JAKARTA, SABTU – Setiap tahun lebih 3.000 kapal ikan asal Thailand melakukan kegiatan illegal fishing di kawasan laut Indonesia. Akibat kegiatan tersebut, Indonesia kehilangan pendapatan sekitar 3 miliar sampai 6 miliar dollar AS per tahun. Akumulasi selama 30 tahun terakhir kerugian yang dialami Indonesia sekitar 209 miliar dollar AS.
Kenyataan itu dikemukakan Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan, Victor PH Nikijuluw, pada peluncuran bukunya berjudul Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (penerbit Cidesindo, Mei 2008) di Gedung KOI, Jakarta, Sabtu (17/5).
Hadir pemberi pengantar buku tersebut Adhyaksa Dault, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, yang juga ahli teknologi kelautan lulusan IPB. Victor menjelaskan, perikanan IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) ibarat virus yang perlahan-lahan melumpuhkan dan mematikan industri perikanan Indonesia. Jika Indonesia sebagai bangsa tidak melakukan aksi nyata untuk mencegahnya, industri perikanan kita akan mati dibuatnya. Nelayan akan kehilangan kesempatan berusaha dan bekerja.
“Industri pengolahan perikanan yang sudah sekarat saat ini akan mati dan sulit bangkit kembali. Perdagangan dan jasa perikanan akan lenyap. Karena itu masalah perikanan IUU ini perlu dipikirkan, dibahas, dan menjadi perhatian orang banyak. Bangsa ini harus serius memperhatikan masalah ini,” jelasnya.
Dari sudut keamanan negara, perikanan IUU hampir 100 persen dilakukan oleh pihak asing. Itu berarti, kehadiran mereka di dalam wilayah negara secara tidak sah adalah potensi bahaya bagi keamanan dan pertahanan negara. Dari segi ekonomi, kerugian negara cukup besar antara Rp 27 triliun sampai Rp 54 triliun per tahun. Nilainya setara dengan sekitar 3,5 persen hingga 7,0 persen dari APBN 2007 yang bernilai Rp 763 triliun. Nilai kerugian negara ini pun jauh mengungguli anggaran belanja DKP pada tahun 2007 yang berjumlah sekitar Rp 3 triliun.
Menurut Victor, nilai kerugian ini sebanding persis dengan subsidi BBM sebesar Rp 54,3 triliun pada 2006. Demikian juga, melebihi pendapatan negara yang berasal dari pertambangan Freeport di Papua yang hanya sekitar Rp 15,4 triliun pada tahun 2005.
Untuk melawan perikanan IUU, perikanan rakyat harus lebih dikembangkan, dengan menyediakan 1.000 kapal berskala di atas 100 GT. Mengembangan industri perikanan terpadu, kerja sama internasional, regionalisasi pengelolaan sumber daya, perbaikan sistem perizinan, pengembangan sistem pengawasan, dan pengembangan sistem peradilan perikanan.
Victor yang juga dosen program pascasarjana di IPB dan Universitas Pattimura, juga menekankan pentingnya diwujudkan perikanan LRR (legal, reported, regulated), sebagai kontra perikanan IUU. “Jika perikanan LRR tidak diwujudkan, suatu saat nanti, sekitar tahun 2050, sumber daya ikan dunia akan punah. Tidak ada lagi stok dan populasi ikan di laut yang dapat diandalkan manusia untuk menopang hidupnya,” ungkapnya.
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/tag/ilegal-fishing/
Waspadai pengaruh Barat,Timur Tengah, dan Asia Timur
Sudah saatnya kita menggali kembali EKSISTENSI BUDAYA BANGSA KITA SENDIRI
Kearifan Lokal Leluhur Nusantara, Bukan Leluhur Barat, Bukan Leluhur Timur Tengah dan Bukan Leluhur Asia Timur
Barat Menipu Berkedok HAM, Timur Tengah Menipu Berkedok Agama, Asia Timur Menipu Berkedok Dagang
Sabtu, 17 Mei 2008
Rp 40 Triliun Hilang dari Laut, Generasi Muda Mesti Peduli
JAKARTA, SABTU - Demi harga diri, harkat, dan martabat bangsa Indonesia, perikanan IUU (illegal, unreported, inregulated) di perairan Indonesia harus dilawan. Penyusupan nelayan asing harus dicegah. Penjarahan sumber ekonomi rakyat harus dihentikan. Perusakan sumber daya ikan harus diakhiri karena setiap tahun Indonesia kehilangan pendapatan dari laut Rp 40 triliun akibat illegal fishing.
Penegasan itu disampaikan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault pada peluncuran buku Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (penerbit Cidesindo, Mei 2008) yang ditulis Dr Ir Victor PH Nikijuluw MSc, Sabtu (17/5) di Jakarta. Victor PH Nikijuluw (48) adalah staf pengajar di program pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Pattimura. Peneliti yang telah menulis l00 lebih artikel ilmiah di berbagai jurnal nasional dan internasional ini sekarang menjabat Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan.
Adhyaksa Dault yang juga ahli teknologi kelautan, lulusan program doktor IPB, mengatakan, betapa besar kerugian yang dialami Indonesia karena kita kurang peduli dan perhatian pada laut. Angka Rp 40 triliun ini penting diketahui generasi muda agar tumbuh kesadaran dan ke depan lebih peduli dengan masalah kelautan.
Adhyaksa mengatakan, ketika heboh masalah Ambalat, ada sekelompok pemuda yang datang ke Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Mereka menyatakan siap berjuang mempertahankan Ambalat. Sikap ini dipuji, tapi mereka tidak tahu bahwa Ambalat itu kawasan laut, bukan pulau. “Berenang saja tidak bisa, bagaimana pertahankan laut,” ujarnya.
Adhyaksa menjelaskan, masa depan Indonesia sebenarnya ada di laut. Indonesia dilimpahi Tuhan dengan sumber daya laut yang luas. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, dengan lebih dari 17.000 pulau, 81.000 kilometer garis pantai, berbagai organisme laut, serta berbagai jenis ikan yang potensi lestarinya diperkirakan lebih dari 6 juta ton per tahun.
“Ini merupakan fakta ciptaan sekaligus suratan takdir bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, sebagai bangsa yang seharusnya dapat memanfaatkan dan mengandalkan sumber daya kelautan, khususnya sumber daya ikan, bagi kesejahteraan rakyatnya,” tandasnya. Indonesia punya potensi ikan tuna, udang, rumput laut, ikan hias, yang apabila dimanfaatkan akan mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit. Di balik itu, investasi mesti terus dilakukan.
Jika Departemen Kehutanan mendapatkan anggaran Rp 8 triliun, seharusnya besaran yang sama bisa didapatkan Departemen Kkelautan dan Perikannaan. Selama ini, lanjut Adhyaksa, kita anggap laut sebagai tempat buangan. Padahal, di situlah masa depan Indonesia. Laut menyimpan banyak kekayaan yang belum diolah. Di darat, potensi kehutanan sudah habis, dieksploitasi besar-besaran. Sementara laut belum.
Menurut Mennegpora, jika potensi sumber daya kelautan ini bisa dioptimalkan pemanfaatan dan produksinya, Indonesia tak perlu lagi mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Martabat bangsa Indonesia bisa lebih baik. Generasi muda harus punya semangat dan kemauan yang kuat untuk menghentikan praktik illegal fishing. Harus punya hati nurani yang pro pada kehidupan rakyat. Generasi muda harus memiliki komitmen bersama untuk menjaga persada ini. “Buku ini telah menyadarkan kita bahwa laut memiliki potensi sangat besar. Menyadarkan kita tentang penyusupan dan penjarahan bukan saja di halaman rumah kita, tetapi sudah masuk hingga ke dalam rumah kita,” papar Adhyaksa. Karena itu, untuk sosialisasi, Adhyaksa akan mengirimkan buku ini kepada para bupati/wali kota di daerah pesisir.
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/tag/ilegal-fishing/
Penegasan itu disampaikan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault pada peluncuran buku Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (penerbit Cidesindo, Mei 2008) yang ditulis Dr Ir Victor PH Nikijuluw MSc, Sabtu (17/5) di Jakarta. Victor PH Nikijuluw (48) adalah staf pengajar di program pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Pattimura. Peneliti yang telah menulis l00 lebih artikel ilmiah di berbagai jurnal nasional dan internasional ini sekarang menjabat Kepala Pusat Riset Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan.
Adhyaksa Dault yang juga ahli teknologi kelautan, lulusan program doktor IPB, mengatakan, betapa besar kerugian yang dialami Indonesia karena kita kurang peduli dan perhatian pada laut. Angka Rp 40 triliun ini penting diketahui generasi muda agar tumbuh kesadaran dan ke depan lebih peduli dengan masalah kelautan.
Adhyaksa mengatakan, ketika heboh masalah Ambalat, ada sekelompok pemuda yang datang ke Kantor Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Mereka menyatakan siap berjuang mempertahankan Ambalat. Sikap ini dipuji, tapi mereka tidak tahu bahwa Ambalat itu kawasan laut, bukan pulau. “Berenang saja tidak bisa, bagaimana pertahankan laut,” ujarnya.
Adhyaksa menjelaskan, masa depan Indonesia sebenarnya ada di laut. Indonesia dilimpahi Tuhan dengan sumber daya laut yang luas. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, dengan lebih dari 17.000 pulau, 81.000 kilometer garis pantai, berbagai organisme laut, serta berbagai jenis ikan yang potensi lestarinya diperkirakan lebih dari 6 juta ton per tahun.
“Ini merupakan fakta ciptaan sekaligus suratan takdir bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, sebagai bangsa yang seharusnya dapat memanfaatkan dan mengandalkan sumber daya kelautan, khususnya sumber daya ikan, bagi kesejahteraan rakyatnya,” tandasnya. Indonesia punya potensi ikan tuna, udang, rumput laut, ikan hias, yang apabila dimanfaatkan akan mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit. Di balik itu, investasi mesti terus dilakukan.
Jika Departemen Kehutanan mendapatkan anggaran Rp 8 triliun, seharusnya besaran yang sama bisa didapatkan Departemen Kkelautan dan Perikannaan. Selama ini, lanjut Adhyaksa, kita anggap laut sebagai tempat buangan. Padahal, di situlah masa depan Indonesia. Laut menyimpan banyak kekayaan yang belum diolah. Di darat, potensi kehutanan sudah habis, dieksploitasi besar-besaran. Sementara laut belum.
Menurut Mennegpora, jika potensi sumber daya kelautan ini bisa dioptimalkan pemanfaatan dan produksinya, Indonesia tak perlu lagi mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Martabat bangsa Indonesia bisa lebih baik. Generasi muda harus punya semangat dan kemauan yang kuat untuk menghentikan praktik illegal fishing. Harus punya hati nurani yang pro pada kehidupan rakyat. Generasi muda harus memiliki komitmen bersama untuk menjaga persada ini. “Buku ini telah menyadarkan kita bahwa laut memiliki potensi sangat besar. Menyadarkan kita tentang penyusupan dan penjarahan bukan saja di halaman rumah kita, tetapi sudah masuk hingga ke dalam rumah kita,” papar Adhyaksa. Karena itu, untuk sosialisasi, Adhyaksa akan mengirimkan buku ini kepada para bupati/wali kota di daerah pesisir.
Sumber : http://ikanmania.wordpress.com/tag/ilegal-fishing/
Selasa, 06 Mei 2008
TKW Diperkosa di Arab Saudi Malah Terancam Hukuman Rajam
Kapanlagi.com - Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal dusun Pakem, RT-01 RW-03, Desa Wringintelu, Kecamatan Puger, Jember, Jawa Timur, Nursiyati (38), telah diperkosa hingga hamil, namun korban justru terancam hukuman rajam 2.000 kali yang akan dijalaninya selama dua tahun.
"Korban sudah menjalani masa tahanan selama satu tahun dan tinggal menunggu putusan mahkamah, tapi bila tidak ditangani dengan serius maka korban tidak akan diputus hukumannya," kata Ketua DPW Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jatim, Cholily di Surabaya, Selasa.
Menurut dia, putusan mahkamah akan segera dapat diketahui bila ada pendampingan hukum dari KJRI Jeddah. Karena itu, SBMI Jatim mendesak pemerintah memberikan bantuan layanan pendampingan hukum untuk pembebasan dan menjamin hak-hak korban atas gaji dan asuransi.
"DPC SBMI Jember sudah mengadukan kasus itu kepada Disnakertrans Jember melalui surat nomer 11/Srt.P/SBMI/IV/2008 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditanda tangani Wagiman (suami korban) dan Ahmad Mufri (koordinator advokasi dan fasilitasi SBMI Jember)," katanya.
Oleh karena itu, SBMI Jatim mengecam tindakan pemerintah Arab Saudi yang tidak melihat terhadap history kejadian perkara dan tidak memberikan perlindungan kepada korban.
Selain itu, mendesak pemerintah pusat melalui Dirjen Perlindungan WNI di LN Deplu dan BNP2TKI untuk memberikan layanan pendampingan hukum, karena korban selama ini tak mendapatkan pembelaan.
"Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk memberi peringatan keras kepada PT Andromeda Graha, Malang, Jawa Timur, termasuk mencabut izin operasi, karena sudah dua korban dalam rentang waktu yang nisbi singkat dalam menempatkan TKI di LN dalam kondisi bermasalah," katanya menegaskan.
SMBI Jatim juga mendesak pemerintah Jember untuk melakukan tindakan kepada PPTKIS (PT Andromeda Graha) dengan mencabut izin operasi dan melarang beroperasi di wilayah kabupaten Jember, tapi tetap harus menjamin pencairan klaim asuransi yang harus didapatkan korban.
"Kasus itu terungkap dari Sumiati yang kebetulan mengalami nasib serupa dengan korban yang juga ditangani SBMI DPC Jember," katanya.
Untuk kasus Nursiyati yang menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi itu, katanya, perekrut korban sebagai TKW adalah Misnan/Misngan dari Desa Tembokrejo, Kecamatan Umbulsari, Jember, kemudian diberangkatkan PT Andromeda Graha selaku PPTKIS milik Chalid Bajamal yang beralamat di Jalan dr Cipto 202 Bedali, Lawang, Malang.
Sementara suami korban, Wagiman menceritakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi pada April 2006, karena ajakan Misnan yang akhirnya mengantarkan ke PT Andromeda Graha di Malang pada Februari 2006, kemudian ditampung selama 1,5 tahun dan akhirnya berangkat pada April 2006.
"Istri saya bekerja di Arab Saudi sebagai PRT dan komunikasi dengan keluarga selama setahun pertama cukup lancar, bahkan istri saya sempat mengirim uang kepada kami sebesar Rp4.200.000 setelah lima bulan bekerja," katanya mengungkapkan.
Namun, sejak 1,5 tahun terakhir terjadi putus komunikasi hingga akhirnya menerima surat dari istri pada Februari 2008.
"Dalam surat itu, istri saya menceritakan bahwa dia sekarang dipenjara, dia dipenjara selama dua tahun dan sudah menjalani masa tahanan selama setahun. Dalam surat itu, istri saya tidak menceritakan secara jelas penyebab dirinya dipenjara," katanya.
Namun, dia menceritakan dalam suratnya bahwa dirinya sering diganggu/digoda dan sering mengalami pelecehan yang dilakukan keponakan majikan dan bahkan diperkosa hingga hamil.
"Kami sudah membalas suratnya pada 25 April 2008. Dalam surat balasan itu, kami menceritakan bahwa keluarga di Jember sangat berharap dia segera pulang dan kami juga menulis bahwa anaknya yang kedua sering sakit-sakitan," katanya. (*/cax)
Sumber : Selasa, 06 Mei 2008 13:54
"Korban sudah menjalani masa tahanan selama satu tahun dan tinggal menunggu putusan mahkamah, tapi bila tidak ditangani dengan serius maka korban tidak akan diputus hukumannya," kata Ketua DPW Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jatim, Cholily di Surabaya, Selasa.
Menurut dia, putusan mahkamah akan segera dapat diketahui bila ada pendampingan hukum dari KJRI Jeddah. Karena itu, SBMI Jatim mendesak pemerintah memberikan bantuan layanan pendampingan hukum untuk pembebasan dan menjamin hak-hak korban atas gaji dan asuransi.
"DPC SBMI Jember sudah mengadukan kasus itu kepada Disnakertrans Jember melalui surat nomer 11/Srt.P/SBMI/IV/2008 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditanda tangani Wagiman (suami korban) dan Ahmad Mufri (koordinator advokasi dan fasilitasi SBMI Jember)," katanya.
Oleh karena itu, SBMI Jatim mengecam tindakan pemerintah Arab Saudi yang tidak melihat terhadap history kejadian perkara dan tidak memberikan perlindungan kepada korban.
Selain itu, mendesak pemerintah pusat melalui Dirjen Perlindungan WNI di LN Deplu dan BNP2TKI untuk memberikan layanan pendampingan hukum, karena korban selama ini tak mendapatkan pembelaan.
"Kami juga mendesak pemerintah pusat untuk memberi peringatan keras kepada PT Andromeda Graha, Malang, Jawa Timur, termasuk mencabut izin operasi, karena sudah dua korban dalam rentang waktu yang nisbi singkat dalam menempatkan TKI di LN dalam kondisi bermasalah," katanya menegaskan.
SMBI Jatim juga mendesak pemerintah Jember untuk melakukan tindakan kepada PPTKIS (PT Andromeda Graha) dengan mencabut izin operasi dan melarang beroperasi di wilayah kabupaten Jember, tapi tetap harus menjamin pencairan klaim asuransi yang harus didapatkan korban.
"Kasus itu terungkap dari Sumiati yang kebetulan mengalami nasib serupa dengan korban yang juga ditangani SBMI DPC Jember," katanya.
Untuk kasus Nursiyati yang menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi itu, katanya, perekrut korban sebagai TKW adalah Misnan/Misngan dari Desa Tembokrejo, Kecamatan Umbulsari, Jember, kemudian diberangkatkan PT Andromeda Graha selaku PPTKIS milik Chalid Bajamal yang beralamat di Jalan dr Cipto 202 Bedali, Lawang, Malang.
Sementara suami korban, Wagiman menceritakan, istrinya berangkat ke Arab Saudi pada April 2006, karena ajakan Misnan yang akhirnya mengantarkan ke PT Andromeda Graha di Malang pada Februari 2006, kemudian ditampung selama 1,5 tahun dan akhirnya berangkat pada April 2006.
"Istri saya bekerja di Arab Saudi sebagai PRT dan komunikasi dengan keluarga selama setahun pertama cukup lancar, bahkan istri saya sempat mengirim uang kepada kami sebesar Rp4.200.000 setelah lima bulan bekerja," katanya mengungkapkan.
Namun, sejak 1,5 tahun terakhir terjadi putus komunikasi hingga akhirnya menerima surat dari istri pada Februari 2008.
"Dalam surat itu, istri saya menceritakan bahwa dia sekarang dipenjara, dia dipenjara selama dua tahun dan sudah menjalani masa tahanan selama setahun. Dalam surat itu, istri saya tidak menceritakan secara jelas penyebab dirinya dipenjara," katanya.
Namun, dia menceritakan dalam suratnya bahwa dirinya sering diganggu/digoda dan sering mengalami pelecehan yang dilakukan keponakan majikan dan bahkan diperkosa hingga hamil.
"Kami sudah membalas suratnya pada 25 April 2008. Dalam surat balasan itu, kami menceritakan bahwa keluarga di Jember sangat berharap dia segera pulang dan kami juga menulis bahwa anaknya yang kedua sering sakit-sakitan," katanya. (*/cax)
Sumber : Selasa, 06 Mei 2008 13:54
Label:
Arab Saudi,
Diperkosa,
Pahlawan Devisa
Langganan:
Postingan (Atom)