 13 April 2003) atau lebih dikenal dengan nama Farouk Afero adalah seorang aktor senior Indonesia. Awal karir di dunia film layar lebar Indonesia di mulai dengan bermain dalam film Ekspedisi Terakhir yang dibintangi Ratno Timoer, Dicky Zulkarnaen, dan Soekarno M. Noer pada tahun 1964.
Gurnam Singh
Gurnam Singh (lahir di Punjab, India, 16 Agustus 1931; umur 77 tahun) adalah mantan pelari Indonesia yang meraih tiga medali emas pada cabang lari pada Asian Games keempat di Jakarta pada tahun 1962, masing-masing pada nomor lari maraton, 5000 dan 10000 meter.
Harbrinderjit Singh Dillon
Harbrinderjit Singh Dillon (lahir di Medan, Sumatera Utara, 23 April 1945; umur 63 tahun) atau lebih dikenal dengan nama H. S. Dillon adalah salah satu tokoh Indonesia di bidang Hak Asasi Manusia dan sosial ekonomi. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan. Ia pernah meraih penghargaan Global Award dari Priyadarshni Academy, India sebagai orang keturunan India di luar negaranya yang memberikan kontribusi di negara yang ditinggalinya.
Kiki Fatmala
Kiki Fatmala (lahir di Jakarta, Indonesia, 26 Oktober 1969; umur 39 tahun) adalah pemain film dan sinetron Indonesia
Marissa Haque
Marissa Grace Haque (lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur, 15 Oktober 1962; umur 46 tahun) adalah seorang pemeran, sutradara dan produser film dan televisi, konsultan hukum, dosen tamu di berbagai universitas negeri dan swasta, guru pendidikan khusus tunarungu, dan politikus Indonesia. Dia menikah dengan penyanyi rock Indonesia, pencipta lagu, pengembang perumahan, dan politikus dari PAN (Partai Amanat Nasional) Ikang Fawzi (Ahmad Zulficar Fawzi), dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Ia adalah kakak kandung dari Soraya Haque dan Shahnaz Haque.
Karier politiknya langsung melesat ketika bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan terpilih sebagai anggota DPR-RI pada tahun 2004.
Sarah Azhari
Sarah Azhari (lahir di Jakarta, 16 Juni 1977; umur 31 tahun) adalah seorang aktris dan model asal Indonesia. Saudaranya, Ayu Azhari,Ibra Azhari dan Rahma Azhari adalah selebritis Indonesia. Sarah lebih sering menjadi model daripada membintangi film atau menyanyi. Salah satu filmnya adalah garapan sutradara Garin Nugroho, “Daun di Atas Bantal” yang dibintanginya bersama aktris senior Christine Hakim. Pada tahun 1999, Sarah juga mengeluarkan album bertajuk “Peluk Aku Cium Aku”.
Raam Punjabi
Raam Punjabi yang mempunyai nama lengkap Raam Jethmal Punjabi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Oktober 1943; umur 65 tahun) adalah seorang produser film dan sinetron di Indonesia. Dia mengaku sebagai produser paling sukses saat ini dengan rumah produksinya Multivision Plus.
Sumber : etnisuku.wordpress.com
Sesuai kemampuan, bakat dan profesi masing-masing peran Tokoh India Indonesia dari Etnis India Indonesia dalam kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diantanya :
Anand Krishna
Anand Krishna (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 1 September 1956; umur 52 tahun) adalah seorang spiritualis lintas agama, nasionalis, humanis, budayawan dan penulis yang tinggal di Jakarta, Indonesia.
Walaupun berdarah keturunan India, tapi semangat kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah tinggi.
Kepeduliannya terhadap kondisi jiwa spiritual masyarakat Indonesia dituangkan dengan pendirian Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa – Department of Public Information sejak 15 Desember 2006) sebagai Centre for Holistic Health and Meditation sejak tahun 1991.
Love is the Only Solution adalah satu-satunya cara yang digunakan Anand Krishna dalam menyikapi hidup di dunia ini untuk mewujudkan Love, Peace, and Harmony dalam Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia (One Earth One Sky, One Humandkind
Ayu Azhari
Ayu Azhari (dilahirkan sebagai Siti Khadijah, lahir 19 November 1969; umur 39 tahun) adalah seorang aktris, model dan penyanyi asal Indonesia. Saudaranya, Sarah Azhari, Ibra Azhari, Rahma Azhari juga aktris. Ayu menikah tiga kali. Dari semua pernikahannya ia memperoleh enam anak yaitu Axel Gondokusumo (dari pernikahan dengan Djody Gondokusumo), Sean Azad, Mariam Nur Al Iman dan Sulaiman Atiq (dari pernikahan dengan Teemu Yusuf Ibrahim) serta Isabelle Tramp dan Lennon Tramp(dari pernikahan dengan Mike Tramp).
Farouk Achmad bin Asgar Ali
Farouk Achmad bin Asgar Ali (lahir: Pandori Bali, Pakistan, 4 Juli 1939 – wafat: 13 April 2003) atau lebih dikenal dengan nama Farouk Afero adalah seorang aktor senior Indonesia. Awal karir di dunia film layar lebar Indonesia di mulai dengan bermain dalam film Ekspedisi Terakhir yang dibintangi Ratno Timoer, Dicky Zulkarnaen, dan Soekarno M. Noer pada tahun 1964.
Gurnam Singh
Gurnam Singh (lahir di Punjab, India, 16 Agustus 1931; umur 77 tahun) adalah mantan pelari Indonesia yang meraih tiga medali emas pada cabang lari pada Asian Games keempat di Jakarta pada tahun 1962, masing-masing pada nomor lari maraton, 5000 dan 10000 meter.
Harbrinderjit Singh Dillon
Harbrinderjit Singh Dillon (lahir di Medan, Sumatera Utara, 23 April 1945; umur 63 tahun) atau lebih dikenal dengan nama H. S. Dillon adalah salah satu tokoh Indonesia di bidang Hak Asasi Manusia dan sosial ekonomi. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan. Ia pernah meraih penghargaan Global Award dari Priyadarshni Academy, India sebagai orang keturunan India di luar negaranya yang memberikan kontribusi di negara yang ditinggalinya.
Kiki Fatmala
Kiki Fatmala (lahir di Jakarta, Indonesia, 26 Oktober 1969; umur 39 tahun) adalah pemain film dan sinetron Indonesia
Marissa Haque
Marissa Grace Haque (lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur, 15 Oktober 1962; umur 46 tahun) adalah seorang pemeran, sutradara dan produser film dan televisi, konsultan hukum, dosen tamu di berbagai universitas negeri dan swasta, guru pendidikan khusus tunarungu, dan politikus Indonesia. Dia menikah dengan penyanyi rock Indonesia, pencipta lagu, pengembang perumahan, dan politikus dari PAN (Partai Amanat Nasional) Ikang Fawzi (Ahmad Zulficar Fawzi), dan dikaruniai dua orang anak perempuan. Ia adalah kakak kandung dari Soraya Haque dan Shahnaz Haque.
Karier politiknya langsung melesat ketika bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan terpilih sebagai anggota DPR-RI pada tahun 2004.
Sarah Azhari
Sarah Azhari (lahir di Jakarta, 16 Juni 1977; umur 31 tahun) adalah seorang aktris dan model asal Indonesia. Saudaranya, Ayu Azhari,Ibra Azhari dan Rahma Azhari adalah selebritis Indonesia. Sarah lebih sering menjadi model daripada membintangi film atau menyanyi. Salah satu filmnya adalah garapan sutradara Garin Nugroho, “Daun di Atas Bantal” yang dibintanginya bersama aktris senior Christine Hakim. Pada tahun 1999, Sarah juga mengeluarkan album bertajuk “Peluk Aku Cium Aku”.
Raam Punjabi
Raam Punjabi yang mempunyai nama lengkap Raam Jethmal Punjabi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Oktober 1943; umur 65 tahun) adalah seorang produser film dan sinetron di Indonesia. Dia mengaku sebagai produser paling sukses saat ini dengan rumah produksinya Multivision Plus.
Sumber : etnisuku.wordpress.com
Kamis, 26 Maret 2009
Papua: the Wound Is Still Not Cured
HIV, Special Autonomy, and Tribal Was are the most crucial problem to be solved in Papua. What the worse on those problem then has been written by young journalists of Papua, as they try to dismantle the problems and to share the information with us by the book titled Luka Papua: HIV, Otonomi Khusus, dan Perang Suku (Papua’s Wound: HIV, Special Autonomy, and Tribal War).
Deadly Virus
Papua has the second largest number of HIV/AIDS infected in Indonesia, after the Jakarta Province. Billions rupiah has been given by the government and fund organizations to overcome and prevent the epidemic. Miraculously, the more money is given, the more people are infected by this deadly virus. So, what is the problem?
A zero survey, which was conducted in 1992, concluded that HIV/AIDS was firstly found in 1993 in Merauke. People in Merauke, and other cities in Papua believed that AIDS was brought to Merauke by fishermen from Thailand. But lately, those who concern about HIV/AIDS in Papua doubted this presumption, for no research can ever prove it. From their point of view, fishermen from Thailand are only accused as the black sheep, because Merauke gives many opportunities to people who come to the city, as well as to its inhabitants to go in and out of the city, and they are free to have the unsafe sexual relationship.
The government and several NGOs have tried to prevent and overcome the epidemic of HIV/AIDS, but the number of infected people in Papua has not decreased yet. This situation then triggered an assumption about the misuse of fund for dealing with the HIV/AIDS. The assumption appeared because there is no transparency about the budget, and how the government allocate and manage the fund.
Instead of solving the problem of HIV/AIDS and trying to find the solution, the Papua administration are still unable to eradicate stigma and discrimination against the HIV/AIDS infected people. Religion figures and their institution have not given concrete solution in dealing with HIV/AIDS. For instance, people in Merauke often bury the body of people with HIV/AIDS in the night silently. The funeral was only attended by few people. Not to mention the story of people who committed suicide because of knowing him or herself positively infected by HIV.
Although Boven Digul Regent Yusak Yaluwo said that people with AIDS (ODHA) are also human and they need to be supported by the community, but Boven Digul Local Administration (Pemda) in fact has a plan to build a hospital with a special room for ODHA, so that ODHA will not be free to mingle with other people and spread the HIV/AIDS. Papua local administration even intends to installed microchip inside the body of ODHA. This issue is written on the local administration regulation in health sector that regulates about HIV/AIDS. The participants of the Second National Congress of ODHA in West Java on August 2007 seriously refuse that plan.
Prostitution, which happens in the downtown of Merauke and its forest, is pointed as the place where HIV/AIDS virus spreads out. In fact, the government tries to press the HIV/AIDS epidemic by displaying an advice to use condoms. But most of the prostitute’s customers are still unwilling to use it. As a matter of fact, the reluctant in using condom related to the culture that strongly embraced by Papua people until now. They have a belief that sperm should not be wasted for any reason, including considering that using condom while having sex is a taboo.
HIV/AIDS does not only cause a worry to the people who live in the city. Young journalists, who write this book, have also made an investigation which found that HIV/AIDS virus spread to the inside of forest. In Asmat forest, for example, the eaglewood tree become the trigger of this case. This research said that a prostitution area was built in 1997 in this hunting area. The prostitution area was only built under the blue tarpaulin and supported by rahai wood (Acacia Spp). The worst is, there are only three prostitutes who have to serve tens of eaglewood seekers. It has been going for a very long time, about two or three years. For this long time, the wood seekers have never used condoms.
The HIV/AIDS issue then becomes more interesting as rumors about genocide come up, and are related to the increasing HIV/AIDS cases in Papua. HIV/AIDS is assumed as a way to practice genocide in Papua and it is accused as the source of the decreasing of Papua people’s opportunity to live.. A report from West Papua Project and ELSHAM published in 2005 stated that Papua people have been living in fear for last 50 years. How the Indonesia military fight against the separatist groups - including the people who support them, how the HIV/AIDS rises, and how the malnutrition taunts them are pointed as the genocide toward the Papua people. Pro and contra appeared regarding to the issue of using HIV/AIDS as a genocide practice in Papua.
Sendius Wonda in his book “Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (The Disappear of Melanesia Clump: A Republic of Indonesia Political Fight in West Papua)” also states that HIV/AIDS is one of the genocide triggers in Papua. That book was banned by the District Attorney of Jayapura based on the General Attorney decree on Kep-123/A/JA/11/2007. But, it is still too soon to talk about the Papua genocide.. Genocide can be happened if the military violence, terror, and HIV/AIDS strike in the same time. As long as there is still effort to tackle the HIV/AIDS from the government, the society, and the non-governmental organization, genocide doesn’t need to be discussed.
Money Rain on the Papua Land
Since the presidential decree about Papua Development Acceleration No. 5 Year 2007 announced officially, Papua looked like flooded with money. That Presidential decree is manifested in a Special Local Administration Regulation (Perda) about Special Autonomy which is approved by the Papua People Council. On this Special Perda, Papua and West Papua Province Administrations explain the function of local administration authority in allocating, using, and accounting for the whole special autonomy funds. On that special Perda is also stated that special autonomy funds are purposed to upgrade the quality and prosperity of Papua natives’ life.
One of the Special Autonomy programs, as declared by the Papua Province Administration is to pour in the fund for Strategic Plan for Village Economy Development (Respek). Citizens in 4,000 villages in Papua deserve to receive grant as much as 100 millions rupiah to develop their villages. The Respek fund is classified into three categories, which are: grant from province and regency administration, grant from foundation, and grant in the form of program which is given at the sectors decided by the central administration, province administration, and regency administration.
In theory, the Respek fund deliverance mechanism is distributed directly to the village through the villagers’ collective account. The money can be cleared at the nearest local treasurer/bank/post office. In a forum, the villagers then will decide what the fund will be used for. The financial report will be delivered, also in an open forum, twice a year. A group that implements the program will deliver the report to the forum, where the fund managing institution will verify the report. If the financial report is accepted, the money will be given for the next term. But if the report is rejected, the managing institution has to give an alternative to solve the problem, and it has to be agreed by the forum.
In fact, the money is not distributed well. Most people in Papua villages admit that they never receive money as part of Respek program. The lack of strict regulation on allocation of this money has made the people who don’t receive the money feel disappointed. Lacks of control and monitoring on distribution of this money also have made this good program manipulated by heads of village. Practically, there is no assistance from the province administration to make this program more effective. In fact, Respek is more likely a wasting money program than an increasing the quality of Papua people’s life.
Never Ending War
Custom war which is usually called as tribal war in Papua is not always related to violence. Tribal war is held to preserve the dignity and fulfill the justice. Revenge in tribal war is often considered as a step to find the social balance which is more likely to competition than social riot. For that reason, in every tribal war, there will always be a demand about numbers of victims which should be equal between the conflicted tribes. Violation against the war rules will be fined, such a big compensation after the war end. One of the war rules is they will decide the place, the time, and the person in charge for that war.
This custom war can be triggered by various reasons. In Amungme tribe, a war can be triggered by, let say, unsettled bride-price payment, woman robbery, pig robbery, or border trespassing. Meanwhile in Nduga tribe, it can be triggered by sweet potato robbery, red fruit robbery, adultery, farm border trespassing, lie, and prejudice. Most of the times, a small problem turns to be big because it is provoked by other parties. As the result, people can be easily played against another, and tribal war happens.
This book tries to disentangle three tribal wars which are most highlighted: Central Papua spreading-out War, Kwamki Lama War, and Banti – Kimbeli War. Tribal war becomes bigger because the conflicted tribes are easily provoked with undependable issue.
It is often mentioned, that custom war happened because of a provocation from some groups that have special interest, particularly for their own good, in Papua. Those groups generate conflicts which are attached to the tribal war tradition. Mostly, Papua people still consider that the custom war is their forefather’s spiritual advice to preserve their values of life. Whatever the trigger is, custom war leaves wounds among Papua people.
Actually, this book which is written by Papua journalists is only reveal some issues out of many issues about the life of Papua people. At least, they deserve to be applauded for their courage to bring out those sensitive issues in Papua.
Source : www.PapuaToday.com
Deadly Virus
Papua has the second largest number of HIV/AIDS infected in Indonesia, after the Jakarta Province. Billions rupiah has been given by the government and fund organizations to overcome and prevent the epidemic. Miraculously, the more money is given, the more people are infected by this deadly virus. So, what is the problem?
A zero survey, which was conducted in 1992, concluded that HIV/AIDS was firstly found in 1993 in Merauke. People in Merauke, and other cities in Papua believed that AIDS was brought to Merauke by fishermen from Thailand. But lately, those who concern about HIV/AIDS in Papua doubted this presumption, for no research can ever prove it. From their point of view, fishermen from Thailand are only accused as the black sheep, because Merauke gives many opportunities to people who come to the city, as well as to its inhabitants to go in and out of the city, and they are free to have the unsafe sexual relationship.
The government and several NGOs have tried to prevent and overcome the epidemic of HIV/AIDS, but the number of infected people in Papua has not decreased yet. This situation then triggered an assumption about the misuse of fund for dealing with the HIV/AIDS. The assumption appeared because there is no transparency about the budget, and how the government allocate and manage the fund.
Instead of solving the problem of HIV/AIDS and trying to find the solution, the Papua administration are still unable to eradicate stigma and discrimination against the HIV/AIDS infected people. Religion figures and their institution have not given concrete solution in dealing with HIV/AIDS. For instance, people in Merauke often bury the body of people with HIV/AIDS in the night silently. The funeral was only attended by few people. Not to mention the story of people who committed suicide because of knowing him or herself positively infected by HIV.
Although Boven Digul Regent Yusak Yaluwo said that people with AIDS (ODHA) are also human and they need to be supported by the community, but Boven Digul Local Administration (Pemda) in fact has a plan to build a hospital with a special room for ODHA, so that ODHA will not be free to mingle with other people and spread the HIV/AIDS. Papua local administration even intends to installed microchip inside the body of ODHA. This issue is written on the local administration regulation in health sector that regulates about HIV/AIDS. The participants of the Second National Congress of ODHA in West Java on August 2007 seriously refuse that plan.
Prostitution, which happens in the downtown of Merauke and its forest, is pointed as the place where HIV/AIDS virus spreads out. In fact, the government tries to press the HIV/AIDS epidemic by displaying an advice to use condoms. But most of the prostitute’s customers are still unwilling to use it. As a matter of fact, the reluctant in using condom related to the culture that strongly embraced by Papua people until now. They have a belief that sperm should not be wasted for any reason, including considering that using condom while having sex is a taboo.
HIV/AIDS does not only cause a worry to the people who live in the city. Young journalists, who write this book, have also made an investigation which found that HIV/AIDS virus spread to the inside of forest. In Asmat forest, for example, the eaglewood tree become the trigger of this case. This research said that a prostitution area was built in 1997 in this hunting area. The prostitution area was only built under the blue tarpaulin and supported by rahai wood (Acacia Spp). The worst is, there are only three prostitutes who have to serve tens of eaglewood seekers. It has been going for a very long time, about two or three years. For this long time, the wood seekers have never used condoms.
The HIV/AIDS issue then becomes more interesting as rumors about genocide come up, and are related to the increasing HIV/AIDS cases in Papua. HIV/AIDS is assumed as a way to practice genocide in Papua and it is accused as the source of the decreasing of Papua people’s opportunity to live.. A report from West Papua Project and ELSHAM published in 2005 stated that Papua people have been living in fear for last 50 years. How the Indonesia military fight against the separatist groups - including the people who support them, how the HIV/AIDS rises, and how the malnutrition taunts them are pointed as the genocide toward the Papua people. Pro and contra appeared regarding to the issue of using HIV/AIDS as a genocide practice in Papua.
Sendius Wonda in his book “Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (The Disappear of Melanesia Clump: A Republic of Indonesia Political Fight in West Papua)” also states that HIV/AIDS is one of the genocide triggers in Papua. That book was banned by the District Attorney of Jayapura based on the General Attorney decree on Kep-123/A/JA/11/2007. But, it is still too soon to talk about the Papua genocide.. Genocide can be happened if the military violence, terror, and HIV/AIDS strike in the same time. As long as there is still effort to tackle the HIV/AIDS from the government, the society, and the non-governmental organization, genocide doesn’t need to be discussed.
Money Rain on the Papua Land
Since the presidential decree about Papua Development Acceleration No. 5 Year 2007 announced officially, Papua looked like flooded with money. That Presidential decree is manifested in a Special Local Administration Regulation (Perda) about Special Autonomy which is approved by the Papua People Council. On this Special Perda, Papua and West Papua Province Administrations explain the function of local administration authority in allocating, using, and accounting for the whole special autonomy funds. On that special Perda is also stated that special autonomy funds are purposed to upgrade the quality and prosperity of Papua natives’ life.
One of the Special Autonomy programs, as declared by the Papua Province Administration is to pour in the fund for Strategic Plan for Village Economy Development (Respek). Citizens in 4,000 villages in Papua deserve to receive grant as much as 100 millions rupiah to develop their villages. The Respek fund is classified into three categories, which are: grant from province and regency administration, grant from foundation, and grant in the form of program which is given at the sectors decided by the central administration, province administration, and regency administration.
In theory, the Respek fund deliverance mechanism is distributed directly to the village through the villagers’ collective account. The money can be cleared at the nearest local treasurer/bank/post office. In a forum, the villagers then will decide what the fund will be used for. The financial report will be delivered, also in an open forum, twice a year. A group that implements the program will deliver the report to the forum, where the fund managing institution will verify the report. If the financial report is accepted, the money will be given for the next term. But if the report is rejected, the managing institution has to give an alternative to solve the problem, and it has to be agreed by the forum.
In fact, the money is not distributed well. Most people in Papua villages admit that they never receive money as part of Respek program. The lack of strict regulation on allocation of this money has made the people who don’t receive the money feel disappointed. Lacks of control and monitoring on distribution of this money also have made this good program manipulated by heads of village. Practically, there is no assistance from the province administration to make this program more effective. In fact, Respek is more likely a wasting money program than an increasing the quality of Papua people’s life.
Never Ending War
Custom war which is usually called as tribal war in Papua is not always related to violence. Tribal war is held to preserve the dignity and fulfill the justice. Revenge in tribal war is often considered as a step to find the social balance which is more likely to competition than social riot. For that reason, in every tribal war, there will always be a demand about numbers of victims which should be equal between the conflicted tribes. Violation against the war rules will be fined, such a big compensation after the war end. One of the war rules is they will decide the place, the time, and the person in charge for that war.
This custom war can be triggered by various reasons. In Amungme tribe, a war can be triggered by, let say, unsettled bride-price payment, woman robbery, pig robbery, or border trespassing. Meanwhile in Nduga tribe, it can be triggered by sweet potato robbery, red fruit robbery, adultery, farm border trespassing, lie, and prejudice. Most of the times, a small problem turns to be big because it is provoked by other parties. As the result, people can be easily played against another, and tribal war happens.
This book tries to disentangle three tribal wars which are most highlighted: Central Papua spreading-out War, Kwamki Lama War, and Banti – Kimbeli War. Tribal war becomes bigger because the conflicted tribes are easily provoked with undependable issue.
It is often mentioned, that custom war happened because of a provocation from some groups that have special interest, particularly for their own good, in Papua. Those groups generate conflicts which are attached to the tribal war tradition. Mostly, Papua people still consider that the custom war is their forefather’s spiritual advice to preserve their values of life. Whatever the trigger is, custom war leaves wounds among Papua people.
Actually, this book which is written by Papua journalists is only reveal some issues out of many issues about the life of Papua people. At least, they deserve to be applauded for their courage to bring out those sensitive issues in Papua.
Source : www.PapuaToday.com
Senin, 23 Maret 2009
Penghayat Kepercataan Tuhan YME Dapatkan Pelayanan Hak Administrasi
Senin, 23 Maret 2009 17:28 WIB | Peristiwa | | Dibaca 84 kali
Jakarta (ANTARA News) - Seseorang dan kelompok penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mendapatkan hak-hak administrasi seperti pencamtuman dalam KTP, akte kelahiran, perkawinan dan kematian, kata Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Depbudpar KP Sulistyo Tirtokusumo.
Sulistyo mengatakan hal itu di Jakarta, Senin, di sela sela Lokakarya Sosialisasi RPB Mendagri dan Menbudpar Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Kewajiban Kepala Daerah/Wk Kepda dalam pelestarian kebudayaan dan dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Ia menjelaskan, pemenuhan hak administrasi dan menjalankan keyakinannya oleh pemerintah kepada penghayat kepercayaan didasarkan atas amanat UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No 23/2006.
Sementara itu, Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Tjetjep Suparman mengatakan, dengan UU dan PP tersebut,penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak boleh didiskriminasikan dan mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan adminitrasi seperti pencantuman dalam KTP, akte perkawinan, kelahiran dan kematian, dan pendirian pesucen (tempat berdoa), dan lahan pemakaman.
Menurut data Depbudpar, saat ini terdapat 1.515 organisasi penghayat kepercayaan terhadap TYME, 245 diantaranya memiliki kepengurusan di tingkat nasional dan jumlah pemeluknya se-Indonesia sekitar 10 juta orang.
Sedangkan, masalah pengawasan penghayat kepercayaan ditangani oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang beranggotakan delapan instansi pemerintah di pusat.
Terkait sosialisasi rancangan peratuan bersama (RPB) Mendagri dan Menbudpar, Suparman mengharapkan, adanya standar yang sama dari daerah se Indonesia dalam pelayanan kepada para penghayat kepercayaan Tuhan YME serta pemenuhan hak sipilnya sesuai perintah UUD 1945, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 23/2006 tentang Kependudukan.
Dirjen mengharapkan, terkait RPB tersebut, pemda kab/kota se Indonesia berkomitmen mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk pelesatarian kebudayaan dan pelayanan penghayat kepercyaan Tuhan YME.(*)Kejawen Online
Sumber : http://www.antara.co.id/view/?i=1237804113&c=NAS&s=
Jakarta (ANTARA News) - Seseorang dan kelompok penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa mendapatkan hak-hak administrasi seperti pencamtuman dalam KTP, akte kelahiran, perkawinan dan kematian, kata Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Depbudpar KP Sulistyo Tirtokusumo.
Sulistyo mengatakan hal itu di Jakarta, Senin, di sela sela Lokakarya Sosialisasi RPB Mendagri dan Menbudpar Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Kewajiban Kepala Daerah/Wk Kepda dalam pelestarian kebudayaan dan dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
Ia menjelaskan, pemenuhan hak administrasi dan menjalankan keyakinannya oleh pemerintah kepada penghayat kepercayaan didasarkan atas amanat UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No 37/2007 tentang Pelaksanaan UU No 23/2006.
Sementara itu, Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Tjetjep Suparman mengatakan, dengan UU dan PP tersebut,penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak boleh didiskriminasikan dan mereka berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan adminitrasi seperti pencantuman dalam KTP, akte perkawinan, kelahiran dan kematian, dan pendirian pesucen (tempat berdoa), dan lahan pemakaman.
Menurut data Depbudpar, saat ini terdapat 1.515 organisasi penghayat kepercayaan terhadap TYME, 245 diantaranya memiliki kepengurusan di tingkat nasional dan jumlah pemeluknya se-Indonesia sekitar 10 juta orang.
Sedangkan, masalah pengawasan penghayat kepercayaan ditangani oleh Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) yang beranggotakan delapan instansi pemerintah di pusat.
Terkait sosialisasi rancangan peratuan bersama (RPB) Mendagri dan Menbudpar, Suparman mengharapkan, adanya standar yang sama dari daerah se Indonesia dalam pelayanan kepada para penghayat kepercayaan Tuhan YME serta pemenuhan hak sipilnya sesuai perintah UUD 1945, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 23/2006 tentang Kependudukan.
Dirjen mengharapkan, terkait RPB tersebut, pemda kab/kota se Indonesia berkomitmen mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk pelesatarian kebudayaan dan pelayanan penghayat kepercyaan Tuhan YME.(*)Kejawen Online
Sumber : http://www.antara.co.id/view/?i=1237804113&c=NAS&s=
Kamis, 19 Maret 2009
Wah, PKS 'Dipijat' Panti Pijat
Ahluwalia (04/02/2009 - 13:44)
Demoralisasi tidak hanya melanda para politisi partai-partai sekuler, melainkan juga partai Islam. Teranyar, anggota kader PKS tertangkap basah sedang bernikmat-ria di panti pijat. Gejala dekadensi moral yang sudah membudaya?
Dalam politik, isu seks sangat sensitif dan berdampak ke citra partai. Max Moein dari PDIP, Ahmad Muqowam dari PPP, dan Yahya Zaini dari Golkar, semua tersengat skandal seks yang sangat memalukan. Memalukan pribadi mereka, memalukan partai yang mereka usung. Kini giliran PKS kena getah yang sama.
PKS seakan dipijat dan dipermalukan ulah panti pijat. Kasus yang mencoreng citra PKS itu terjadi pada anggota FPKS DPRD Kota Jambi, Zulhamli Al Hamidi. Pada Selasa (3/2) siang, Hamidi tertangkap sedang berada di dalam kamar salah satu panti pijat saat digelar Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) oleh Poltabes Jambi. PKS benar-benar tak bisa menggeliat menghindari kasus ini. Pasalnya, sudah cukup bukti.
Toh, PKS masih mencoba berkelit. Mereka menyebut oknum tersebut bukan anggota DPW PKS, melainkan simpatisan partai. “Saya sudah cek ke Korwil Sumatera Bagian Selatan (Jambi). Ketua Satuan Polisi Pamong Prajanya mengatakan itu bukan Operasi Pekat. Tapi pembinaan kepada panti pijat yang memang legal terdaftar di Pemda (Pemkot Jambi)," jelas Ketua Badan Hubungan Masyarakat DPP PKS, Mabruri, kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu.
Meski begitu, DPP PKS masih menunggu laporan secara resmi dari DPW Jambi terkait hal tersebut. Karena sebelumnya, mekanisme di PKS dari wilayah memberikan informasi secara tertulis kepada koordinator wilayah Sumatera. Setelah itu baru memberikan laporan secara tertulis kepada DPP PKS.
“Kebetulan, setiap Rabu kita ada rapat Badan Pelaksana Harian (BPH). Jika laporan tertulis itu sudah sampai, kita akan masukkan dalam agenda rapat," ucapnya.
Menurut Wakil Ketua Bidang Pembinaan Kader DPW PKS Propinsi Jambi, M Zayadi, jika terbukti benar, partainya akan menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum anggota yang tertangkap di panti pijat tersebut.
Sanksi yang bisa dijatuhkan kepada Zulhamli Al Hamidi, bisa berupa pemecatan sebagai anggota PKS. Jabatannya sebagai anggota DPRD Kota Jambi juga bisa diganti dalam waktu dekat.
Namun demikian, DPW PKS Jambi akan memanggil lebih dulu yang bersangkutan untuk menjelaskan kasusnya di hadapan Dewan Syariah PKS. “Apabila terbukti, ia akan ditindak tegas,” ujarnya.
PKS Jambi secara resmi sudah mengeluarkan larangan kepada seluruh anggota dan kadernya untuk tidak berada di tempat yang dianggap negatif oleh masyarakat.
Adanya kader atau simpatisan PKS di Jambi yang tertangkap basah berada di panti pijat membuat kaget Mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid yang kini Ketua MPR. Dia mengaku baru tahu berita kelam itu. "Oh ya? Wah, saya baru tahu dari Anda," kata Nur Wahid.
Menurut Nur Wahid, kasus demi kasus yang menjerat PKS saat ini memang sering terjadi. Tapi bagaimanapun itu harus ditelaah lebih jauh agar faktanya terungkap. "Itu harus dipelajari, apakah itu benar?" imbuhnya.
PKS jelas patuh pada prinsip hukum yang harus ditegakkan. Keputusan yang diambil itu harus berbasis fakta. "Apapun nanti kita akan beri sanksi? Kalau itu benar dan sesuai fakta," kata dia.
Source: http://www.inilah.com/berita/politik/2009/02/04/81105/wah-pks-dipijat-panti-pijat/
Demoralisasi tidak hanya melanda para politisi partai-partai sekuler, melainkan juga partai Islam. Teranyar, anggota kader PKS tertangkap basah sedang bernikmat-ria di panti pijat. Gejala dekadensi moral yang sudah membudaya?
Dalam politik, isu seks sangat sensitif dan berdampak ke citra partai. Max Moein dari PDIP, Ahmad Muqowam dari PPP, dan Yahya Zaini dari Golkar, semua tersengat skandal seks yang sangat memalukan. Memalukan pribadi mereka, memalukan partai yang mereka usung. Kini giliran PKS kena getah yang sama.
PKS seakan dipijat dan dipermalukan ulah panti pijat. Kasus yang mencoreng citra PKS itu terjadi pada anggota FPKS DPRD Kota Jambi, Zulhamli Al Hamidi. Pada Selasa (3/2) siang, Hamidi tertangkap sedang berada di dalam kamar salah satu panti pijat saat digelar Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) oleh Poltabes Jambi. PKS benar-benar tak bisa menggeliat menghindari kasus ini. Pasalnya, sudah cukup bukti.
Toh, PKS masih mencoba berkelit. Mereka menyebut oknum tersebut bukan anggota DPW PKS, melainkan simpatisan partai. “Saya sudah cek ke Korwil Sumatera Bagian Selatan (Jambi). Ketua Satuan Polisi Pamong Prajanya mengatakan itu bukan Operasi Pekat. Tapi pembinaan kepada panti pijat yang memang legal terdaftar di Pemda (Pemkot Jambi)," jelas Ketua Badan Hubungan Masyarakat DPP PKS, Mabruri, kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu.
Meski begitu, DPP PKS masih menunggu laporan secara resmi dari DPW Jambi terkait hal tersebut. Karena sebelumnya, mekanisme di PKS dari wilayah memberikan informasi secara tertulis kepada koordinator wilayah Sumatera. Setelah itu baru memberikan laporan secara tertulis kepada DPP PKS.
“Kebetulan, setiap Rabu kita ada rapat Badan Pelaksana Harian (BPH). Jika laporan tertulis itu sudah sampai, kita akan masukkan dalam agenda rapat," ucapnya.
Menurut Wakil Ketua Bidang Pembinaan Kader DPW PKS Propinsi Jambi, M Zayadi, jika terbukti benar, partainya akan menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum anggota yang tertangkap di panti pijat tersebut.
Sanksi yang bisa dijatuhkan kepada Zulhamli Al Hamidi, bisa berupa pemecatan sebagai anggota PKS. Jabatannya sebagai anggota DPRD Kota Jambi juga bisa diganti dalam waktu dekat.
Namun demikian, DPW PKS Jambi akan memanggil lebih dulu yang bersangkutan untuk menjelaskan kasusnya di hadapan Dewan Syariah PKS. “Apabila terbukti, ia akan ditindak tegas,” ujarnya.
PKS Jambi secara resmi sudah mengeluarkan larangan kepada seluruh anggota dan kadernya untuk tidak berada di tempat yang dianggap negatif oleh masyarakat.
Adanya kader atau simpatisan PKS di Jambi yang tertangkap basah berada di panti pijat membuat kaget Mantan Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid yang kini Ketua MPR. Dia mengaku baru tahu berita kelam itu. "Oh ya? Wah, saya baru tahu dari Anda," kata Nur Wahid.
Menurut Nur Wahid, kasus demi kasus yang menjerat PKS saat ini memang sering terjadi. Tapi bagaimanapun itu harus ditelaah lebih jauh agar faktanya terungkap. "Itu harus dipelajari, apakah itu benar?" imbuhnya.
PKS jelas patuh pada prinsip hukum yang harus ditegakkan. Keputusan yang diambil itu harus berbasis fakta. "Apapun nanti kita akan beri sanksi? Kalau itu benar dan sesuai fakta," kata dia.
Source: http://www.inilah.com/berita/politik/2009/02/04/81105/wah-pks-dipijat-panti-pijat/
Abdul Hadi - PAN VS Rama Pratama PKS
Jakarta - Maksud hati meminta rekannya mengucapkan istghfar, apa daya justru ucapan sumpah yang diterima. Itulah kenyataan yang harus diterima oleh tersangka kasus dugaan proyek pengembangan dermaga, Abdul Hadi Djamal.
Abdul Hadi meminta rekannya sesama anggota DPR dari PKS, Rama Pratama, untuk istighfar karena dianggap berbohong tidak mengakui pertemuan di Hotel Ritz Carlton.
"Saya bersumpah demi Allah tidak tau tentang pertemuan di Ritz Carlton dan bersumpah tidak menerima sepeser pun uang terkait kasus suap yang menyangkut Pak Hadi," elak Rama Pratama dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 19 Maret kemarin.
Rama, yang mantan Ketua BEM UI ini justru meminta Abdul Hadi untuk istighfar karena telah melakukan tindakan yang tak patut sebagai anggota Dewan.
"Seharusnya Pak Abdul Hadi yang banyak istighfar karena tertangkap tangan (menerima suap)," sindir Rama. Tak cukup itu, Rama Pratama pun menyiapkan tim pengacara untuk menghadapi tuduhan Abdul Hadi. Somasi pun dilayangkan kepada politisi PAN tersebut.
Tak disangka, Abdul Hadi kemudian meralat pernyataan soal keikutsertaan Rama Pratama pada pertemuan Ritz Carlton. Buru-buru politisi asal Makassar ini meralatnya.
"Saya diingatkan KPK bahwa saya salah sebut. Bukan di Ritz Carlton, tapi di Four Seasons," kata Abdul Hadi tadi malam usai diperiksa KPK.
Tak mau terus berpolemik soal ini, Rama enggan mengomentari pernyataan Abdul Hadi yang terakhir.
"Saya sudah tidak bersedia menanggapi lagi nyanyian AHD. Karena saya tidak mau lagi berpolemik di luar pengadilan. Saya sudah punya tim pengacara dan siap bersaksi jika diperlukan," kata Rama melalui pesan singkatnya kepada detikcom.
Ucapan sumpah Rama memang tidak salah, karena memang ternyata Abdul Hadi meralat pernyataan dia sebelumnya. Tapi untuk yang di Four Seasons, kenapa Rama enggan berkomentar? Atau jangan-jangan memang benar ada pertemuan di Four Seasons.
"Maaf saya akan persiapan untuk kampanye PKS," imbuh Rama.
Sumpah, dalam bahasa Arab disebut dengan istilah qasam. Sumpah digunakan oleh seorang muslim untuk mengikatkan diri telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Melanggar sumpah, bagi seorang muslim, akan berimplikasi buruk terhadap hubungan manusia dengan Tuhan.
Siang nanti, Rama Pratama akan berkampanye untuk wilayah Jakarta Timur. Kampanye PKS yang serentak berlangsung di Jakarta hari ini bertema ' Menuju DPR yang Bersih'.
(anw/nrl)
Source : DetikCom
Abdul Hadi meminta rekannya sesama anggota DPR dari PKS, Rama Pratama, untuk istighfar karena dianggap berbohong tidak mengakui pertemuan di Hotel Ritz Carlton.
"Saya bersumpah demi Allah tidak tau tentang pertemuan di Ritz Carlton dan bersumpah tidak menerima sepeser pun uang terkait kasus suap yang menyangkut Pak Hadi," elak Rama Pratama dalam jumpa pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 19 Maret kemarin.
Rama, yang mantan Ketua BEM UI ini justru meminta Abdul Hadi untuk istighfar karena telah melakukan tindakan yang tak patut sebagai anggota Dewan.
"Seharusnya Pak Abdul Hadi yang banyak istighfar karena tertangkap tangan (menerima suap)," sindir Rama. Tak cukup itu, Rama Pratama pun menyiapkan tim pengacara untuk menghadapi tuduhan Abdul Hadi. Somasi pun dilayangkan kepada politisi PAN tersebut.
Tak disangka, Abdul Hadi kemudian meralat pernyataan soal keikutsertaan Rama Pratama pada pertemuan Ritz Carlton. Buru-buru politisi asal Makassar ini meralatnya.
"Saya diingatkan KPK bahwa saya salah sebut. Bukan di Ritz Carlton, tapi di Four Seasons," kata Abdul Hadi tadi malam usai diperiksa KPK.
Tak mau terus berpolemik soal ini, Rama enggan mengomentari pernyataan Abdul Hadi yang terakhir.
"Saya sudah tidak bersedia menanggapi lagi nyanyian AHD. Karena saya tidak mau lagi berpolemik di luar pengadilan. Saya sudah punya tim pengacara dan siap bersaksi jika diperlukan," kata Rama melalui pesan singkatnya kepada detikcom.
Ucapan sumpah Rama memang tidak salah, karena memang ternyata Abdul Hadi meralat pernyataan dia sebelumnya. Tapi untuk yang di Four Seasons, kenapa Rama enggan berkomentar? Atau jangan-jangan memang benar ada pertemuan di Four Seasons.
"Maaf saya akan persiapan untuk kampanye PKS," imbuh Rama.
Sumpah, dalam bahasa Arab disebut dengan istilah qasam. Sumpah digunakan oleh seorang muslim untuk mengikatkan diri telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Melanggar sumpah, bagi seorang muslim, akan berimplikasi buruk terhadap hubungan manusia dengan Tuhan.
Siang nanti, Rama Pratama akan berkampanye untuk wilayah Jakarta Timur. Kampanye PKS yang serentak berlangsung di Jakarta hari ini bertema ' Menuju DPR yang Bersih'.
(anw/nrl)
Source : DetikCom
Rabu, 18 Maret 2009
Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan Masih Terkendala
Pengambil keputusan dianggap kurang memahami makna ‘penghayat kepercayaan’. Jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang.
Para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejatinya sudah menikmati kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam dua tahun terakhir. Sebab, sejak Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 terbit, syarat dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan sudah jelas. PP 37 tadi adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
PP 37 menjadi payung bagi penghayat kepercayaan melangsungkan perkawinan berdasarkan kepercayaan masing-masing. Menurut Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kepercayaan pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, selama ini masalah terbesar perkawinan bagi pasangan penghayat kepercayaan adalah keberadaan petugas yang menandatangani surat perkawinan. “Persoalannya siapa yang menandatangani,” ujar Sulistyo di sela-sela seminar “Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di Jakarta, Rabu (18/3) pagi.
Nah, PP 37 mengintrodusir istilah pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan adalah sebutan bagi orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan. Menurut Sulistyo, pemuka penghayat kepercayaan tidak selalu sesepuh dari penghayat bersangkutan. Yang pasti, pemuka penghayat kepercayaan tadi kudu didaftarkan pada Direktorat Kepercayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sepanjang perkawinan dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk organisasi penghayat, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak akan mempersulit. “Kami justru mempermudah,” ujar Sulistyo.
Secara yuridis, peristiwa perkawinan penghayat kepercayaan wajib dilaporkan kepada Kantor Catatan Sipil paling lambat 60 hari sejak perkawinan berlangsung. Dalam laporan itu turut dilampirkan surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan, salinan KTP, pasphoto suami dan isteri, akta kelahiran, atau paspor suami – isteri bagi orang asing.
Bisa jadi Sulistyo benar. Sebab, selama ini banyak perkawinan penghayat kepercayaan yang tidak tercatatkan di Kantor Catatan Sipil. Sebab, mereka melaksanakan perkawinan sendiri tanpa ada surat perkawinan yang diisi dan diteken pemuka penghayat kepercayaan. Konsekuensi hukumnya jelas.
Menurut Prof. Wila Chandrawila Supriadi, Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, dari sudut pandang hukum negara perkawinan semacam itu bisa dianggap sebagai kumpul kebo. Anak hasil hubungan perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan seharusnya bisa menghindarkan para penghayat dari problem hukum tersebut. Pasangan yang hendak menikah memberitahukan niatnya kepada pemuka penghayat kepercayaan yang sudah ditunjuk. Misalnya pemuka yang ditunjuk Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK).
Masalahnya, masih ada perkawinan yang dilaksanakan masyarakat adat tanpa surat perkawinan. Apalagi, organisasi penghayat kepercayaan tidak tunggal. Menurut Sulistyo, ada 245 organisasi penghayat di tingkat pusat dan 954 organisasi cabang, dengan jumlah pengikut sekitar 10 juta orang. Akibatnya, acapkali perkawinan dilaksanakan menurut adat setempat saja. Dari sudut pandang adat, perkawinan tentu saja sah. Tetapi, kata Wila, ketika berhadapan dengan hukum negara, perkawinan menjadi cacat kalau tidak dicatatkan. Dengan kata lain, ketika pasangan penghayat hendak memperjuangkan hak-hak sipil, mereka akan menghadapi masalah hukum kalau perkawinan mereka tidak dicatatkan.
Di mata KRA Esno Kusnodho Suryaningrat, Ketua Umum HPK, masalah yang selama ini timbul antara lain bersumber dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil penghayat. Maksudnya, siapa lagi, kalau bukan Pemerintah. Pemerintah, kata pria yang biasa disapa Romo Guru itu, kurang memahami makna penghayat kepercayaan. Penghayat kepercayaan sering dianggap sebagai penganut animisme-dinamisme. “Padahal yang penghayat laksanakan adalah budaya spritual leluhur kita. Kami juga percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” tandas Romo Guru.
Sumber : http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21475&cl=Berita
Para penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejatinya sudah menikmati kebijakan yang ditempuh Pemerintah dalam dua tahun terakhir. Sebab, sejak Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 terbit, syarat dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan sudah jelas. PP 37 tadi adalah peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
PP 37 menjadi payung bagi penghayat kepercayaan melangsungkan perkawinan berdasarkan kepercayaan masing-masing. Menurut Sulistyo Tirtokusumo, Direktur Kepercayaan pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, selama ini masalah terbesar perkawinan bagi pasangan penghayat kepercayaan adalah keberadaan petugas yang menandatangani surat perkawinan. “Persoalannya siapa yang menandatangani,” ujar Sulistyo di sela-sela seminar “Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” di Jakarta, Rabu (18/3) pagi.
Nah, PP 37 mengintrodusir istilah pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan adalah sebutan bagi orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan. Menurut Sulistyo, pemuka penghayat kepercayaan tidak selalu sesepuh dari penghayat bersangkutan. Yang pasti, pemuka penghayat kepercayaan tadi kudu didaftarkan pada Direktorat Kepercayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sepanjang perkawinan dilaksanakan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk organisasi penghayat, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tidak akan mempersulit. “Kami justru mempermudah,” ujar Sulistyo.
Secara yuridis, peristiwa perkawinan penghayat kepercayaan wajib dilaporkan kepada Kantor Catatan Sipil paling lambat 60 hari sejak perkawinan berlangsung. Dalam laporan itu turut dilampirkan surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan, salinan KTP, pasphoto suami dan isteri, akta kelahiran, atau paspor suami – isteri bagi orang asing.
Bisa jadi Sulistyo benar. Sebab, selama ini banyak perkawinan penghayat kepercayaan yang tidak tercatatkan di Kantor Catatan Sipil. Sebab, mereka melaksanakan perkawinan sendiri tanpa ada surat perkawinan yang diisi dan diteken pemuka penghayat kepercayaan. Konsekuensi hukumnya jelas.
Menurut Prof. Wila Chandrawila Supriadi, Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, dari sudut pandang hukum negara perkawinan semacam itu bisa dianggap sebagai kumpul kebo. Anak hasil hubungan perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Surat perkawinan yang diteken pemuka penghayat kepercayaan seharusnya bisa menghindarkan para penghayat dari problem hukum tersebut. Pasangan yang hendak menikah memberitahukan niatnya kepada pemuka penghayat kepercayaan yang sudah ditunjuk. Misalnya pemuka yang ditunjuk Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK).
Masalahnya, masih ada perkawinan yang dilaksanakan masyarakat adat tanpa surat perkawinan. Apalagi, organisasi penghayat kepercayaan tidak tunggal. Menurut Sulistyo, ada 245 organisasi penghayat di tingkat pusat dan 954 organisasi cabang, dengan jumlah pengikut sekitar 10 juta orang. Akibatnya, acapkali perkawinan dilaksanakan menurut adat setempat saja. Dari sudut pandang adat, perkawinan tentu saja sah. Tetapi, kata Wila, ketika berhadapan dengan hukum negara, perkawinan menjadi cacat kalau tidak dicatatkan. Dengan kata lain, ketika pasangan penghayat hendak memperjuangkan hak-hak sipil, mereka akan menghadapi masalah hukum kalau perkawinan mereka tidak dicatatkan.
Di mata KRA Esno Kusnodho Suryaningrat, Ketua Umum HPK, masalah yang selama ini timbul antara lain bersumber dari pihak-pihak yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil penghayat. Maksudnya, siapa lagi, kalau bukan Pemerintah. Pemerintah, kata pria yang biasa disapa Romo Guru itu, kurang memahami makna penghayat kepercayaan. Penghayat kepercayaan sering dianggap sebagai penganut animisme-dinamisme. “Padahal yang penghayat laksanakan adalah budaya spritual leluhur kita. Kami juga percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,” tandas Romo Guru.
Sumber : http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21475&cl=Berita
Senin, 16 Maret 2009
Rock Art in West Papua
Rock Art in West Papua By Karina Arifin and Philippe Delanghe UNESCO Publishing, Paris, 2004. ISBN 92-3-103906-7. Pp.291.48.80.
Monographs on rock art in the Asia-Pacific region (outside Australia) are few and far between, and one on the rock art of West Papua is a rare bird indeed. Social science research in the Indonesian province of Papua (formerly Irian Jaya), which remains effectively under military control, is virtually impossible for foreigners and difficult even for Indonesian scholars. The authors, an Indonesian archaeologist trained at ANU and a UNESCO Programme Specialist for Culture based in Jakarta, are to be congratulated for their persistence in pursuing a ...
Source : www.PapuaToday.com
Monographs on rock art in the Asia-Pacific region (outside Australia) are few and far between, and one on the rock art of West Papua is a rare bird indeed. Social science research in the Indonesian province of Papua (formerly Irian Jaya), which remains effectively under military control, is virtually impossible for foreigners and difficult even for Indonesian scholars. The authors, an Indonesian archaeologist trained at ANU and a UNESCO Programme Specialist for Culture based in Jakarta, are to be congratulated for their persistence in pursuing a ...
Source : www.PapuaToday.com
Mengkiritisi Yang Kritis
Saat rezim Soeharto berkuasa, kita semua kebingungan dengan caranya memerintah. Mengapa begitu? Sebab, dengan cara apapun yang sudah kita lakukan, kita tidak dapat menyuruhnya untuk turun. Bahkan semakin menjadi-jadi.
Tetapi, ada pepatah "banyak jalan menuju Roma". Para ilmuwan pun mencobanya, dengan meminta bantuan dari pihak asing. Salah satu cara yang ditawarkan oleh pihak asing pada saat itu, adalah melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Saat itulah dikenal istilah "Proposal Rekayasa Sosial". Bagaimana cara kerjanya? Caranya adalah, membuat proposal untuk sebuah penelitian sosial di Indonesia, bagi kepentingan mobilisasi masa, untuk melawan rezim Soeharto.
Singkat kata, tak diragukan lagi, keruntuhan Soeharto, merupakan sumbangsih karya LSM-LSM di Indonesia, yang dibantu pihak Asing.
Bagi orang awam, hal ini mungkin dilihat sebagai pekerjaan moral para pelaku LSM. Tapi bagi yang mengamati prosesnya, ternyata ada biaya yang sangat besar di balik semua itu. Dan dari biaya yang besar itu, ternyata ada lagi penyunatan dana oleh para pelaku LSM itu sendiri.
Bagi LSM ukuran sedang, dengan karyawan sekitar 6 orang, sebelum Krisis Moneter, mereka mendapat 4 s/d 6 miliar rupiah per tahun. Belum termasuk biaya operasional tambahan, seperti membuat demo, seminar, diskusi, dlsb. Dengan demikian, kita sudah dpat membayangkan, berapa pendapatan para petinggi LSM-LSM tersebut, bahkan melebihi gaji para manajer bank-bank besar, di Indonesia pada saat itu.
Sekarang Soeharto sudah jatuh, dn kita pun sudah lebih demokratis. Terus, apakah para pelaku LSM ini kehilangan pekerjaan? Tidak, justru makin banyak lagi. Bagaimana caranya? Para pelaku LSM ini merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara besar, yang mempunyai kepentingan terhadap sumber alam Indonesia. Wah semakin bingung nih ....!
Tidak usah bingung. Negara besar kan ingin Indonesia selalu tidak stabil. Didlam teori proses demokrtisasi, sebuah negara yang sedang menjalankan demokratisasi, pasti terjadi pergolakan. Ternyata di Indonesia tidak begitu kacau. Maka negara-negara penyandang dana LSM tersebut, mencobanya dengan membiayai LSM, untuk mendukung proses separatis di Indonesia.
Oke sedikit jelas. Terus ....? Jadi satu LSM datang dengan konsep desentralisasi, sedangkan LSM lainnya, dtang dengan konsep kemandirian masyarakat. Tampaknya memang ideal. Tapi, pada pelaksanaannya , LSM pertama bertugas menggolkan keputusan perundangan, untuk membentuk negara bagian. LSM lainnya, datang membawa konsep kemandirian masyarakat, ditambah dengan teori bahasa "suku bangsa adalah bangsa".
Wah wah wah, ternyata sungguh tidak bermoral para pelaku LSM tersebut.
Tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia, adalah untuk memajukan bangsa, bukan memporakporandakannya. Berarti, demokrasi bukan berarti memecahkan NKRI.
Tetapi, ada pepatah "banyak jalan menuju Roma". Para ilmuwan pun mencobanya, dengan meminta bantuan dari pihak asing. Salah satu cara yang ditawarkan oleh pihak asing pada saat itu, adalah melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
Saat itulah dikenal istilah "Proposal Rekayasa Sosial". Bagaimana cara kerjanya? Caranya adalah, membuat proposal untuk sebuah penelitian sosial di Indonesia, bagi kepentingan mobilisasi masa, untuk melawan rezim Soeharto.
Singkat kata, tak diragukan lagi, keruntuhan Soeharto, merupakan sumbangsih karya LSM-LSM di Indonesia, yang dibantu pihak Asing.
Bagi orang awam, hal ini mungkin dilihat sebagai pekerjaan moral para pelaku LSM. Tapi bagi yang mengamati prosesnya, ternyata ada biaya yang sangat besar di balik semua itu. Dan dari biaya yang besar itu, ternyata ada lagi penyunatan dana oleh para pelaku LSM itu sendiri.
Bagi LSM ukuran sedang, dengan karyawan sekitar 6 orang, sebelum Krisis Moneter, mereka mendapat 4 s/d 6 miliar rupiah per tahun. Belum termasuk biaya operasional tambahan, seperti membuat demo, seminar, diskusi, dlsb. Dengan demikian, kita sudah dpat membayangkan, berapa pendapatan para petinggi LSM-LSM tersebut, bahkan melebihi gaji para manajer bank-bank besar, di Indonesia pada saat itu.
Sekarang Soeharto sudah jatuh, dn kita pun sudah lebih demokratis. Terus, apakah para pelaku LSM ini kehilangan pekerjaan? Tidak, justru makin banyak lagi. Bagaimana caranya? Para pelaku LSM ini merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara besar, yang mempunyai kepentingan terhadap sumber alam Indonesia. Wah semakin bingung nih ....!
Tidak usah bingung. Negara besar kan ingin Indonesia selalu tidak stabil. Didlam teori proses demokrtisasi, sebuah negara yang sedang menjalankan demokratisasi, pasti terjadi pergolakan. Ternyata di Indonesia tidak begitu kacau. Maka negara-negara penyandang dana LSM tersebut, mencobanya dengan membiayai LSM, untuk mendukung proses separatis di Indonesia.
Oke sedikit jelas. Terus ....? Jadi satu LSM datang dengan konsep desentralisasi, sedangkan LSM lainnya, dtang dengan konsep kemandirian masyarakat. Tampaknya memang ideal. Tapi, pada pelaksanaannya , LSM pertama bertugas menggolkan keputusan perundangan, untuk membentuk negara bagian. LSM lainnya, datang membawa konsep kemandirian masyarakat, ditambah dengan teori bahasa "suku bangsa adalah bangsa".
Wah wah wah, ternyata sungguh tidak bermoral para pelaku LSM tersebut.
Tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia, adalah untuk memajukan bangsa, bukan memporakporandakannya. Berarti, demokrasi bukan berarti memecahkan NKRI.
Senin, 09 Maret 2009
West Papuan Traditional Food
There are two types of staple food in West Papua.
1. Sago, mostly consumed by Papuans in coastal areas: Biak, Serui, Jayapura, Merauke, etc. People don't normally grow sago as they grow wild all over the coastal areas. Normally people do not work hard here, fish is available, pork and others are in the jungles, and sago grows everywhere.
2. Sweet Potato, we who in the highlands grow and eat this as our staple food. Our main source of protein is pork, and also culturally very valuable. It was used to pay bride-price, pay fines, buy forests/trees to build houses, and it still has a very high value here. We work hard here to make garden, plant, breed, and grow the crops and animals, no wild pigs here as those in the coastal areas.
Coastal Papuans are generally referred to as the Austro-Melanesians, ancestors originated from Asia. Highlands are Papua-Melanesians, ancestors until today are not yet identified, but generally referred to as native Papuans in this land.
Our common meal and how is it prepared.
The meal is prepared with a method in Indonesian called "bakar batu" or "bake the stones", which means, heat the stones with fires. Dig hole on the ground, put grass, then put the hot stones on the grass, cover the stones with more grass, put the meal: normally sweet potatoes first, then put the stones on top of the potatoes. After this, put the grass again, then put the vegetables (such as cabbages, spinach, sweet-potato leaves, cassava leaves, papaya leaves, etc.), or fruits like cucumber, corn, etc.
We can mix meat with vegetables, just like in a pan in the Western and other modern society. So vegetables are mixed with the meat, well not mixed as in the West but they spread the taste and smell well over, to make it nice...
Mostly men prepare the fires, heat the stones, find the woods, find the grass, slaughter the meat, (or hunt) and women clean the meals in the water/stream, then prepare the meal, and sit on the side of the hole and put the meals into the "cooking pan" (which is the ground for us), then men help them by handing out hot stones (women mostly wait on the ground to give order to men where to put the stones, etc)
After all, we cover the cooking up with more grass and leave them for about an hour. Before opening, men go first to sort out the grass, then women can go some minutes later to open. Women are responsible to decide which meal to go which group (We do not eat individually in separate plates and spoons. We put meal on the ground for some people, we sit for meals in groups of young people, boys, girls, etc.)Our Drink West Papuan drink pure water and mostly unboilled one. We have pure and fresh water. But now it is changing, we are advised to boil water beforehand.
On the coastal areas, they also drink "saguer", and what I call Papuan wine, made out of coconut fruit. Taste coconut, but some minutes later, it shows its power.
We get water from its source, from the ground, stream, etc.
Source : www.PapuaToday.com
1. Sago, mostly consumed by Papuans in coastal areas: Biak, Serui, Jayapura, Merauke, etc. People don't normally grow sago as they grow wild all over the coastal areas. Normally people do not work hard here, fish is available, pork and others are in the jungles, and sago grows everywhere.
2. Sweet Potato, we who in the highlands grow and eat this as our staple food. Our main source of protein is pork, and also culturally very valuable. It was used to pay bride-price, pay fines, buy forests/trees to build houses, and it still has a very high value here. We work hard here to make garden, plant, breed, and grow the crops and animals, no wild pigs here as those in the coastal areas.
Coastal Papuans are generally referred to as the Austro-Melanesians, ancestors originated from Asia. Highlands are Papua-Melanesians, ancestors until today are not yet identified, but generally referred to as native Papuans in this land.
Our common meal and how is it prepared.
The meal is prepared with a method in Indonesian called "bakar batu" or "bake the stones", which means, heat the stones with fires. Dig hole on the ground, put grass, then put the hot stones on the grass, cover the stones with more grass, put the meal: normally sweet potatoes first, then put the stones on top of the potatoes. After this, put the grass again, then put the vegetables (such as cabbages, spinach, sweet-potato leaves, cassava leaves, papaya leaves, etc.), or fruits like cucumber, corn, etc.
We can mix meat with vegetables, just like in a pan in the Western and other modern society. So vegetables are mixed with the meat, well not mixed as in the West but they spread the taste and smell well over, to make it nice...
Mostly men prepare the fires, heat the stones, find the woods, find the grass, slaughter the meat, (or hunt) and women clean the meals in the water/stream, then prepare the meal, and sit on the side of the hole and put the meals into the "cooking pan" (which is the ground for us), then men help them by handing out hot stones (women mostly wait on the ground to give order to men where to put the stones, etc)
After all, we cover the cooking up with more grass and leave them for about an hour. Before opening, men go first to sort out the grass, then women can go some minutes later to open. Women are responsible to decide which meal to go which group (We do not eat individually in separate plates and spoons. We put meal on the ground for some people, we sit for meals in groups of young people, boys, girls, etc.)Our Drink West Papuan drink pure water and mostly unboilled one. We have pure and fresh water. But now it is changing, we are advised to boil water beforehand.
On the coastal areas, they also drink "saguer", and what I call Papuan wine, made out of coconut fruit. Taste coconut, but some minutes later, it shows its power.
We get water from its source, from the ground, stream, etc.
Source : www.PapuaToday.com
Jumat, 06 Maret 2009
Menyongsong Era Soeharto Babak Dua
Written by George Junus Aditjondro
Cendana sekarang terang-terangan berdiri di belakang Gerindra, yang mencalonkan Letjen (Purn.) Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke7. Ini diungkapkan Jumat lalu (6/3), di depan massa di muka rumah orangtua Soeharto di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY, oleh Probosutedjo, adik tiri Soeharto yang sering jadi juru bicara Keluarga Cendana.
Probosutejo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang kontan ditanggapi mantan Ketua MPR Amien Rais waktu itu. Menurut Amien, dukungan Cendana malah merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan bagi dia (Okezone, 23/1).
Mengapa? “Keluarga Cendana mewakili masa lalu. Padahal Prabowo yang dikesankan dalam iklan TV, mau mengubah Indonesia, mau buat terobosan-terobosan baru. Saya kira, reformasi sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Orde Baru. Sekarang malah ada tokoh yang mengajak Prabowo ke zaman baheula. Ini akan merugikan dia,” kata mantan Ketua MPR, yang ikut memotori gerakan menjatuhkan Presiden Soeharto, sebelas tahun lalu.
Penguasa tiga juta hektar.
Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye di desa kelahiran Soeharto, ia menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi Presiden, setiap rakyat akan memiliki tanah minimal dua hektar (Harian Yogya, 7/3). Padahal keluarga besar Prabowo sendiri menguasai lebih dari tiga juta hektar tanah dari Aceh sampai Papua.
Janji pembagian tanah seluas dua hektar buat setiap keluarga tani, mustahil dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bersedia membagi jutaan hektar tanah yang mereka kuasai dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren, serta ratusan ribu hektar hutan pinus, kepada jutaan petani lapar tanah.
Bagaikan zamrud di katulistiwa, tanah-tanah pencetak dollar bagi kedua bersaudara Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot Tawar di Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari seluas 96 ribu hektar, terentang dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah. Konsesi itu sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe. Di Sumatera Barat dan Jambi mereka menguasai perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 30 ribu hektar di bawah PT Tidar Kerinci Agung.
Di Kaltim mereka telah mengambilalih konsesi hutan PT Tanjung Redep HTI seluas 290 ribu hektar, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim, mereka telah mengambilalih konsesi hutan seluas 350 ribu hektar dari Kiani Group yang dulu juga dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas Nusantara, berkongsi dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan di era Habibie. Masih di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 260 ribu hektar, PT Ikani Lestari seluas 260 ribu hektar, serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar lebih.
Kaltim memang ‘pabrik uang’ bagi Prabowo. Holding company nya, Nusantara Energy, yang memiliki konsesi seluas 60 ribu hektar, telah mulai mengekspor batubara ke Tiongkok.
Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik.
Kampanye dibiayai petrodollar ...
Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra itu dibiayai dari keuntungan Hashim dari bisnis migas. Di masa kejayaan Soeharto, ashim dan Arifin Panigoro diajak sang Presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet yang kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi migas di sana.
Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para keluarga dan kroni Istana harus segera melunasi hutang-hutang mereka yang dikelola BPPN. Arifin melepas ladang migasnya di Asia Tengah tahun 2000, sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian melepas ladang migasnya di Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy Co. yang bermarkas di Calgary, Kanada. Aset itu dijualnya kepada CITIC Group (RRT) seharga 1,91 milyar dollar AS, atau 17,2 trilyun rupiah (Trust, 12-18 Nov. 2007, hal. 11; Swasembada, 24 Nov.-3 Des. 2008, hal. 113-114, 116; Globe Asia, Des. 2008, hal. 49).
Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim di bidang migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itupun ia lepas, karena “harganya bagus”, kata Hashim kepada Swasembada.
Namun hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari cukup untuk membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di antara 38 parpol peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 milyar (Seputar Indonesia, 7/3).
...... dan didukung keluarga besar Djojohadikusumo
Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra. Selain Hashim sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur Comexindo International (CI) milik Hashim.
Dengan investasi sebesar 6 juta dollar AS, CI membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1200 hektar di Jabar dan Minahasa (Sulut), sementara 21 ribu hektar sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan ribu hektar perkebunan enau untuk produksi gula dan ethanol sedang dirintis di Minahasa dan Papua (Swasembada, 24 Nov.-3 Des. 2008, hal. 115-117).
Jadi pertanyaannya sekarang: seandainya Prabowo berhasil meraih kursi RI 1, bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar presiden?
Penulis adalah pengarang Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, Yogyakarta, 2006). Ia dapat dihubungi di georgejunusaditjondro@gmail.com
Sumber : http://www.rullysyumanda.org/Politick-Trick/menyongsong-era-soeharto-babak-dua.html
Cendana sekarang terang-terangan berdiri di belakang Gerindra, yang mencalonkan Letjen (Purn.) Prabowo Subianto sebagai Presiden RI ke7. Ini diungkapkan Jumat lalu (6/3), di depan massa di muka rumah orangtua Soeharto di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY, oleh Probosutedjo, adik tiri Soeharto yang sering jadi juru bicara Keluarga Cendana.
Probosutejo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang kontan ditanggapi mantan Ketua MPR Amien Rais waktu itu. Menurut Amien, dukungan Cendana malah merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan bagi dia (Okezone, 23/1).
Mengapa? “Keluarga Cendana mewakili masa lalu. Padahal Prabowo yang dikesankan dalam iklan TV, mau mengubah Indonesia, mau buat terobosan-terobosan baru. Saya kira, reformasi sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Orde Baru. Sekarang malah ada tokoh yang mengajak Prabowo ke zaman baheula. Ini akan merugikan dia,” kata mantan Ketua MPR, yang ikut memotori gerakan menjatuhkan Presiden Soeharto, sebelas tahun lalu.
Penguasa tiga juta hektar.
Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye di desa kelahiran Soeharto, ia menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi Presiden, setiap rakyat akan memiliki tanah minimal dua hektar (Harian Yogya, 7/3). Padahal keluarga besar Prabowo sendiri menguasai lebih dari tiga juta hektar tanah dari Aceh sampai Papua.
Janji pembagian tanah seluas dua hektar buat setiap keluarga tani, mustahil dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bersedia membagi jutaan hektar tanah yang mereka kuasai dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren, serta ratusan ribu hektar hutan pinus, kepada jutaan petani lapar tanah.
Bagaikan zamrud di katulistiwa, tanah-tanah pencetak dollar bagi kedua bersaudara Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot Tawar di Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari seluas 96 ribu hektar, terentang dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah. Konsesi itu sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe. Di Sumatera Barat dan Jambi mereka menguasai perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 30 ribu hektar di bawah PT Tidar Kerinci Agung.
Di Kaltim mereka telah mengambilalih konsesi hutan PT Tanjung Redep HTI seluas 290 ribu hektar, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim, mereka telah mengambilalih konsesi hutan seluas 350 ribu hektar dari Kiani Group yang dulu juga dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas Nusantara, berkongsi dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan di era Habibie. Masih di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 260 ribu hektar, PT Ikani Lestari seluas 260 ribu hektar, serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar lebih.
Kaltim memang ‘pabrik uang’ bagi Prabowo. Holding company nya, Nusantara Energy, yang memiliki konsesi seluas 60 ribu hektar, telah mulai mengekspor batubara ke Tiongkok.
Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik.
Kampanye dibiayai petrodollar ...
Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra itu dibiayai dari keuntungan Hashim dari bisnis migas. Di masa kejayaan Soeharto, ashim dan Arifin Panigoro diajak sang Presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet yang kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi migas di sana.
Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para keluarga dan kroni Istana harus segera melunasi hutang-hutang mereka yang dikelola BPPN. Arifin melepas ladang migasnya di Asia Tengah tahun 2000, sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian melepas ladang migasnya di Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy Co. yang bermarkas di Calgary, Kanada. Aset itu dijualnya kepada CITIC Group (RRT) seharga 1,91 milyar dollar AS, atau 17,2 trilyun rupiah (Trust, 12-18 Nov. 2007, hal. 11; Swasembada, 24 Nov.-3 Des. 2008, hal. 113-114, 116; Globe Asia, Des. 2008, hal. 49).
Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim di bidang migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itupun ia lepas, karena “harganya bagus”, kata Hashim kepada Swasembada.
Namun hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari cukup untuk membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di antara 38 parpol peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 milyar (Seputar Indonesia, 7/3).
...... dan didukung keluarga besar Djojohadikusumo
Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra. Selain Hashim sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur Comexindo International (CI) milik Hashim.
Dengan investasi sebesar 6 juta dollar AS, CI membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1200 hektar di Jabar dan Minahasa (Sulut), sementara 21 ribu hektar sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan ribu hektar perkebunan enau untuk produksi gula dan ethanol sedang dirintis di Minahasa dan Papua (Swasembada, 24 Nov.-3 Des. 2008, hal. 115-117).
Jadi pertanyaannya sekarang: seandainya Prabowo berhasil meraih kursi RI 1, bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar presiden?
Penulis adalah pengarang Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, Yogyakarta, 2006). Ia dapat dihubungi di georgejunusaditjondro@gmail.com
Sumber : http://www.rullysyumanda.org/Politick-Trick/menyongsong-era-soeharto-babak-dua.html
Rabu, 04 Maret 2009
Vegetarian; Bukan Sekedar Gaya Hidup (Bagian 1)
Pada era modern sekarang ini semakin banyak saja penyakit yang ditemukan. Sejalan dengan meningkatnya angka kematian akibat beberapa penyakit modern, seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah, kanker, kegemukan, hipertensi, stress, dan hiperkolesterolemia, pola hidup sehat dengan vegetarian merupakan pilihan yang tepat.
Memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian tidak mudah. Apalagi bagi mereka yang belum terlatih dan tidak mendapat dukungan dari keluarga. Seringkali masyarakat beranggapan bahwa vegetarian akan menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai vegetarian. Anemia yang sering dikaitkan dengan vegetarian adalah anemia defisiensi zat besi (Fe).
Nah, Apa sih Anemia itu?
Anemia, atau yang lebih kita kenal dengan penyakit kurang darah, adalah bila kadar hemoglobin darah kurang dari 12 g/dL dan hematokrit kurang dari 35 cL/L. Data WHO menyebutkan kurang lebih dua miliar penduduk dunia terkena anemia. Tanda-tanda anemia antara lain : kulit pucat, rasa lelah, nafas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala bagian depan. Namun, terkadang tidak ada keluhan bila pasien mengalami anemia ringan. Oleh sebab itu tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus anemia di dunia.
Vegetarian itu gimana ya?
Vegetarian mempunyai dua pengertian, yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, berarti orang yang berpantang makan daging, tetapi hanya makan sayur-sayuran dan bahan makanan nabati lainnya. Sebagai kata sifat, vegetarian berarti tidak mengandung daging atau kebiasaan berpantang daging.
Ada beberapa kelompok vegetarian :
1. Vegetarian Vegan
Merupakan kelompok vegetarian murni, karena tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan, seperti daging, telur, dan susu.
2. Vegetarian Lacto
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi susu dan hasil olahannya seperti: keju, mentega, dan yoghurt.
3. Vegetarian Lacto-ovo
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi telur, susu, dan hasil olahannya.
4. Vegetarian Pesco
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi makanan dari ikan, baik ikan air laut maupun ikan air tawar.
5. Vegetarian Fluctarian
Merupakan kelompok vegetarian yang hanya pantang makan daging berwarna merah.
Banyak sekali pendapat mengenai gaya hidup vegetarian ini, terutama mengenai kelompok vegetarian yang manakah yang baik untuk kesehatan dan tidak menyebabkan anemia? Tunggu artikel bagian kedua yang khusus membahas menganai pola makan vegetarian yang baik untuk kesehatan tanpa menyebabkan anemia!
Sumber : http://doktermartha.wordpress.com/2009/03/04/vegetarian-bukan-sekedar-gaya-hidup-bagian-1/
Memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian tidak mudah. Apalagi bagi mereka yang belum terlatih dan tidak mendapat dukungan dari keluarga. Seringkali masyarakat beranggapan bahwa vegetarian akan menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai vegetarian. Anemia yang sering dikaitkan dengan vegetarian adalah anemia defisiensi zat besi (Fe).
Nah, Apa sih Anemia itu?
Anemia, atau yang lebih kita kenal dengan penyakit kurang darah, adalah bila kadar hemoglobin darah kurang dari 12 g/dL dan hematokrit kurang dari 35 cL/L. Data WHO menyebutkan kurang lebih dua miliar penduduk dunia terkena anemia. Tanda-tanda anemia antara lain : kulit pucat, rasa lelah, nafas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala bagian depan. Namun, terkadang tidak ada keluhan bila pasien mengalami anemia ringan. Oleh sebab itu tidak ada data yang pasti mengenai jumlah kasus anemia di dunia.
Vegetarian itu gimana ya?
Vegetarian mempunyai dua pengertian, yakni sebagai kata benda dan kata sifat. Sebagai kata benda, berarti orang yang berpantang makan daging, tetapi hanya makan sayur-sayuran dan bahan makanan nabati lainnya. Sebagai kata sifat, vegetarian berarti tidak mengandung daging atau kebiasaan berpantang daging.
Ada beberapa kelompok vegetarian :
1. Vegetarian Vegan
Merupakan kelompok vegetarian murni, karena tidak mengonsumsi makanan yang berasal dari hewan, seperti daging, telur, dan susu.
2. Vegetarian Lacto
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi susu dan hasil olahannya seperti: keju, mentega, dan yoghurt.
3. Vegetarian Lacto-ovo
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi telur, susu, dan hasil olahannya.
4. Vegetarian Pesco
Merupakan kelompok vegetarian yang masih mengonsumsi makanan dari ikan, baik ikan air laut maupun ikan air tawar.
5. Vegetarian Fluctarian
Merupakan kelompok vegetarian yang hanya pantang makan daging berwarna merah.
Banyak sekali pendapat mengenai gaya hidup vegetarian ini, terutama mengenai kelompok vegetarian yang manakah yang baik untuk kesehatan dan tidak menyebabkan anemia? Tunggu artikel bagian kedua yang khusus membahas menganai pola makan vegetarian yang baik untuk kesehatan tanpa menyebabkan anemia!
Sumber : http://doktermartha.wordpress.com/2009/03/04/vegetarian-bukan-sekedar-gaya-hidup-bagian-1/
Minggu, 01 Maret 2009
Buddha Bar, Tak Cukup Perubahan Nama: Adakah Penyimpangan di Sana?
Keberadaan Buddha Bar yang terletak di Jl Teuku Umar No 1 Kecamatan Menteng Jakarta Pusat terus menuai protes dari kalangan generasi muda umat buddha. Penamaan Buddha Bar serta keberadaan Patung Buddha yang dijadikan assesoris didalam Waralaba ini dianggap melecehkan simbol agama Buddha yang selama ini disakralkan. Gelombang protes yang terus berlangsung tak urung menjadi wacana publik yang lebih luas. Nama-nama pemilik Buddha Bar mulai terkuak ke permukaan, beberapa diantaranya adalah Reni Sutiyoso dan Puan Maharani yang diindikasikan sebagai salah satu pemegang sahamnya.
Belakangan Anggota DPR maupun pejabat DKI Jakarta urun rembuk untuk mengatasi persoalan tersebut. Nampaknya pergantian nama bisnis waralaba ini akan diambil untuk mengatasi agar polemik tidak berkempanjangan.
Pertanyaanya, apakah polemik Buddha Bar hanya sebatas penamaan dan simbol-simbol religi agama tertentu ? atau ada hal penting lain yang patut dipertanyakan terkait status kepemilikan dan kemanfaatan gedung dijalan Teuku Umar No 1 tersebut.
Secara historis Gedung yang sekarang bernama Buddha Bar dahulunya merupakan gedung ex Kantor Imigrasi. Gedung ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).
Gedung yang kemudian dikenal sebagai Bataviasche Kunstkring ini pernah dijadikan sebagai tempat karya perupa dunia seperti Picasso dan Vincent Van Gogh. Atas dasar nilai historis ini kemudian Mantan Gubernur Suryadi Soedirja mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 475 tahun 1993 yang menetapkan Gedung Kantor Imigrasi atau Bataviasche Kunstkring sebagai salah satu bangunan bersejarah di daerah khusus ibukota Jakarta sebagai benda cagar budaya (Lampiran Keputusan Gubernur, Daftar Bagunan Cagar Budaya Nomor 37).
Menurut penelusuran ICW, ketika terjadi pengambilalihan kantor Imigrasi (Bataviasche Kunstkring) dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tahun 2001, Pemda DKI Jakarta mengusulkan tambahan biaya pada pos proyek inventarisasi aset daerah dari 1 Miliar menjadi 30 Miliar (Kompas.com, 13/9/2001). Dana sebesar itu akan digunakan untuk melindungi gedung kantor imigrasi yang dianggap yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Sebagai gedung cagar budaya dengan nilai historis tinggi serta besarnya dana yang diperkirakan telah dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk melestarikan gedung tersebut, maka menjadi pertanyaan besar mengapa kemudian beralih kepemilikannya menjadi sektor swasta yang bernuansa bisnis semata.
Menurut Pasal 19 ayat 2(b) UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya dijelaskan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya tidak dapat dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Kemudian dalam konteks kepariwisataan, pemanfaatan peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya menurut pasal 6 UU No 9 tahun 1990, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan hal itu maka perdebatan Buddha Bar seharusnya bukan hanya sebatas penamaaan, lebih dari itu adalah mengenai pengalihan status gedung bernilai sejarah menjadi gedung bernuansa bisnis waralaba. Apakah benda/gedung Cagar Budaya bisa dialihkan untuk kepentingan pribadi ? Apakah tidak ada penyimpangan dalam kasus pengalihan gedung Cagar Budaya (BUDHA BAR) kepada pihak swasta?
Pemerintah DKI Jakarta harus menjelaskan kepada publik mekanisme dan prosedur pengalihan tersebut, menjelaskan tidak adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengalihan status kepemilikan serta menjelaskan transparansi dana-dana APBD yang telah dikeluarkan dalam melindungi gedung ex kantor imigrasi (Bataviasche Kunstkring) selama ini. Pada sisi lain aparat penegak hukum (Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan pemeriksaan jika terdapat dugaan penyimpangan dalam proses pengalihan asset budaya yang harus dilindungi tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi
Agus Sunaryanto
Kepala Div. Investigasi dan Informasi Publik
Indonesia Corruption Watch
Website : www.antikorupsi.org
E-mail : agus@antikorupsi.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Hp : 0812 857 6873
Sumber : http://antikorupsi.org, Kamis, 12 Maret 2009
Belakangan Anggota DPR maupun pejabat DKI Jakarta urun rembuk untuk mengatasi persoalan tersebut. Nampaknya pergantian nama bisnis waralaba ini akan diambil untuk mengatasi agar polemik tidak berkempanjangan.
Pertanyaanya, apakah polemik Buddha Bar hanya sebatas penamaan dan simbol-simbol religi agama tertentu ? atau ada hal penting lain yang patut dipertanyakan terkait status kepemilikan dan kemanfaatan gedung dijalan Teuku Umar No 1 tersebut.
Secara historis Gedung yang sekarang bernama Buddha Bar dahulunya merupakan gedung ex Kantor Imigrasi. Gedung ini dibangun pada tahun 1913 oleh arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Semula digunakan sebagai gedung Lingkaran Seni Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indische Kunstkring).
Gedung yang kemudian dikenal sebagai Bataviasche Kunstkring ini pernah dijadikan sebagai tempat karya perupa dunia seperti Picasso dan Vincent Van Gogh. Atas dasar nilai historis ini kemudian Mantan Gubernur Suryadi Soedirja mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 475 tahun 1993 yang menetapkan Gedung Kantor Imigrasi atau Bataviasche Kunstkring sebagai salah satu bangunan bersejarah di daerah khusus ibukota Jakarta sebagai benda cagar budaya (Lampiran Keputusan Gubernur, Daftar Bagunan Cagar Budaya Nomor 37).
Menurut penelusuran ICW, ketika terjadi pengambilalihan kantor Imigrasi (Bataviasche Kunstkring) dari Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia tahun 2001, Pemda DKI Jakarta mengusulkan tambahan biaya pada pos proyek inventarisasi aset daerah dari 1 Miliar menjadi 30 Miliar (Kompas.com, 13/9/2001). Dana sebesar itu akan digunakan untuk melindungi gedung kantor imigrasi yang dianggap yang memiliki nilai sejarah tinggi.
Sebagai gedung cagar budaya dengan nilai historis tinggi serta besarnya dana yang diperkirakan telah dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk melestarikan gedung tersebut, maka menjadi pertanyaan besar mengapa kemudian beralih kepemilikannya menjadi sektor swasta yang bernuansa bisnis semata.
Menurut Pasal 19 ayat 2(b) UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya dijelaskan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya tidak dapat dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Kemudian dalam konteks kepariwisataan, pemanfaatan peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya menurut pasal 6 UU No 9 tahun 1990, harus memperhatikan nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan hal itu maka perdebatan Buddha Bar seharusnya bukan hanya sebatas penamaaan, lebih dari itu adalah mengenai pengalihan status gedung bernilai sejarah menjadi gedung bernuansa bisnis waralaba. Apakah benda/gedung Cagar Budaya bisa dialihkan untuk kepentingan pribadi ? Apakah tidak ada penyimpangan dalam kasus pengalihan gedung Cagar Budaya (BUDHA BAR) kepada pihak swasta?
Pemerintah DKI Jakarta harus menjelaskan kepada publik mekanisme dan prosedur pengalihan tersebut, menjelaskan tidak adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dalam pengalihan status kepemilikan serta menjelaskan transparansi dana-dana APBD yang telah dikeluarkan dalam melindungi gedung ex kantor imigrasi (Bataviasche Kunstkring) selama ini. Pada sisi lain aparat penegak hukum (Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu melakukan pemeriksaan jika terdapat dugaan penyimpangan dalam proses pengalihan asset budaya yang harus dilindungi tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut silahkan menghubungi
Agus Sunaryanto
Kepala Div. Investigasi dan Informasi Publik
Indonesia Corruption Watch
Website : www.antikorupsi.org
E-mail : agus@antikorupsi.orgAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
Hp : 0812 857 6873
Sumber : http://antikorupsi.org, Kamis, 12 Maret 2009
Langganan:
Postingan (Atom)