Andil Megawati Soekarnoputri Terhadap Bencana Lumpur Lapindo
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, lahir UU Migas No 22 tahun 2001. Inilah langkah awal dari lemahnya fungsi kontrol pemerintah terhadap industri migas termasuk PT. Lapindo Brantas. Lemahnya kontrol pemerintah ini pula yang memberikan andil terhadap berlarut-larutnya penyelesaian kasus Lapindo secara lebih adil.
Dengan UU Migas No 22/2001 tersebut, membuat BP Migas tidak berdaya dalam mengawasi prosedur pengeboran Lapindo, termasuk prihal pemasangan casing dalam proses pengeboran.
Penerapan UU Migas No 22/2001, mengakibatkan proses pencarian informasi untuk mengungkap kejadian sebenarnya dari semburan lumpur menjadi terhalang. Karena dalam UU tersebut, memang diatur dan dijamin soal kerahasiaan data dan informasi seputar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Akibatnya hingga kini, penyelidikan kasus lumpur Lapindo oleh kepolisian tidak kunjung tuntas.
Andil SBY dan Kalla Terhadap Bencana Lumpur Lapindo
Di berbagai media massa, Jusuf Kalla mengakui bahwa mantan petinggi Group Bakrie, Aburizal Bakrie merupakan salah satu penyumbang dana pasangan SBY-JK dalam pemilu 2004 silam.
Dua tahun setelah pemilu 2004, tepatnya bulan Mei 2006, semburan lumpur panas menengelamkan kawasan Porong, Sidoarjo. Mayoritas pakar geologi dunia menilai bahwa semburan lumpur diakibatkan oleh aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo, salah satu bagian dari Group Bakrie.
SBY-JK mengawali tonggak penyelesaian kasus ini melalui Perpres Nomor 14 Tahun 2007, yang mengarahkan korban diperlakukan sebagai mitra jual beli lahan dan bangunan. Melenceng jauh dari pemenuhan dan pemulihan hak-hak korban, mulai hak atas perumahan, kesehatan, pendidikan dan lingkungan yang sehat dan lainnya.
Sementara kerugian berupa meningkatnya biaya kesehatan akibat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh semburan lumpur diabaikan secara legal.
Meskipun Perpres 14/2007 itu merugikan korban lumpur dan menguntungkan posisi Lapindo, Pemerintahan SBY – JK tidak berhenti untuk memberikan keringanan terhadap Lapindo. Pada bulan Desember 2008 misalnya, telah muncul kesepakatan antara korban lumpur dan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) di Istana Presiden yang berisi pemberian keringanan terhadap Lapindo untuk kembali mencicil sisa uang jual beli aset korban lumpur per bulan per keluarga sebesar Rp 30 juta.
Sayangnya kesepakatan itu kembali diingkari oleh PT MLJ. Alih-alih menghukum PT MLJ karena telah mengingkari kesepakatan. Pemerintahan SBY-JK lagi-lagi memeberi keringanan terhadap PT MLJ untuk menyelesaikan proses jual beli asset di luar ketentuan Perpres 14/2007 yang telah dibuat sendiri oleh Presiden SBY sebelumnya.
Pada bulan Februari 2009 pemerintahan SBY-JK kembali memberikan keringanan kepada PT MLJ untuk menyelesaikan proses jual beli asset korban lumpur dengan cara mencicilnya sebesar Rp. 15 juta per bulan. Padahal pemberian keringanan yang bertubi-tubi itu kepada PT MLJ itu berarti menambah panjang penderitaan korban lumpur.
Dari rekam jejak SBY dan Kalla selama berkuasa dalam menyelesaikan persoalan lumpur Lapindo, apakah kita masih yakin bila salah satu diantara mereka bertiga menjadi presiden, akan mampu menyelesaikan persoalan lumpur Lapindo secara lebih adil?
Source :
http://tragedilapindo.wordpress.com/2009/05/25/bercak-lumpur-lapindo-di-tubuh-sby-dan-kalla/
http://tragedilapindo.wordpress.com/2009/05/26/megawati-pun-terciprat-lumpur-lapindo/
1 komentar:
ah aku tidak
Posting Komentar