Kamis, 16 Oktober 2003

TKI yang Jadi Korban Pemerkosaan Terus Berdatangan

TUBUH lemah itu tergolek di atas tempat tidur Rumah Sakit Polri Dr Soekanto. Wajahnya pucat pasi dan matanya sembab seperti habis menangis. Sesekali perempuan bernama Fatimah (18, bukan nama sebenarnya) menarik napas panjang.

Fatimah adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban pemerkosaan, yang untuk kesekian kalinya mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Ia tiba di Jakarta dalam keadaan sakit setelah diperkosa lima warga Arab di kantor agen pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) tempat dia bekerja di Arab. Sebelumnya, ada 23 TKI yang pulang dalam kondisi buruk. Sebagian mengaku diperkosa majikannya.

Dengan terbata-bata, Fatimah menceritakan deritanya ketika mengadu nasib di Arab Saudi.

Fatimah pergi ke Arab Saudi atas pengiriman PT Surya Duta Jasindo sebagai perusahaan pengerah jasa TKI. Anehnya, saat membuat paspor, nama perusahaan tempat ia berlindung berubah menjadi PT Arya Duta Bersama. "Saya disuruh mengaku dari Arya Duta," ujarnya.

Umur Fatimah pun dipalsukan menjadi lebih tua. Dalam paspor, tahun kelahiran Fatimah diubah menjadi tahun 1975, padahal ia lahir tahun 1985. Alasan perusahaan (PJTKI), banyak majikan yang mencari pembantu berumur di atas 25 tahun.

Di Arab Saudi, Fatimah mengalami penganiayaan dari majikan perempuannya. Bahkan, suatu ketika, Fatimah yang berkulit putih nyaris diperkosa anak majikannya yang masih duduk di bangku sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).

"Saya sudah teriak-teriak, tetapi majikan saya diam saja. Padahal, mereka duduk di ruang tengah yang dekat dengan kamar tidur saya," kata Fatimah geram. Setelah percobaan pemerkosaan itu, Fatimah melarikan diri dari rumah majikannya.

Di tengah jalan Fatimah ditolong seorang sopir berkewarganegaraan Filipina dan dibawa ke kantor agen PJTKI-nya di Kota Dammam.

Namun, di kantor agen PJTKI itu, Fatimah malah diperkosa lima petugas yang bekerja di sana. Pemerkosaan dilakukan setelah petugas membelikan tiket pulang untuk Fatimah.

Sebelum tiket diberikan, Fatimah dipaksa melayani kelima petugas tersebut. Karena menolak, Fatimah dipaksa minum air putih yang diduga sudah dicampuri zat tertentu sehingga Fatimah pingsan. Saat pingsan itulah Fatimah diperkosa secara bergantian. Ketika bangun, Fatimah sudah tidak memakai baju. Hasil visum Rumah Sakit (RS) Polri Dr Soekanto Jakarta menunjukkan, Fatimah positif mengalami pemerkosaan.

AWALNYA, gadis asal Serang, Banten, itu tidak berniat pergi ke luar negeri. Ia cukup puas bekerja di sebuah rumah makan di Cikupa, Tangerang, dengan upah Rp 250.000 per bulan.

Untuk mencari tambahan, ia rela menjadi tukang cuci dengan upah Rp 5.000 hingga Rp 10.000 untuk setiap kali mencuci. Selama delapan bulan ia mengerjakan pekerjaan itu sebelum akhirnya pulang ke Serang dan disuruh ibunya menjadi TKI.

Ibunya ingin kehidupan orangtua dan kelima adik Fatimah menjadi lebih baik. Selama ini keluarga Fatimah hidup sebagai buruh tani. Pendidikan kelima adik Fatimah yang masih kecil-kecil pun nyaris telantar.

Sebagai anak sulung, Fatimah harus menanggung beban keluarga, membiayai adik-adiknya.

Sebelum ke Arab Saudi, Fatimah pernah bekerja di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Di negara itu dia selalu dipukuli majikan perempuannya. Gajinya pun cuma dibayar Rp 3 juta untuk empat bulan kerja. Padahal, menurut perjanjian, Fatimah berhak mendapat gaji Rp 2 juta per bulan.

Karena tidak tahan, Fatimah pulang dengan biaya sendiri. Harga tiket pesawat Rp 1,5 juta dia tanggung sendiri. Setibanya di Terminal III Bandara Soekarno-Hatta, dia harus membayar ke Induk Koperasi Polisi (Inkoppol) sebesar Rp 300.000 untuk sewa mobil ke Serang. "Sisanya cuma bisa buat beli baju untuk adik-adik," kata Fatimah.

Sampai di rumah, dia didatangi sponsor (calo) yang dulu membiayai ongkos perjalanannya ke Abu Dhabi. Fatimah didesak agar membayar Rp 2 juta kepada sponsor karena dianggap memiliki utang.

Untuk membayar utang ke sponsor, kata Fatimah, ibunya terpaksa menjual tanah warisan. Melihat Fatimah lama menganggur di rumah, orangtuanya mulai bingung. Fatimah terus didesak untuk bekerja lagi menjadi TKI. "Biar bisa bayar utang dan memperbaiki rumah yang reyot," ujar Fatimah menirukan ucapan ibunya.

LAIN lagi yang dialami Idah binti Duladi Sidi (20), TKI asal Indramayu, Jawa Barat. Sejak masuk ke RS Polri Kramat Jati 10 Oktober lalu, Idah masih kelihatan stres berat. Sering kali tatapan matanya tampak kosong. Badannya panas, sementara kaki kanannya sering gemetar.

Hingga Rabu kemarin Idah sulit diajak berkomunikasi. Kepada ibunya Idah hanya berkata disiksa majikan perempuannya. Perut Idah diinjak-injak hingga mengalami infeksi di sekitar kandung kemih. Belum bisa dipastikan apakah Idah juga menjadi korban pemerkosaan karena dia belum divisum.

Rumah sakit tersebut juga masih merawat satu pasien TKI yang mengalami depresi. Ketika dikunjungi, TKI itu sering kelihatan tertawa sendiri.

Korban lainnya, Imayah, juga mengalami depresi. Ia hanya terdiam ketika ditanyai petugas di Bandara Soekarno-Hatta. Ditanya apa pun, ia tidak memberi respons, hanya termangu-mangu dengan tatapan kosong.

Menurut data Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi), hingga bulan September 2003 ada sekitar 150 TKI bermasalah yang ditangani Kopbumi.

Sepanjang tahun 2002, Kopbumi mencatat 1.308.765 kasus yang dihadapi TKI.

Kasus yang paling banyak dihadapi TKI adalah tidak memiliki dokumen (51,88 persen) dan dideportasi (38,58 persen). Alasan tidak memiliki dokumen biasanya disebabkan dokumen tersebut ditahan majikan atau agen PJTKI.

Pada saat bekerja di negeri orang, kata Norma dari Kopbumi, banyak TKI yang ditelantarkan, baik oleh majikan maupun agen PJTKI di tempat dia bekerja. Sesampai di sana mereka semua ditempatkan di rumah-rumah majikan tanpa diberi tahu tentang alamat yang jelas.

Agen-agen PJTKI juga tidak pernah mengontrol atau mengawasi keadaan para TKI yang dikirim ke rumah-rumah majikannya.

Sementara itu, menurut Ketua Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (FOBMI) Dina Nuriyati, ketika sudah tiba di negara tujuan, banyak PJTKI yang lepas tangan. "Sukses tidaknya seorang TKI akhirnya bergantung pada nasib. Kalau dapat majikan baik, berarti ia dianggap berhasil," kata Dina.

Dina mengatakan, tidak ada mekanisme kontrol dari Pemerintah Indonesia terhadap para TKI yang bekerja di negara lain. Pemerintah tidak pernah mendeteksi keberadaan dan kondisi para TKI. "Tahu-tahu mereka pulang dalam keadaan bermasalah," kata Dina.

Meskipun kasus penganiayaan dan pemerkosaan sudah sering menimpa para TKI, belum ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mengusut kasus- kasus yang dihadapi TKI.

Beberapa orang TKI bercerita, mereka direkrut dari desanya oleh orang yang mengaku siap memberikan sponsor. Sponsor yang sebenarnya calo itu kemudian memasukkan para TKI ke agen-agen PJTKI yang terdaftar. Meskipun terdaftar, ternyata pada saat penempatan TKI ke rumah majikan, banyak yang berlaku curang.

"Saya tidak pernah diberi tahu alamat dan nomor telepon rumah majikan," kata Fatimah yang ditempatkan oleh petugas dari PT Surya Duta Jasindo. Banyak teman Fatimah yang ditempatkan perusahaan tersebut kabur karena tidak betah.

NASIB buruk TKI tidak hanya dialami di negara tempat mereka bekerja. Di Tanah Air pun, sejumlah TKI diperlakukan tidak baik oleh para PJTKI. Karena itu, tak perlu heran kalau berulang kali ada peristiwa TKI kabur dari rumah penampungan.

Rumah penampungan yang seharusnya menjadi tempat mendidik para TKI bahkan lebih patut disebut penjara. Tengok saja beberapa rumah penampungan di Jakarta. Banyak rumah penampungan yang memasang jeruji besi, berpagar tembok tinggi, dan dijaga pengawal bertubuh kekar. Pengawal inilah yang bertugas menjaga dan menangkap para TKI yang kabur.

Sebenarnya tidak ada alasan bagi para TKI untuk kabur jika di rumah penampungan mereka benar-benar dididik agar mampu bersaing di luar negeri. Dalam praktiknya, rumah penampungan sering menjadi ajang pemerasan, penipuan, penelantaran, hingga pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap TKI.

Para TKI yang menjadi korban pemerkosaan umumnya harus menanggung beban mental yang lebih berat.

Karena tidak kuat menanggung malu, banyak TKI korban pemerkosaan yang nekat membuang anaknya, dengan cara menggugurkan kandungan atau menitipkan anaknya ke orang lain.

Bahkan, seorang TKI pernah diketahui membuang anaknya di jalan tol. Tanggung jawab negara tentunya dipertanyakan kembali soal yang satu ini. (LUSIANA INDRIASARI)

Sumber : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/16/utama/629257.htm Kamis, 16 Oktober 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar