Industri pembuatan daging imitasi dari bahan nabati yang semakin kreatif belakangan ini tidak hanya terbatas pada hewan halal saja tapi juga berbagai jenis masakan rasa babi ala vegetarian.
Vegetarian kini tampaknya menjadi kata yang semakin populer di dunia termasuk di Indonesia. Di kota-kota besar dunia, restoran vegetarian sudah menjadi pilihan yang cukup mudah dicari. Di Indonesia pun restoran-restoran vegetarian meski belum banyak mulai bermunculan di kota-kota besar. Vegetarian juga merupakan salah satu pilihan menu yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan internasional.
Aliran vegetarian atau vegetarianisme merupakan suatu aliran dimana penganutnya tidak mengkonsumsi produk-produk hewani dan turunannya, hanya membatasi diri pada produk-produk nabati. Aliran ini sudah dipraktekkan di India sejak 2000 tahun sebelum Masehi sebagai bagian dari ritual agama Hindu. Sampai saat ini mayoritas pengikut aliran vegetarian didasarkan alasan keagamaan. Selain Hindu, agama yang juga mengajarkan vegetarianisme adalah Budha, Taoisme, Baha’i, Sikh, dan juga Jainisme.
Perkembangan vegetarianisme dewasa ini tidak hanya didasarkan pada ajaran agama, tetapi didasari berbagai motivasi yang berbeda. Ada yang memilih vegetarian karena alasan kesehatan, dimana dipercaya bahwa makanan nabati lebih menyehatkan dibandingkan makanan hewani. Selain itu ada sebagian orang yang memilih menjadi vegetarian karena alasan etika, karena memandang bahwa pembunuhan hewan merupakan perbuatan kejam yang harus dihindari. Motivasi lain yang mendasari adalah adanya kepercayaan bahwa konsumsi produk hewani dapat memberikan pengaruh sifat kehewanan kepada yang memakannya.
Jenis-Jenis vegetarian
Aliran vegetarian dapat dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan tingkat kekuatannya meninggalkan konsumsi produk hewani. Kelompok yang paling ekstrim tidak hanya meninggalkan produk hewani, tetapi hanya mau makan bagian tanaman yang dipanen tanpa merusak tanaman pokoknya, sehingga menolak makan kentang atau bayam karena cara memanennya harus mencabut seluruh tanamannya. Bahkan kelompok ini juga tidak mau menggunakan bahan asal hewan dalam bentuk apapun dalam kehidupan sehari-harinya. Sedangkan kelompok yang paling longgar, tapi masih dikategorikan vegetarian adalah yang masih mau mengkonsumsi jenis daging tertentu dan meninggalkan daging merah.
Beberapa contoh kelompok vegetarian yang umum ditemui adalah sebabagi berikut :
* Pesco/pollo Vegetarian (semi-vegetarian) adalah kelompok yang masih mengkonsumsi produk daging tertentu misalnya daging ayam dan ikan tapi meninggalkan kelompok daging merah.
* Lacto-ovo Vegetarian adalah kelompok yang masih mengkonsumsi telur dan produk susu dan menghindari segala jenis daging termasuk ikan. Kelompok yang mengkonsumsi susu tapi tidak mengkonsumsi telur disebut lacto-vegetarian, sedangkan yang mengkonsumsi telur tapi tidak mengkonsumsi susu disebut ovo-vegetarian.
* Vegan adalah kelompok yang meninggalkan sama sekali produk hewani dan turunannya, termasuk gelatin, keju, yogurt dan juga menghindari madu, royal-jeli dan produk turunan serangga. Sebagian penganut vegan menghindari penggunaan produk hewani seperti kulit hewan ataupun kosmetik yang mengandung produk hewani.
Menurut Wikipedia (2006) vegetarian di India sebagian besar terdiri dari kelompok lacto-vegetarian yang merupakan 70 persen dari populasi vegetarian dunia. Sedangkan di Barat vegetarianisme biasanya merupakan kelompok lacto-ovo vegetarian, meskipun kelompok vegan pun berkembang dengan cukup pesat.
Vegetarian vs halal
Bagi kaum Muslimin yang sedang berada dalam perjalanan atau di negeri non-Muslim, memilih makanan halal merupakan permasalahan yang umum ditemui. Dalam keadaan seperti ini, tampaknya makanan vegetarian merupakan solusi yang dapat memberikan jalan keluar.
Bila menelaah kriteria vegetarian, maka kelompok makanan penganut lacto-ovo vegetarian dan vegan merupakan kelompok yang aman ditinjau dari segi kehalalan karena sama sekali tidak membolehkan produk daging dan turunannya. Tapi ada satu hal yang perlu diperhatikan bahwa kelompok vegetarian apapun mengkonsumsi produk minuman beralkohol. Oleh karena itu jika mengkonsumsi makanan vegetarian yang dimasak, perlu dicermati apakah dalam pengolahannya menggunakan minuman beralkohol sebagai bumbu atau tidak.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketika memilih produk vegetarian dalam kemasan. Masih banyak industri makanan yang mengklaim produknya sebagai produk vegetarian, tetapi yang betul-betul diperhatikan sebagai vegetarian hanyalah bahan bakunya saja, sedangkan bahan tambahan yang digunakan seperti flavor atau pewarna mungkin masih mengandung produk hewani atau penggunaan enzim asal hewan.
Selain itu, industri pembuatan daging imitasi dari bahan nabati yang semakin kreatif belakangan ini tidak hanya terbatas pada hewan halal saja tapi juga berbagai jenis masakan rasa babi ala vegetarian. Meskipun bahan pembuatnya terbuat dari bahan-bahan halal, Komisi Fatwa MUI telah memutuskan untuk tidak memberikan fatwa halal untuk produk-produk tersebut dan memfatwakan kepada kaum Muslimin untuk menghindarinya karena dapat menyebabkan efek ‘cinta’ terhadap produk-produk haram.
Jadi, meskipun makanan vegetarian merupakan salah satu solusi bagi konsumen muslim jika berada di daerah yang sulit memperoleh makanan halal, ketelitian dalam memilih
Penulis : tri
REPUBLIKA - Jumat, 25 Agustus 2006
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/21496/Makanan_Vegetarian
Waspadai pengaruh Barat,Timur Tengah, dan Asia Timur
Sudah saatnya kita menggali kembali EKSISTENSI BUDAYA BANGSA KITA SENDIRI
Kearifan Lokal Leluhur Nusantara, Bukan Leluhur Barat, Bukan Leluhur Timur Tengah dan Bukan Leluhur Asia Timur
Barat Menipu Berkedok HAM, Timur Tengah Menipu Berkedok Agama, Asia Timur Menipu Berkedok Dagang
Jumat, 25 Agustus 2006
Senin, 14 Agustus 2006
Nasionalisme Ditinjau dari Akarnya
Indonesia adalah Negeri Majemuk Terbesar di Dunia
Achmad Fedyani Saifuddin
Kekhawatiran akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga menyajikan makalah.
Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah�yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara�penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa.
Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih.
Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.
Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa�suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan�maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.
Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan� tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya� segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Rasa kebangsaan
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris�meminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined Communities�merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.
Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu.
Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.
Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental�yakni keterikatan oleh prinsip politik�melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.
Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.
Nasionalisme baru
Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi.
Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman kita.
Nasionalisme kita adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 60 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.
Sebagai suatu konstruksi posteriori, maka nasionalisme harus dijaga, dipelihara, dan dijamin mampu menghadapi perubahan zaman. Selain itu, nasion sebagai suatu yang “imagined” adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup. Selama 60 tahun imajinasi itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan itu akan terwujud.
Namun, pertanyaan besar adalah seberapa lama dan kuat harapan-harapan itu bertahan? Bagaimanapun, harapan-harapan itu ingin disaksikan dalam wujudnya yang nyata oleh warga bangsa kita.
Apabila nasion adalah suatu yang “imagined”, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu sendiri, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam negara-bangsa ini semakin meningkat.
Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan.
Tantangan internal dan eksternal tersebut niscaya memengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila kita secara mantap dan konsisten berupaya keras untuk meminimalisasi�kalau tak mungkin menghilangkan�fenomena internal di atas sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain.
Barangkali ini adalah upaya yang jauh lebih keras dan berat dibandingkan bangsa-bangsa lain karena Indonesia adalah negeri majemuk terbesar di dunia. Sebagai bangsa majemuk terbesar, kita juga paling rentan perpecahan dan disintegrasi. Itulah sebabnya kita perlu memahami dan menyadari kondisi-kondisi dasar bangsa kita, antara lain, suku bangsa dan kesukubangsaan, sebelum kita berbicara tentang isu-isu lain, seperti nasionalisme sebagai prinsip politik.
Achmad Fedyani Saifuddin
Pengajar Departemen Antropologi UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia
Sumber : http://himpsijaya.org/2006/08/14/nasionalisme-ditinjau-dari-akarnya/
Achmad Fedyani Saifuddin
Kekhawatiran akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga menyajikan makalah.
Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah�yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara�penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa.
Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih.
Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.
Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa�suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan�maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.
Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan� tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya� segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Rasa kebangsaan
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris�meminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined Communities�merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.
Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu.
Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.
Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental�yakni keterikatan oleh prinsip politik�melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.
Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.
Nasionalisme baru
Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi.
Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman kita.
Nasionalisme kita adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 60 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.
Sebagai suatu konstruksi posteriori, maka nasionalisme harus dijaga, dipelihara, dan dijamin mampu menghadapi perubahan zaman. Selain itu, nasion sebagai suatu yang “imagined” adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup. Selama 60 tahun imajinasi itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan itu akan terwujud.
Namun, pertanyaan besar adalah seberapa lama dan kuat harapan-harapan itu bertahan? Bagaimanapun, harapan-harapan itu ingin disaksikan dalam wujudnya yang nyata oleh warga bangsa kita.
Apabila nasion adalah suatu yang “imagined”, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu sendiri, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam negara-bangsa ini semakin meningkat.
Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan.
Tantangan internal dan eksternal tersebut niscaya memengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila kita secara mantap dan konsisten berupaya keras untuk meminimalisasi�kalau tak mungkin menghilangkan�fenomena internal di atas sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain.
Barangkali ini adalah upaya yang jauh lebih keras dan berat dibandingkan bangsa-bangsa lain karena Indonesia adalah negeri majemuk terbesar di dunia. Sebagai bangsa majemuk terbesar, kita juga paling rentan perpecahan dan disintegrasi. Itulah sebabnya kita perlu memahami dan menyadari kondisi-kondisi dasar bangsa kita, antara lain, suku bangsa dan kesukubangsaan, sebelum kita berbicara tentang isu-isu lain, seperti nasionalisme sebagai prinsip politik.
Achmad Fedyani Saifuddin
Pengajar Departemen Antropologi UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia
Sumber : http://himpsijaya.org/2006/08/14/nasionalisme-ditinjau-dari-akarnya/
Langganan:
Postingan (Atom)