Jumat, 03 April 2009

Wewenang Kejaksaan Awasi Aliran Kepercayaan Harus Dicabut

Kegiatan pengawasan aliran kepercayaan tidak hanya dilaksanakan oleh instansi Kejaksaan.

The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) meminta kewenangan Kejaksaan mengawasi aliran kepercayaan dalam masyarakat harus ditinjau ulang. Ini membawa konsekuensi pada pencabutan atas pasal 30 ayat (3) huruf d dan e UU Kejaksaan. Selain karena tidak sejalan dengan fungsi utama Kejaksaan, kewenangan tersebut bisa dijalankan oleh instansi lain. “Kewenangan Kejaksaan mengawasi aliran kepercayaan harus dicabut,” Uli Parulian Sihombing, Direktur Eksekutif ILRC.

Pasal 30 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2004 memberikan wewenang bagi Kejaksaan dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, antara lain mengawasi aliran kepercayaan. Menurut Uli, fungsi ketertiban dan ketenteraman umum bukan merupakan tugas Kejaksaan. Kalau terjadi gangguan terhadap ketertiban dan ketenteraman, polisilah yang harus bertindak.

Pada hakekatnya aliran kepercayaan bukanlah gangguan terhadap ketertiban dan ketenteraman. Sebelum agama-agama resmi yang diakui negara datang ke Indonesia, masyarakat sudah memiliki kepercayaan dan penghayatan tersendiri. Karena itu pula Uli menganggap Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) yang dikoordinir Kejaksaan tumpang tindih dengan fungsi dan kewenangan yang sesungguhnya sudah dimiliki instansi lain. Kepolisian sudah menjalankan fungsi ketertiban secara preventif represif, dan Departemen Agama menjalankan fungsi pembinaan.

Dengan dasar itu, kata Uli, Keputusan Jaksa Agung No. 004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat menjadi tidak relevan. Saat meluncurkan buku Menggugat Bakor Pakem, Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia di Jakarta dua pekan lalu, Uli juga mengungkit tuntutan yang sama. Menurut dia, eksistensi Pakem erat kaitannya dengan langgengnya praktik diskriminasi sistematis terhadap aliran kepercayaan di Indonesia.

Rekomendasi ILRC tampaknya tidak akan segampang membalik telapak tangan. Kasubdit Pakem dan Keagamaan Kejaksaan Agung, A. Syaifuddin mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan Kejaksaan bukan tanpa dasar dan pijakan hukum. Secara formal, tugas itu dibebankan kepada Kejaksaan.

Tetapi patut dicatat bahwa Pasal 30 ayat (3) UU Kejaksaan yang dikritik Uli menggunakan frase ‘turut menyelenggarakan’. Artinya, dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan tidak jalan sendiri. Pengawasan aliran kepercayaan melibatkan dan berkoordinasi dengan lembaga lain. Selain Kejaksaan, yang masuk ke dalam tim koordinasi tadi adalah Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Polri, TNI dan Badan Intelijen Negara. “Kegiatan pengawasan tersebut tidak dilakukan oleh Kejaksaan sendiri,” ujarnya kala peluncuran buku tadi.

Syaifuddin menambahkan tindakan pengawasan yang dilakukan Pemerintah—dalam hal ini Kejaksaan—sama sekali bukanlah intervensi terhadap keyakinan seseorang. “Pemerintah ingin mengatur serta menjaga supaya keamanan masyarakat tetap terjaga dan ketertiban umum tidak terganggu,” jelasnya.

Pengawasan yang dilaksanakan Kejaksaan Agung selama ini meliputi bidang keagamaan dan aliran kepercayaan. Pada aliran kepercayaan, yang diawasi Kejaksaan antara lain adalah konflik antar intern penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konflik antar penganut aliran kepercayaan, aktivitas aliran yang telah dibubarkan, dan aliran kepercayaan yang berasal dari luar negeri.
(Mys)

Sumber : http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=21633&cl=Berita

Tidak ada komentar:

Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan - AntiKorupsi.org