Minggu, 20 Januari 2008

Mengasihani Soeharto, Mengasingkan Soekarno

Oleh : Fransisca Ria Susanti

JAKARTA – Seorang perempuan muncul di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jakarta, awal 1990-an. Di tangannya, 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga. Ia ingin bertemu Kartono Mohammad (Ketua IDI saat itu). Tak banyak percakapan di antara mereka. Perempuan itu kemudian menghilang.

Jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping (dokter yang merawat mantan Presiden Soekarno) di Hong Kong. Dari Wu, Kartono tahu bahwa Soekarno “hanya” mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965. Ia sama sekali tak mengalami koma.
Penasaran dengan keterangan ini, sampai di Jakarta, ia menemui Mahar Mardjono. Ia meyakini satu-satunya dokter yang tahu banyak soal stroke saat itu hanya Mahar. Ia tak pernah menyangka bahwa Mahar tak hanya berkisah soal stroke itu, tapi juga rentetan kejadian yang membuatnya berkesimpulan bahwa ada pihak yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Kartono gelisah.
Bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono. Namun, Indonesia di awal 1990-an bukanlah negeri yang ramah. Kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Bundel buku itupun terpaksa teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun.
Hingga kemudian, krisis ekonomi Asia meledak. Rakyat turun ke jalan dan Soeharto dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kebenaran tiba-tiba muncul dalam banyak versi.
Kartono pun teringat onggokan bukunya. Ia bergegas ke RSPAD, institusi yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso, tempat di mana Soekarno dirawat dan meninggal sebagai pesakitan. Ia berharap dapat menemukan mereka. Ia ingin bangsa Indonesia bisa mendapatkan cerita lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno.
Namun menemukan Dina, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki file dari para perawat ini. Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Seoekarno pun gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Kartono, saat itu, tak yakin.
Hingga pekan lalu, di hadapan pers, Rachmawati Soekarnoputri berterus terang. Ia memiliki catatan medis Soekarno dari tahun 1967-1968. Mirip dengan kesimpulan Kartono, Rachmawati mengatakan bahwa Soekarno tak mendapat perawatan semestinya.
Medical record tersebut menyebut bahwa Soekarno mengalami gagal ginjal. Wu Jie Ping pun, kepada Kartono, mengatakan bahwa Soekarno menderita batu ginjal dan tekanan darah tinggi sebagai komplikasi.
Yang mengejutkan, kepada pers, Rachmawati mengatakan bahwa semua obat yang diberikan kepada Soekarno harus mendapat persetujuan Soeharto. Soeharto juga menolak keinginan keluarga agar Soekarno mendapat perawatan di luar negeri.
Pengakuan Rachmawati ini seolah membenarkan “kemarahan” Mahar Mardjono saat ia menemukan resep obat yang dibuatnya untuk Soekarno ternyata tetap tersimpan di laci seorang dokter di RSPAD. Kepada Kartono, Mahar mengaku bahwa penyimpanan resep ini dilakukan atas sebuah instruksi.
Dan dari catatan para perawat tersebut, Kartono menemukan bahwa tak ada dokter spesialis yang memeriksa Soekarno. Satu-satunya dokter yang datang adalah Sularyo, seorang dokter umum. Sementara itu, obat yang diberikan melulu vitamin (B12, B kompleks, dan royal jelly) serta Duvadillan yang merupakan obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer.
Tak ada obat untuk menurunkan tekanan darah Soekarno saat mencapai 170/100 dan tak ada pula obat untuk memperlancar kencing sewaktu terjadi pembengkakan. Dalam kondisi seperti inilah, Soekarno mengembuskan nafas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di bumi yang ia perjuangkan kemerdekaannya.

Tak Adil
Rachmawati berniat menyerahkan medical record ini ke pemerintah. Ia ingin menunjukkan fakta bahwa negeri ini tak cukup adil dalam memperlakukan mantan presiden.
Berpuluh tahun, Soekarno diperlakukan sebagai seorang pecundang dengan keberadaan Tap MPRS XXXIII/1967 yang mengaitkannya dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia tak pernah diadili, meski tap tersebut jelas-jelas menyebut bahwa perlu ditempuh jalur hukum untuk membuktikan tudingan ini.
Soeharto lebih memilih menyingkirkan Soekarno dengan mengasingkannya dan menjadikannya sebagai pesakitan. Tak pernah ada niat untuk membuktikan tudingannya di pengadilan.
Sebagai gantinya, Soekarno mendapat pengadilan lewat citraan (image) sepihak yang dirancang oleh media massa yang berada di bawah kendali kekuasaan, juga melalui kurikulum yang dipasokkan ke generasi pasca-1960-an. Berpuluh tahun, Soekarno menjadi momok. Ada suatu masa, di mana memasang gambarnya pun dicurigai sebagai makar.
Kini, saat publik ramai-ramai mempersoalkan pengadilan Soeharto—atas tudingan korupsi—mendadak nama Soekarno kembali disebut. Para pejabat negara beramai-ramai bicara soal pengampunan. Tak hanya untuk Soeharto, tapi juga bagi Soekarno. Mereka menyebutnya: rehabilitasi.
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut solusi ini semacam “sogok” untuk meredam kemarahan kaum Soekarnois saat belas kasihan yang ditunjukkan sejumlah pejabat negara kepada Soeharto tampak begitu berlebihan.
Namun rehabilitasi, menurut Asvi, hanya cocok untuk Soekarno yang selama puluhan tahun dituding berada di balik G30S. Sebuah tudingan yang kental dengan nuansa politis. Sementara tudingan yang diarahkan ke Soeharto menyangkut soal korupsi, penyalahgunaan uang rakyat, yang sama sekali tak berkaitan dengan tudingan politis.
Bagaimana mungkin “obat” yang diberikan untuk Soeharto disamakan dengan Soekarno?
Barangkali ada kekhawatiran bahwa tudingan kepada Soeharto akan merembet pada kasus lain, termasuk G30S yang ia tudingkan pada Soekarno dan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bawah kekuasaannya.
Jika toh ini terjadi, sebaiknya negeri ini belajar bersikap adil. Keadilan, menurut Asvi, tak hanya cukup dilihat dari “pengampunan” kepada Soekarno dan Soeharto, tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan mayoritas korban. Mereka yang kehilangan orang-orang terdekatnya, dimatikan kebebasannya, dan dinjak-injak harga dirinya selama berpuluh tahun akibat kebijakan politis yang dibuat Soeharto.
Ribuan orang dibuang di Pulau Buru dan disekap di penjara-penjara Indonesia tanpa pernah diadili, ratusan ribu orang yang meregang nyawa hanya karena aspirasi politiknya, dan jutaan lainnya yang menjadi tumbal atas nama legitimasi kekuasaan, dari Tanjung Priok, Talang Sari, hingga Papua.
Kita harus berdamai dengan masa lalu, bukan dengan melupakannya, tapi melihatnya secara lebih jernih, sehingga masa depan tak lagi tampak menakutkan.

Sumber : http://pantastic1049.multiply.com/journal/item/14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar